webnovel

Finally, We Met

"Pak Jay, Thomas sudah pulang kan?" kata Kimberly setelah ia keluar dari mobil.

"Sudah dari tadi," jawabnya.

Kimberly mengangguk. "Aku kira dia berkeliaran lagi. Ok, terima kasih Pak Jay," ujarnya. Lalu mobil van cokelat itu berlalu menuju garasi.

Sebelum gadis kecil berbandana putih itu menuju kamarnya untuk menyalin seragam, ia sempat pergi ke dapur untuk mengambil kue keju miliknya di dalam kulkas. Saat ia sudah mendapatkan makanannya, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam kulkas. Ia membuka kembali kulkas itu dan mengamati seksama isi di dalamnya.

"Di mana Cola itu?" gumam Kimberly. "Astaga Thomas, kamu mengambil sebotol besar Cola itu hanya untuk dirimu sendiri?" katanya tidak menyangka. Sambil melahap potongan kue, ia segera berjalan cepat menuju kamar.

Ia terheran-heran saat tidak mendapat kakaknya di dalam kamar. Walau begitu, Kimberly tidak terlalu ingin tahu-menahu dengan keberadaannya. Ia mengambil sisi positifnya saja, dengan tidak ada Thomas untuk beberapa jam saja, ia bisa belajar dengan tenang tanpa diganggu oleh kakaknya yang selalu mengajaknya bermain itu. Mungkin ia sedang bermain di luar, itu kata batinnya. Otomatis, ia telah membiarkan Thomas memiliki satu botol Cola itu.

Setelah 3 jam berkutat di depan buku matematika dan 2 jam di depan buku sains, Kimberly mulai menemukan titik jenuh dan merasa sangat bosan. Ia beranjak dari kursi dan meregangkan tubuhnya. Lalu, ia keluar dari kamar dengan boneka Tom dan mencari kakaknya untuk diajak bermain.

"Thomas ayo kita main!" Selama ia menyusuri setiap sudut rumah, ia terus menyebut namanya dan mengajaknya bermain. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kakak tersayangnya itu.

Sampai ia bertemu dengan Nataline yang baru saja keluar dari kamar dengan penampilan rapi seperti biasa. "Sayang, kapan pulang?" tanyanya lembut sambil menghampiri Kimberly. Ia bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya ketika baru melihat gadis kecil itu.

"Jam 3 sore tadi," jawab Kimberly. "Apa Mama lihat Thomas? Ini sudah jam 8 malam. Kenapa ia belum pulang?" Lalu ia melihat ada sesuatu yang aneh di wajah Nateline. "Mata Mama kenapa? Apa yang membuat Mama stres? Cerita saja padaku, pasti aku bantu Mama." Kimberly menunjukkan senyum polosnya.

Nataline sempat tertegun. Kemudian ia mengambil cermin kecil dari saku celananya dan melihat bayangannya dari balik cermin lipat itu. Bedaknya masih belum sempurna menutupi garis hitam yang kian menebal di bawah matanya. "Aku baik-baik saja. Hanya kelelahan biasa," ujarnya sambil memasukkan cermin itu kembali ke dalam saku. "Tidak. Sejak tadi aku tidak melihat--Oh ya, aku baru ingat. Thomas mengirimku pesan kalau ia akan mengikuti syuting."

"Syuuting apa?" Kimberly terheran-heran.

"Syuting acara anak-anak." Nataline terlihat menahan tawanya. "Thomas and Friends. Ahahahahaha!!" Gelak tawanya pecah begitu saja.

Kimberly sempat kaget mendengar gelak tawa yang menggelegar itu. Padahal ia tidak tahu di mana letak kelucuannya. Ini pertama kalinya Kimberly melihatnya tertawa begitu puas dan liar sampai-sampai butiran air matanya keluar tanpa ia sadari. Sosok Nataline adalah wanita yang selalu menjaga citranya bahkan di depan anak-anaknya, bukan wanita liar yang tawanya sampai menggema di seluruh ruangan ini. Suara tawanya seperti nenek sihir antagonis yang senang melihat anak kecil di depannya untuk di santap. Kimberly melihat ada yang aneh dengannya dan ia mulai merasa takut dan terancam.

"Ma-maaf sayang," ucap Nataline sambil menghapus air matanya. "Aku hanya merasa begitu senang saat ini." Kemudian ia mengambil napas dalam dan berusaha menenangkan diri. "Thomas...,"

Kimberly mencoba mendengar intens kalimat apa yang akan Nataline keluarkan selanjutnya sambil memeluk erat boneka Tom.

"Thomas menginap di panti," jawabnya sambil menghembuskan napas panjang.

"Menginap di panti? Kenapa dia tidak memberitahuku? Aku, kan, juga mau ikut." Kimberly benar-benar merasa kecewa.

Nataline mengelus rambut Kimberly. "Iya sayang. Kakakmu itu memang sangat keterlaluan," ujarnya sambil tersenyum.

Kimberly mengamati senyum itu sesaat. Ia tahu ada sebuah rahasia dibalik senyum mama angkatnya itu. "Tidak juga," balas Kimberly. "Sebaiknya aku kembali ke kamar."

"Silahkan. Semoga tidurmu nyenyak sayang." Nataline terus tersenyum.

Kimberly membalas senyumnya sedikit terpaksa sambil berbalik badan dan mulai melangkah cepat menuju kamarnya.

(Thomas, di mana kamu sebenarnya?)

•••

Tetesan air yang turun perlahan menggema sampai ke setiap sudut ruangan yang gelap, dingin dan pengap udara. Tikus-tikus berkeliaran ke sana ke mari dalam gelap dan mengeluarkan cicitan-cicitannya. Derapan kaki mungilnya melaju cepat di atas lantai kayu yang rapuh. Binatang pengerat itu menggeregoti sebuah kayu untuk mengasah gigi-gigi tajamnya.

"Hussh husshh."

Tikus-tikus itu lari mencari perlindungan saat mendengar suara menggema yang mengusir mereka.

Tidak lama setelah tikus-tikus itu pergi oleh sesuatu yang tak kasat mata, akhirnya ia membuka matanya perlahan. Kepalanya sangat pening dan terasa berat seperti ada sesuatu yang hinggap di kepalanya saat ini. Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya.

Gelap.

Ia mencoba meraba matanya untuk mengecek apakah ia sudah benar-benar membuka matanya, atau ia mulai buta. Namun sayangnya, ia tidak bisa melakukannya. Kedua tangannya terikat ke belakang tempat ia duduk. Begitu juga dengan tubuh dan kedua kakinya. Mulutnya juga terselotip rapat dan sempurna. Ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain mulai merasa panik dan berusaha meminta bantuan pada siapapun.

"Ternyata kau sudah bangun."

Suara seorang gadis menarik perhatiannya dan membuatnya menghadap ke depan, ke arah sumber suara.

Sepasang bola mata besar merah menyala telah berada di depannya hanya beberapa senti dari wajahnya.

Ia menghentakkan kakinya dan bermaksud menghindar dan mundur. Tapi sayangnya...

Kreeekk...

Kursi yang didudukinya tiba-tiba terjungkal ke belakang. Kalau saja tidak ada yang menahan kursi itu dari depan, mungkin ia sudah terjatuh ke belakangnya yang ia tidak ketahui ada apa di sana.

"Wow! Jangan banyak bergerak, Thomas! Nanti kau bisa jatuh ke lubang itu!" peringat gadis yang memegangi kursinya dari depan itu.

Detak jantungnya mulai tak karuan. Napasnya terengah-engah saat membayangkan lubang hitam yang isinya entah apa itu. Dan mungkin saja bisa merenggut nyawanya jika ia terjatuh ke dalamnya.

Perlahan tapi pasti, kursi itu mulai terangkat dan mencoba dikembalikan posisinya. "Tikus-tikus sialan tadi menggerogoti kaki kursi depanmu. Jadi...," ia menggantungkan kalimatnya sambil menarik kursi itu dan ia sandarkan ke dinding.

Dengan posisi hampir terlentang karena kursi itu terlalu miring untuk disandarkan, Thomas kembali mengedarkan pandangan dengan sangat hati-hati agar kursi itu tidak terjatuh lagi. Kali ini ia mencari sosok dari seseorang yang sudah menolongnya itu dan setidaknya meminta bantuan untuk ditolong lagi.

Tiba-tiba terdengar suara korek api kayu yang sedang dinyalakan dan percikan-percikannya berasal dari kiri Thomas. Ternyata gadis itu sedang mencoba menyalakan sebuah lilin yang sudah setengah habis di genggamannya.

Setelah lilin dinyalakan, ia menghampiri Thomas. Gadis bermata merah dengan kain penutup wajah berwarna hitam itu memperhatikan Thomas.

"Halloo," sapa gadis itu dengan nada yang diayunkan. Thomas mengangkat kakinya sedikit ke atas dan bermaksud meminta bantuan. "Jangan terlalu banyak gerak lagi. Nanti jatuh." Gadis itu malah menegurnya.

Thomas menghela napas berat. Ia mulai kesal dengan gadis itu.

"Oh ya, kenalkan. Aku Lizzie. Aku tahu kamu sekarang sudah menjadi keluarga Flawnsen. Jadi bisa dibilang kalau kamu ini sepupuku!" jelas gadis itu dengan suara ceria. Kening Thomas mengernyit mendengar pernyataannya.

Lalu gadis yang terlihat seumuran itu menghampiri Thomas. Ia memperhatikan mata hitam Thomas lekat-lekat dan terlihat sedang membaca sesuatu dari balik mata yang tidak bisa diartikan dari tatapannya itu.

"Kau Lizzie? Sepupu? Bukannya kau sudah mati oleh Nataline? Apa mungkin kau selamat? Kenapa aku terikat seperti ini? Apa jangan-jangan--" Lizzie menghentikan ucapannya yang sama persis dengan apa yang sedang dipikirkan Thomas. Ia tidak melanjutkan ucapannya itu. "Jangan menuduhku, Thomas!" Lizzie menyanggah apa yang ia curigai itu.

Kedua mata hitam Thomas terbelalak saat mendengar ucapannya. Pikiran dengan batinnya terhenti sesaat dan mulai khawatir dengan keberadaan gadis di depannya itu. Ia cemas dengan apa yang akan dilakukan Lizzie padanya. Membuat jantungnya kembali berpacu cepat dan ia mulai pasrah dengan keadaan yang ada. Pikirannya kembali berfungsi dan kali ini hanya satu yang ia pikirkan. Adik kesayangannya, Kimberly.

"Tenang saja," ujar Lizzie tiba-tiba. "Kimberly untuk sementara akan baik-baik saja bersama Nataline."

Thomas bicara, tapi hanya terdengar senandung tinggi yang tak beraturan saat mendengar kata 'sementara' yang keluar dari mulut Lizzie. Kali ini ia benar-benar khawatir.

Lizzie sedikit tersentak karena melihat beberapa benda di sekitarnya yang bergetar. Tikus-tikus yang berkeliaran juga lari tunggang-langgang tanpa arah. Mereka seperti panik akan sesuatu yang menggetarkan kayu-kayu di sekitarnya. Lizzie tahu sebabnya.

"Aku pastikan Kimberly baik-baik saja, Thomas! Jadi, hentikan teriakan di pikiranmu itu!" bentaknya. Thomas kaget mendengar bentakan yang keras itu. Ia pun langsung terdiam. Begitu juga dengan kayu-kayu di sekitar yang berhenti bergetar.

"Ok, itu lebih baik. Aku bilang tenang saja. Nataline tidak mungkin membunuh Kimberly begitu cepat. Aku tahu, Nataline yang sekarang masih mudah sekali percaya dengan ramalan horoskop bodohnya itu. Jadi saat Kimberly sudah tidak membawa keberuntungan lagi, ia pasti kembali menjadi psikopat seperti 6 tahun yang lalu," jelasnya. Lizzie tidak berniat sama sekali untuk memberitahu Thomas apa yang baru saja terjadi.

Setelah mendengarnya, Thomas bingung dengan keadaannya saat ini, apakah ia harus mulai tenang atau semakin cemas. Tapi ia mencoba untuk memilih lebih tenang dan percaya pada perkataan gadis itu untuk sementara.

(Kenapa kau tidak menolongku membuka ikatan ini?)

"Aku...," mata merah gadis itu mulai terlihat sendu, "aku tidak bisa," jawabnya sambil menggeleng lambat.

(Tapi kenapa? Jika kau melepaskan ini, kau tidak perlu repot-repot membantuku dan aku bisa membawa Kimberly keluar dari rumah ini). Thomas mencoba bernego dengannya.

Lizzie terdiam. Ia terlihat memikirkan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Thomas. Lalu Lizzie berbalik badan sambil meniup lilin di gengamannya itu. Ruangan pun kembali gelap gulita.

"Sebaiknya kau tidur. Ini sudah larut malam." Yang terdengar hanyalah suara Lizzie. Tidak nampak mata merah menyalanya lagi. Lalu terdengar suara langkah sepatu yang berasal entah dari mana. Namun langkah itu semakin mendekat dan mendekat.

(Mana mungkin aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini?) Thomas masih saja mengelak.

Tiba-tiba kursi yang Thomas duduki mulai beranjak turun dengan perlahan. Kursi itu ditiduri dan posisi Thomas saat ini terlentang menghadap ke langit-langit. "Aku harap kau lebih nyaman seperti ini. Aku tahu kau lelah, jadi lebih baik kau istirahatkan tubuhmu sejenak." Lagi-lagi terdengar suara Lizzie dan kali ini suara itu terdengar lebih lembut.

Thomas tidak bisa apa-apa lagi selain mengikuti saran dari gadis itu. Dan berharap itu semua hanyalah mimpi buruk dan ia bisa terbangun dari mimpinya.

•••

"Mama, kenapa sampai siang ini, Thomas belum pulang?" tanya Kimberly saat menemui Nataline yang sedang berias di kamarnya.

"Mungkin dia menginap sampai hari Minggu, sayang," jawab Nataline sambil membubuhi bedak di wajahnya. "Sekarang hari Sabtu. Mungkin ia mau menghabiskan liburannya di panti."

"Hmm... begitu ya." Kimberly lagi-lagi terlihat kecewa.

"Bagaimana kalau kamu ikut Mama bertemu teman-teman Mama?" saran Nataline sambil beranjak dari kursinya dan menghampiri Kimberly.

"Tidak terimakasih. Aku masih ada tugas sekolah," tolaknya halus.

"Baiklah." Nataline mengambil tas tangannya di meja kecil tepat di samping Kimberly. Sekalian ia mengajak putri angkatnya itu keluar dari kamar. "Aku pergi dulu ya sayang. Baik-baik di rumah," kata Nataline sambil mengusap surai cokelat Kimberly sebelum ia melangkah keluar rumah.

Saat melihat Natline benar-benar sudah pergi, Kimberly segera mengambil ponselnya di atas meja makan. Ia memainkan jarinya di atas tombol ponsel, bermaksud mencari sebuah nomor di kontaknya dan langsung menghubungi nomor yang dimaksud. Ia sekalian mengambil sebuah roti untuk mengganjal laparnya.

"Hallo, selamat siang. Bisa bicara dengan Chip?" kata Kimberly saat panggilannya sudah terjawab. Sambil menunggu jawaban, ia melangkahkan kaki menuju kamarnya.

"Hallo Kim, ada apa?"

"Apa Thomas menginap di panti sejak kemarin?"

"Tidak. Bukannya kalian selalu berdua jika ingin berkunjung?" heran Chip.

Kimberly tertegun dan berhenti sejenak.

"Apa yang terjadi, Kim? Ashley belakangan ini selalu bilang padaku kalau Thomas dalam bahaya. Apa Thomas bersamamu saat ini?"

Kimberly kembali melangkahkan kaki dan kali ini lebih tergesa-gesa. "Thomas tidak ada bersamaku dari kemarin. Tadi apa kau bilang? Thomas dalam bahaya?" Sekarang Kimberly sudah berada di depan pintu kamarnya.

"Iya. Dan sekarang, kata Ashley, Thomas sedang di sekap di suatu tempat gelap. Ia ditemani oleh makhluk jahat!"

Ia memutar kenop pintu dan langsung membukanya. "Di sekap? Ditemani makhluk--" ucapan Kimberly terpotong saat ia melihat sesosok perempuan bergaun hitam sedang berdiri membelakanginya di sudut ruangan.

Kimberly sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya sambil melangkah perlahan masuk ke dalam kamar dan berdiri di dekat pintu.

"Kim? Apa kau di sana?" Chip mulai terdengar khawatir.

"Chip, apa makhluk jahat itu sesosok perempuan bergaun hitam?"

"Iya! Segera pergi--"

Tuutt... tuutt... tuutt

Tiba-tiba saja panggilan Chip terputus tanpa sebab.

Kimberly mulai ketakutan, jantungnya berdegup kencang tak karuan saat melihat perempuan berambut hitam panjang itu bergerak. Kimberly mulai melangkah mundur dan sebisa mungkin tak menimbulkan suara.

Braakk!

Kimberly tersentak sambil menoleh ke arah pintu kamar di belakangnya yang terutup sendiri dengan kencang. Saat ia kembali melihat ke depan, perempuan berpakaian gotik itu sudah menghadap ke arahnya.

Menatapnya tajam sambil meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya yang sobek. Memberi isyarat untuk tetap diam atau sesuatu akan membuatnya diam untuk selamanya.

Kimberly menutup mulutnya rapat-rapat dan tubuhnya bergetar hebat saat melihat sosok di depannya ini. Perempuan itu berwajah pucat dengan mulut sobeknya yang mengering dan terlihat ada jahitan berantakan di sekitar pipinya. Juga lehernya yang terlihat hampir putus dan menampakkan tenggorokannya yang masih mengeluarkan darah sedikit demi sedikit. Jari telunjuknya yang sudah berwarna abu-abu dan tajam itu masih diletakkan di depan mulut sambil melangkah perlahan ke arah Kimberly. Sosok mengerikan itu benar-benar terukir jelas di pikiran gadis kecil yang mulai menangis itu dan akan terus terukir sampai ia dewasa kelak.

Perempuan itu tersenyum, menampakkan deretan gigi tajamnya yang mulai keropos dan membusuk, saat ia sudah berada dekat di depan Kimberly. Tangan kanannya menyentuh roti yang Kimberly genggam dan tangan kirinya yang masih terlihat bagus namun berwarna kebiruan itu, menunjuk sesuatu di belakang Kimberly. Mata merah itu terus mengintimidasinya untuk segera melihat ke arah belakang. Sampai akhirnya, Kimberly menuruti apa yang sosok itu isyaratkan. Seekor kelinci cokelat, hadiah dari Nataline, yang berdiri di depan pintu kamar dan membelakanginya.

"Kimberly Flawnsen."

Ia kembali menghadap ke depan, ke arah suara setengah berbisik yang memanggil namanya itu. Tapi yang ia dapat bukanlah sosok mengerikan itu lagi. Perempuan itu tiba-tiba menghilang entah kemana bersama dengan rotinya.

Ckleek

Suara pintu terbuka membuatnya berbalik badan. Ke arah pintu kamar yang terbuka sendiri itu. Dan kelinci itu pun melompat keluar dari kamar.

Kedua kaki Kimberly melemas dan membuatnya berlutut. Mentalnya benar-benar hancur setelah melihat sosok tadi dan pikirannya mulai kusut karena sangat khawatir dengan keadaan kakaknya saat ia tahu kalau Thomas bersama perempuan mengerikan tadi. Ia menutup seluruh wajahnya dan menangis sejadi-jadinya.

"THOMAS! DI MANA KAMU!!"

•••

"Kim." Thomas langsung terjaga dari tidurnya saat mendengar suara Kimberly entah dari mana.

Tidak. Ini semua bukan mimpi! pikirannya berseru ketika menyadari kalau ia masih berada di ruang gelap itu. Akan tetapi, sudah tidak terlalu gelap seperti kemarin. Di depannya, terlihat siluet perempuan yang sedang bersimpuh dengan cahaya di sampingnya. Cahaya yang berasal dari lampu koridor di luar ruangan itu. Sekarang Thomas mulai menyadari di mana ia berada.

"Ooh ternyata kau sudah bangun." perempuan itu menoleh ke arah Thomas. Mata merahnya benar-benar terlihat menyala.

"Apa yang--" Ucapan Thomas terpotong saat ia menyadari kalau mulutnya sudah bebas digerakkan. Hanya saja...

"Jangan coba-coba untuk teriak. Suaramu tidak akan sampai keluar di ruangan kedap suara ini," sambar Lizzie setelah ia membaca pikiran Thomas. "Lagipula, suaramu juga sedang serak. Jadi... itu percuma saja." Kemudian ia berdiri dan menghampiri Thomas.

Lizzie memang benar. Tenggorokannya terasa sakit setiap ia mengeluarkan suaranya. Ia tidak bisa berteriak meminta bantuan.

"Buka mulutmu dan makanlah. Kau belum makan dari kemarin." Lizzie berlutut dan mensejajarkan diri sambil menyodorkan sebuah roti dengan tangan kirinya. Thomas memandang roti itu penuh curiga. "Aku tidak akan meracunimu. Lagipula, roti ini aku ambil dari adikmu."

"Kau menemui Kim!?" kaget Thomas sebelum ia terbatuk karena tenggorokannya benar-benar terasa teriris.

"Iya. Maaf sebelumnya. Tapi dengan begitu, ia bisa berusaha lebih keras untuk menyelamatkanmu di sini dengan sedikit bantuanku. Aku tahu dia anak yang berani," jelas Lizzie. Suaranya terdengar meyakinkan.

Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun langsung menggigit roti itu karena tuntutan rasa lapar.

"Thomas, jangan kaget kalau aku mengganjal kursimu dengan beberapa tulang manusia dan tengkorak ya."

Ia menelan dengan susah payah saat mendengar ucapan itu dan berusaha untuk menenangkan diri kembali. Matahari sudah meninggi, tapi entah kenapa ia merasa ruangan itu malah semakin dingin.

"Kalau kau bertanya kenapa aku melakukan semua ini padamu, tujuannya hanya satu. Untuk balas dendam pada Nataline," ujar Lizzie.

"Apa hubungannya denganku dan balas dendammu itu? Aku bahkan baru saja mengenalmu," protes Thomas melalui pikiran.

"Nanti kau juga akan tahu. Tak lama lagi."

"Tak lama lagi?"

Saat Thomas hendak melahap gigitan terakhir. Lizzie menarik tangannya dan membuang sisa roti itu. "Mungkin saja kau akan diare kalau memakan bagian yang aku sentuh itu."

Thomas menaikkan sebelah alis dan merasa heran. "Kali ini kau benar-benar perhatian padaku."

"Jangan salah paham," timpal Lizzie sambil berdiri. "Sepertinya kau sudah melihat bagaimana kematian kedua orangtuaku," gumamnya sambil berbalik badan. "Dan kematianku."

"Aku belum melihat kematianmu," sanggah Thomas. Lalu ia merunduk sesaat. "Aku turut berduka atas kematianmu dan orangtuamu." Ia mengeluarkan suaranya sepelan mungkin untuk menghindari rasa sakit. "Kau bilang kau sudah mati. Tapi kenapa aku bisa melihatmu padahal aku sendiri bukan indigo? Dan kenapa aku bisa melihat hal masa lalu seperti itu?"

Lizzie terdiam dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

"Hey.. uhuk uhuuk!"

Lizzie berbalik badan dan melihat kondisinya.

"Da-darah?" kaget Thomas. Dengan cahaya seadanya, ia menyadari kalau batuknya itu mengeluarkan darah dan mengotori celana juga bajunya.

"Sepertinya racun itu mulai menyebar," gumam Lizzie.

"Racun apa?! Uhuk." Lagi-lagi ia mengeluarkan darah dan tubuhnya mulai terasa lemas tanpa sebab.

"Nataline sudah memberimu cairan beracun dalam sapu tangan yang ia gunakan untuk membuatmu pingsan."

Chapitre suivant