webnovel

Mencintai dan Dicintai

Dua ibu jari gadis itu saling berketukan dengan layar ponsel yang ia genggam. Mengetikkan entah kalimat apa saja disana. Namun wajahnya agak gelisah dan khawatir. Pasalnya, Angkasa tidak mengiriminya rentetan pesan lagi setelah Nadira hanya membaca saja pesan yang dikirim lelaki itu karena ponselnya habis baterai.

Giliran Dira kali ini yang gantian mengirimkan rentetan pesan berisi penjelasan pada Angkasa bahwa dirinya lupa mengisi baterai ponselnya dan tertidur lama karena masih sakit.

Gadis berbulu mata lentik itu akhirnya memanyunkan bibirnya. Karena dari status bar di roomchat Angkasa, lelaki itu menunjukkan dirinya terakhir dilihat pukul 01:06 AM. Artinya pagi ini Angkasa masih tertidur.

Rasanya Nadira ingin berlari secepat vampir menuju rumah Angkasa dan membangunkan lelaki itu segera untuk membaca penjelasan darinya.

Eits! Kenapa Nadira gelisah? Toh dirinya bukan kekasih seorang Angkasa bukan? Lalu kenapa harus gelisah seperti ini?

"Iiisshhh nggak nggak. Ilangin pikiran kayak gitu Diraaaa ilangiiinnn..." teriaknya pelan pada dirinya sambil menggelengkan kepala berkali-kali.

Nadira yang di Minggu pagi ini masih mengenakan baju tidur dengan motif karakter doraemon itu memilih meletakkan ponselnya dan keluar kamarnya. Akhir-akhir ini gadis itu kesepian, contohnya seperti sekarang ini Meisya dan Pradipta pergi ke Bogor lagi karena dikabarkan nenek Dira alias ibu dari Meisya sedang sakit-sakitan. Dira tidak bisa ikut karena badannya masih tidak bisa diajak pergi jauh. Sedangkan Rendra, cowok itu sudah pergi jogging sejak subuh tadi menjemput pacarnya, Dina. Entah Rendra pulang jam berapa, yang pasti Dira kesepian di hari minggu yang syahdu ini.

Gadis itu menjepit rambutnya yang tergerai dan menuju ke dapur. Menyeduh teh hangat aroma melati yang ia suka dalam satu gelas mug berwarna krem. Sepi seperti ini membuat Nadira malas melakukan aktivitas sarapan, menurutnya lebih enak minum teh agak banyak.

Lupakan masalah mandi sejenak, rutinitas cewek rumahan kalau hari libur dan dengan status jomblo adalah malas mandi. Nadira ingin berdiam diri di taman samping rumah tanpa ponselnya dan hanya ditemani segelas mug berisi teh hangat yang ia buat tadi

***

Di pagi Minggu ini sedang ada gadis lain yang hatinya gelisah. Entah kondisi perasaannya saat ini bagaimana dan kenapa, ia tidak tahu bagaimana isi hatinya sendiri. Banyak notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab dari Aris. Dan utu hanya didiamkan saja oleh Karina, karena Karina muak. Lelaki itu sejak obrolan mereka semalam terus saja memohon agar Karina tidak mempunyai pikiran untuk menyudahi hubungan mereka. Namun dengan perilaku Aris yang seperti itu malah membuat Karina berpikir dua kali.

Ya. Karina ingin hubungannya dengan Aris berakhir. Itu yang membuat hati dan pikirannya gelisah saat ini. Namun pikirannya teralihkan ketika ada pesan masuk dari teman kerjanya.

{Akbar}

Nanti jam 9 nan ikut ngopi yuk di Kafe GreenHouse?

07:08 AM

Dinda yang ngajakin. Katanya dia ngerasa lo ada masalah. Kita bertiga aja kok. Kalo mau join sini aja. Gue jamin lo gabakal jadi obat nyamuk kok✌😁

07:08 AM

Karina tersenyum dibuatnya. Mungkin ia memang butuh bercerita pada sahabatnya daripada merenung seperti ini di dalam kamarnya.

Oke. Gue kesana agak telat ya Bar..👌

07:10 AM

*

*

*

"Jadi lo rencana putus beneran sama mas Aris?" Tanya Dinda terkejut setelah mendengarkan keluh kesah Karina barusan. Tentang bagaimana gundahnya hati Karina menghadapi perasaannya saat ini.

Akbar hanya diam dan mengamati saja sambil menyesap kopi hitamnya dan memakan dessert yang ia pesan.

Karina mengangguk lemah. "Ya gitu deh Din.. gue udah diemin dia semenjak dia anter gue pulang semalem. Dia berusaha hubungin gue tapi gue gak balas juga gak mau angkat. Gue capek. Dia berlebihan banget. Dia gak ngerti apa kalo gue masih butuh mikir dan sendiri dulu..?" Ujar Karina.

Dinda menghela napasnya pelan. "Duh ya jelas berlebihan lah. Lo itu sebelumnya gak pernah gini loh sama mas Aris. Lo selalu nunjukkin sayang lo ke dia. Lo selalu perhatian sama dia. Dan tiba-tiba lo begini? Ya jelas lah mas Aris kaget dan berlebihan. Itu tandanya dia gak mau kehilangan lo dan gak mau lo berpikir sedikitpun tentang perpisahan."

Akbar mengangguk dan ikut menyahut. "Hem betul tuh. Gue disini laki-laki. Walaupun gue jarang ketemu pacar lo. Tapi gue tau kalo Aris itu sayangnya tulus sama lo Rin.."

Karina semakin bimbang saja karena dua sahabatnya sangat mendukungnya bersama Aris.

"Ih guys. Dengerin gue ya. Gue sama Aris baru-baru ini bertengkar. Dua tahun lamanya kita gak pernah bertengkar. Paling juga cuma debat sedikit karena masalah sepele abis itu sayang-sayangan lagi. Dan cuma kali ini gue kayak gini sama Aris. Gue capek. Gue bosen ngejalanin hubungan yang gak ada rasa menantangnya. Gue sama Aris gak pernah bertengkar gak pernah sedih gak pernah galau. Ya cuman baru ini aja. Dan gue rasa gue hambar ngejalaninnya. Gue cuman pengen pacaran kayak orang-orang pada umumnya yang kelihatan seru banget sama pasangannya. Tapi Aris gak bisa kayak gitu. Dia ya dia. Aris ya Aris. Dia gak bisa diajak seseru itu. Dia ambisius juga serius. Dan gue tertekan. Gue udah gak ada rasa sama dia Din.. Bar... gue gak bisa nerusin hubungan ini.. Aris sifatnya beda sama gue. Gue suka cowok yang lucu dan humor juga romantis. Tapi Aris gak gitu... Aris cuman mikirin dirinya sendiri tanpa tau kesukaan gue.."

Tangis Karina pecah begitu saja di depan Akbar dan Dinda. Kedua sahabatnya hanya bisa menenangkan saja.

"Rin.. lo jangan gini dong. Cinta selalu tau jalan pulang kok. Kalo semisal Aris berjodoh sama lo, lo juga harus percaya sama diri lo sendiri.. bahwa lo bisa menerima dia apa adanya dan mencintai kekurangan dan kelebihan dia. Itu akan membuat lo bahagia dalam hati lo sendiri tanpa sepengetahuan lo." Ucap Dinda berusaha memberi nasehat.

Karina menggeleng. "Enggak. Aris gak bisa sebaliknya ke gue. Dia egois Din. Dia cuman mikirin hatinya tanpa mikirin kondisi hati gue. Gue bingung gue musti gimana."

Dinda mendesah memilih menyerah dan tidak tahu harus berkata bagaimana lagi pada Karina. Sedangkan Akbar hanya bisa diam tanpa berkata apapun sembari mengelus pundak Karina berusaha memberi kekuatan pada sabahatnya.

Namun Karina masih melanjutkan kalimatnya. "Dan setelah lama gue pikir.. gue belakangan ini hanya teringat satu nama yang membuat gue gelisah akan hubungan gue sama Aris. Gue rasa gue kena karma udah nolak dia. Gue suka sama Asa. Angkasa Putra." Ujarnya dengan mengusap air matanya.

Dan seketika, mulut Dinda dan Akbar serasa kelu untuk berkata. Bahwa mereka berdua sedang mengetahui sesuatu, Angkasa menyukai Nadira.

***

Tidak ada yang membuat Nadira senang saat ini selain bunyi dering panggilan ponselnya yang terdengar lewat jendela kamar saat ia sedang duduk di taman. Dan yang membuat gadis itu tersenyum bahagia adalah nama Mas Asa yang tertera besar di layar ponselnya ketika panggilan dari seorang lelaki yang mengisi hatinya itu masuk.

"Assalamu'alaikum.." ucap Dira.

"Wa'alaikumsallam Ra.. kamu gimana? Udah sehat?" Tanya Angkasa di seberang sana. Suara yang dua hari ini Dira rindukan. Mendengarnya saja sudah membuat Dira mendadak menjadi hangat di pagi ini.

"Hehe udah sehat kok mas.. baru sembuh pagi ini. Badannya udah enteng." Jawabnya.

"Alhamdulillah kalo begitu. Jangan capek-capek dulu ya. Dibuat istirahat dulu aja mumpung masih hari minggu."

"Emm iya.."

"Sudah makan?"

"Belum.."

"Kenapa? Ini udah jam 9 lebih. Apa nggak lapar?"

"Masih nggak nafsu aja mas.. tapi udah minum teh anget kok segelas mug."

"Wih suka banget sama teh. Aku juga."

"Idih nyama-nyamain."

"Haha sengaja biar samaan. Kemarin sore aku mau ke rumah mu. Tapi dari pagi sampai siang sampe sore juga kamu nggak bales. Mas takut ganggu dan akhirnya nggak jadi kesitu. Malah malamnya cuman kamu baca doang chat dari aku."

"Emmm maaf ya mas.. kemarin aku memang sepenuhnya istirahat dan tidur mulu. Lupa sama hape. Giliran mau balas chat dari mas malah keburu mati gegara baterainya habis. Yaudah baru pagi ini aja on lagi."

Angkasa tersenyum disana. "Iya gapapa. Kamu lagi apa?"

"Lagi duduk di kamar. Tadi abis nyantai di taman samping, kalo mas?"

"Aku baru bangun. Semalem abis lembur ngerjain berkas dan banyak pikiran kantor sampe baru bisa tidur malem banget. Makanya bangun telat."

"Emm oh gitu. Jaga kesehatan mas.."

"Iya. Tapi kayaknya mas mau masuk angin ini udah mulai meriang."

"Tuh kan. Minum anget-anget sana.. biar nggak keburu sakit. Jaga kesehatan mas.. jangan sakit-sakit yaa..." pinta Dira serius.

Angkasa terkekeh kecil dari sana. "Iya Nadira.. makasih yaa.. kamu juga. Habis ini jangan dipaksa kalo memang capek."

"Iya mas Asaaa.."

"Mandi sanaa.."

"Ih hobi banget nyuruh-nyuruh."

"Ahaha berarti beneran belum mandi?"

"Situ yang nyuruh juga belum mandi kan.."

"Ciee samaan.."

"Ish apaan sih gombal mulu."

"Kan nge gombalnya cuman sama kamu atuh neng. Gapapa kan tiap hari gini?"

Nadira tersipu malu. "Emm haha iya gapapa.."

Mereka saling diam agak lama. Hanya deru napas mereka saja yang saling mereka dengarkan.

"Kenapa diem?"

"Enggak gapapa.."

"Matiin aja kalo kamu mau ngapain gitu sana.."

"Nggak. Mas Asa yang nelpon ya mas Asa yang matiin."

"Bawel."

"Emang."

"Yaudah sana mandi pakek air anget dulu tapi.."

"Iyaa.."

"Yaudah yaa.. aku tutup.."

"Iyaa mas Assaaa..."

Angkasa tersenyum geli disana sebelum akhirnya mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum Nadira.."

"Wa'alaikumsallam mas.."

Nadira tersenyum begitu merona di kedua pipinya. Tangan kanannya menekan dada kirinya yang disana terdengar detak jantungnya yang berpacu cepat. Ritmenya berbeda, dia bahagia. Dan rasanya, Dira telah menemukan seorang yang bisa ia sayangi sampai kapanpun.

***

"Beri aku keyakinan, beri aku bukti, juga beri aku kejutan. Bahwa perasaan yang berbunga ini sangat nyata dan bukan fana. Bahwa rasa rindu ini tak terbatas dalam benak. Dan.. bahwa rasa sayang ini tak terkira meskipun masih belum memiliki. Aku kamu."

-Nadira Aisyah-

"Katakan padaku, bahwa kali ini aku tengah berimajinasi. Katakan padaku, bahwa perasaanku bukan untukmu. Katakan padaku bahwa ini tidaklah nyata. Bahwa aku mulai mencintai kamu. Dan rasa ini terlambat."

-Karina Adzana-

Chapitre suivant