webnovel

Behind Them

Jam weker berdenting memeriuhkan suasana hening di pagi buta. Sebuah tangan meraba-raba nakas di sebelahnya dan memukul puncak jam berisik itu. Setelah berhenti, ia mengangkat kepalanya yang terasa berat dan melihat waktu. Lalu menggeliat di kasurnya sebelum ia mulai bangun dan membuka jendela. Seketika angin dingin masuk, reflek ia menutup kembali jendela itu sebelum sebagian tubuhnya membeku karena terlalu lama diterpa angin dingin. Ia mendesah berat melihat pemandangan di luar yang masih gelap. Setelah beberapa menit ia melihat pemandangan di luar, ia segera ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

Baru saja hewan itu terlelap dalam tidurnya saat seseorang mengangkatnya dan memasukannya ke dalam kotak kaca. Ia tak mempedulikan keadaan sibuk di sekelilingnya dan berusaha untuk tidur. Sampai pekikkan seorang gadis menyentakannya.

"Dark Choco!! Waktunya bangun!" Wajah familiar dengan senyum lebarnya dari luar kotak kaca. Kelinci itu nampak kesal. Lalu ia membelakangi Kimberly dan mulai tidur kembali. Matanya benar-benar sulit untuk terbuka. Mengingat kelinci itu bisa melompat lagi, mengecilkan rasa ragunya kenapa kaki kelinci itu tidak perlu diobati lagi.

Andai saja ia tidak tersesat di hutan itu sampai pagi tadi, ia tidak akan seperti ini. Lizzie benar-benar mengutuk Thomas saat ia memimpin jalan--setelah berhasil lolos dari kejaran makhluk jahat tadi--tapi akhirnya malah membawa mereka semakin masuk ke dalam hutan. Awalnya Lizzie mempercayainya untuk memimpin karena tawarannya begitu meyakinkan seperti ia tahu pasti daerah hutan itu. Tapi lama-kelamaan ia mulai ragu lantaran sudah berjam-jam tidak sampai juga. Dan akhirnya Thomas menyerah lalu menyuruh Lizzie yang memimpin jalan yang hanya sejam saja mereka bisa kembali. Lagi-lagi Thomas merasa malu sudah dikalahkan perempuan.

"Dokter Flawnsen, busnya sudah datang," info salah satu pengamat. Kimberly mengangguk. Lalu ia mulai menarik tas kopernya dan mengangkat kotak kaca berisi binatang peliharaannya.

Sebagai ucapan salam perpisahan, beberapa penjaga hutan lindung itu berhamburan keluar ke tengah lapangan di depan menara pemantau. Mereka mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih. Mereka perwakilan dari seluruhnya. Karena mulai dari pukul 6 pagi ini, beberapa penjaga hutan mulai bertugas. Kimberly memberenggut saat ia tidak menemukan salah satu teman dekatnya. Bahkan saat ia sudah bertanya ke beberapa rekan kerja temannya, mereka malah tidak tahu. Ada juga yang bilang mereka sedang bertugas.

"Padahal kan mereka sudah janji. Dan aku percaya itu. Tapi kenapa mereka ingkar?" gerutu Kimberly saat berjalan menuju jalan raya yang tidak terlalu jauh.

Pandangannya teralihkan karena sekilas ia melihat sesuatu. Ia berhenti dan menoleh ke kiri, menyipitkan mata karena letaknya cukup jauh. Terlihat 2 orang sedang mengangkat tandu yang di atasnya ada sebuah kantung mayat berwarna jingga. Beberapa orang di belakangnya mengikuti. Mereka semua menggunakan seragam penjaga yang berwarna cokelat. Melihat kejadian yang sepertinya tidak menyenangkan itu membuat bulu kuduknya berdiri. Sampai ia melihat Tessa di paling belakang mereka. Walau cukup jauh Kimberly melihatnya, tapi ia yakin kalau dilihat dari postur tubuh dan wajahnya itu adalah Tessa. Kimberly ingin menghampirinya dan langsung membentaknya karena tidak datang saat perpisahan mereka.

Kimberly menegang saat tiba-tiba ada yang memegang pundaknya dan menghentikan langkahnya menuju Tessa. "Kau mau kemana, Kim?" tanya gadis yang memegang pundaknya.

Kimberly menunjuk arah segerombolan yang semakin jauh darinya itu. "Aku belum berpamitan dengan salah satu temanku," kata Kimberly. "Aku juga kesal dengannya gara-gara dia tidak datang tadi, Vin," gerutunya.

Gadis yang bernama Vin itu mengikuti arah tunjuk Kimberly. "Mungkin ia terlalu sibuk mengurus kecelakaan itu," katanya. Ia tidak tahu siapa yang Kimberly tunjuk dan ia mengira kalau salah satu dari segerombol lelaki di belakang tandu itu lah yang Kimberly maksud. Di sana sama sekali tidak ada wanita.

"Aku tahu. Tapi setidaknya dia harus menginfokanku sebelumnya," Kimberly berhenti menunjuk dan memandang Vin di sebelahnya.

"Sudahlah," Vin memegang kedua pundak Kimberly dan mendorongnya untuk kembali berjalan menyusul rombongan, "sebaiknya kita jangan terlalu lama di sini. Jujur, aku merinding saat melihat kantung mayat itu," kata Vin.

"Nanti aku telpon saja," gumam Kimberly.

"Itu bagus! Mungkin dia sibuk sampai-sampai tidak memberitahumu. Jadi, nanti dia akan menghubungimu atau sebaliknya," kata Vin. "Wajar saja, laki-laki memang sering lupa untuk mengabarkan. Pacarku contohnya."

"Laki-laki?" bingung Kimberly. Ia baru sadar kalau yang dimaksud 'dia' oleh Vin adalah laki-laki. Bagaimana ia bisa tidak tahu kalau Vin menggunakan kata 'he' dalam setiap ucapannya tadi?

"Di sana hanya ada laki-laki Kim. Tidak ada wanita sama sekali," timpal Vin. Saat Kimberly menoleh ke belakang untuk melihatnya kembali, tiba-tiba saja Vin menarik tangannya dan membawanya berlari. "Kita semakin jauh dari rombongan! Sebaiknya kita cepat!"

Ada perasaan yang sangat mengganjal setelah Kimberly bercakap-cakap dengan teman sejawatnya itu. Pikirannya terbayang-bayang dengan sosok di dalam kantung mayat itu. Agak merinding memang, namun ia sedikit bernapas lega. Karena ia baru saja melihat Tessa di luar dari kantung mayat itu. Tapi bagaimana dengan Chip?

"Hey, apa maksudmu?" tanya Vin saat ia mendudukkan diri di kursi bus tepat di sebelah Kimberly.

"Maksudku apa?" bingung Kimberly. Ia menusukkan sambungan headphone di ponselnya.

"Kenapa kau terheran saat aku bilang laki-laki?" Vin terlihat sangat penasaran dengan ungkapannya tadi. "Temanmu itu laki-laki kan? Yang namanya Chip itu, kan? Aku jarang sekali melihatnya, jadi aku belum kenal wajahnya. Tapi dia kan yang kau tunjuk?" cecar Vin.

Kimberly tertegun. Lalu ia menggeleng lambat sambil memasang headphone di kedua telinganya. "Tessa. Dia wanita, yang ada di paling belakang itu." Kimberly berusaha untuk terlihat tenang. "Tidak mungkin kau tidak melihatnya kan? Dia jelas sekali berjalan mengekor di belakang mereka." Kedua mata Kimberly beralih pada layar ponsel untuk mencari lagu kesukaannya.

Beberapa saat Vin terdiam dan melihat aktivitas Kimberly. "Kau tidak salah lihat, kan?" ucap Vin dengan ekspresi serius.

Ibu jarinya yang digunakan untuk menekan pemutar musik, melayang di atas layar ponsel. Ucapan itu cukup sensitif untuk didengarnya. "Apa maksudmu? Mungkin kau yang salah lihat, Vin." Kimberly menoleh ke arahnya.

"Tidak ada wanita di sana, Kimberly," Tegas Vin. "Apa kau tidak merasa aneh dengan wanita yang kau lihat itu?"

"Ahh sudahlah Vin," erang Kimberly sambil menekan pemutar musik. Lalu ia kencangkan volumenya. "Sekarang aku tidak mendengarmu, ok." Kimberly meringkuk miring menghadap jendela dan menyandarkan kepala ke sandaran kursi.

"Oke, terserahmu Kim." Vin mengedikkan bahu sambil mengambil ponsel di saku jaketnya. "Aku tidak bermaksud menakutimu. Aku bicara apa adanya." tambahnya.

Kimberly menatap kosong ke pemandangan hutan di luar. Alunan musik RnB kesukaannya sama sekali tidak masuk ke pikirannya dan menenangkan hatinya. Lantunan syair indah dan alunan suara merdunya lewat begitu saja di telinganya. Tidak ada yang ia tangkap, tidak ada yang ia rasakan.

Ucapan Vin terus teringang di pikirannya dan ia tersadar akan suatu hal yang membuat perasaannya semakin buruk.

Wajah Tessa yang terakhir ia lihat begitu pucat. Dengan ekspresi datar dan tatapan kosongnya.

Chapitre suivant