webnovel

Awal Sebuah Kisah Cinta

Meski wartawan telah menduga bahwa konferensi pers ini akan membahas tentang pembatalan pernikahan Citra dan Miko, tetapi saat mengetahui Citra mengatakannya secara langsung, mereka menjadi sangat terkejut.

"Citra, beberapa waktu lalu Miko terekspos sedang bersama wanita lain. Bolehkah aku menanyakan apakah karena hal itu kamu membatalkan pernikahan?" tanya salah satu wartawan.

Berbagai pertanyaan tetap terucap dari para wartawan itu. Mereka melemparkan pertanyaan dengan suara keras, tapi Citra sudah pergi tanpa menoleh ke belakang. Seorang wartawan yang ingin bertanya dihentikan oleh satpam.

Miko dari tadi memperhatikan Citra berjalan menuju altar, memperhatikan dia menyelesaikan kata-katanya, dan kemudian melihatnya berjalan kembali ke sisi ini. Tetapi, Citra hanya lewat di depannya tanpa melihatnya. Wajah Citra sedikit dingin, tetapi dia tidak tampak sedih ataupun marah. Seperti orang asing. Hanya ketika Citra melewati Satya, dia berbisik dengan malas, "Ayo pulang." Satya mengangguk dan mengikuti di belakangnya.

Miko melihatnya berjalan pergi dengan sepatu hak tinggi. Sebelum menghilang sepenuhnya dari pandangannya, dia memutuskan untuk mengejarnya. Dia tidak tahu apa yang bisa dia katakan setelah dia bisa mengejar Citra karena sebenarnya tidak ada yang ingin dia katakan. Tapi, Miko teringat saat Citra mengatakan bahwa mereka membatalkan pernikahan dengan damai, tanpa ada perseteruan. Mungkin Miko ingin mengejarnya karena merasa bersalah sudah berspekulasi bahwa Citra akan mempermalukan Yulia.

Miko terus berusaha menyusulnya sampai Citra sudah mencapai tangga menuju pintu keluar. Dia meraih pergelangan tangannya dan berbisik, "Citra." Citra menghentikan langkahnya dan menatapnya. Miko memandangi wajahnya yang halus dan polos, bibir tipisnya bergerak. Dia membuka mulutnya, dan berkata, "Maaf karena sudah salah paham terhadapmu." Suaranya sangat rendah dan penuh rasa bersalah, "Dan, terima kasih telah mengatakan itu semua tanpa mempermalukan Yulia di depan umum."

"Maaf? Kamu memang bodoh. Kamu memang harus minta maaf padaku, tapi ini jelas tidak berguna," sahut Citra tanpa melihat ke wajah tampannya. Dia tersenyum dengan bibir merahnya, "Lalu, terima kasih yang baru saja kamu ucapkan itu tidak perlu karena aku tidak berusaha menyelamatkan reputasimu di depan publik. Aku juga tidak berusaha membantu Yulia. Aku bukan orang baik seperti itu."

Miko yang melihat gadis itu berbicara tanpa menatap wajahnya mencoba untuk menanggapi. Suaranya sedikit serak, "Iya. Bagaimanapun aku merasa bersalah padamu."

Ternyata, Miko bukan satu-satunya yang mengejar Citra, tapi ayah Citra yang datang ke pesta pernikahan, dan Alana juga bergegas untuk menghampiri Citra karena merasa sangat khawatir. Selain itu, ada seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang turun dari mobil dan kini sedang menaiki tangga. Dia mengenakan gaun yang indah dari desainer terkenal dan rambutnya dikeriting. Dia memperlambat langkahnya, lalu berjalan ke arah mereka. Citra membalikkan badannya, jadi dia tidak melihat wanita itu. Citra memiringkan kepalanya, wajahnya yang halus dan lembut memancarkan senyuman tipis, "Apakah kamu tahu mengapa aku ingin menikahimu?"

Miko terkejut, menatapnya. Ada perasaan campur aduk di hatinya.

Citra melanjutkan, "Aku mengenalmu saat kamu masih bersama dengan Yulia. Saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Suatu ketika aku dan Bening pergi berbelanja di sebuah mal, dan aku tanpa sengaja bertemu dengan seseorang di ruang piano yang mengaku menyukaimu."

Miko menatap Citra dengan tatapan kosong, dan berbisik, "Apa yang kamu katakan?"

Citra mengangguk, "Ya, itu adalah putri dari Keluarga Panjaitan yang berpura-pura berteman dengan Yulia untuk mendekatimu, namanya Cantika. Saat itu aku merasa Cantika lebih baik dari pacarmu. Dia berani dan seksi. Latar belakangnya juga berbeda dari Yulia. Dia bilang dia terus merayumu, bahkan menggunakan godaan mautnya, tapi tetap gagal."

Miko menatapnya dengan senyum tipis di wajahnya, "Saat itu aku belum mengenalmu."

Citra hanya muncul dalam kehidupan Miko setelah Yulia pergi ke luar negeri. Dia berkata, "Tentu saja, kamu punya pacar saat itu dan sangat mencintainya. Aku tentu saja tidak mau mengejarmu secara terang-terangan. Aku hanya berpikir bahwa pria yang bisa menahan godaan sepertimu adalah pria baik." Senyuman Citra tampak lebih lebar. Kini dia justru tertawa, "Aku kira kamu menolak Cantika dulu karena kamu tidak suka dengan wanita sepertinya. Dan karena itulah aku mendekatimu untuk membuktikan bahwa kamu bisa menyukai dan menerimaku, lalu meninggalkan Yulia."

Ekspresi beberapa orang di tempat itu berubah drastis. Miko menatapnya, "Hanya… karena itu?"

Citra menambahkan, "Ya, tidak peduli seberapa kuat perasaan cinta seorang pria, dia akan dengan mudah mengkhianati kekasihnya karena godaan dari wanita lain. Itulah yang aku pikirkan saat itu, jadi aku mencoba untuk mendekatimu." Senyum di bibir Citra tampak memudar, dan suaranya bercampur dengan rasa menyesal, "Tetapi kemudian aku berpikir bahwa aku salah dari awal. Kamu menolak Cantika bukan karena kamu bisa menahan godaan, tapi itu karena di matamu hanya ada satu orang wanita, yaitu Yulia. Mungkin aku bisa bilang bahwa Yulia adalah godaan terbesarmu. Dia adalah cinta sejatimu seperti yang kamu bilang padaku."

Citra menarik tangan Miko dan berkata dengan pelan, "Kamu bisa mencintainya, tapi kamu tidak boleh berbohong padaku, Miko. Jujur, aku sangat kecewa padamu."

Kalimat itu terlontar dengan mudahnya dari bibir Citra, tapi Miko bisa melihat ekspresi wajah Citra yang sangat kecewa, seperti ada badai yang muncul di hatinya. Hal ini seolah-olah adalah hal terberat yang dirasakan Citra saat ini.

Alana yang berada di sana menutup mulutnya dan berkata dengan kaget, "Citra… Pandanganmu tentang perasaan cinta sangat salah." Citra menoleh untuk melihat Alana, "Mungkin begitu. Tidak heran jika akan menjadi seperti ini sekarang." Saat Citra mengalihkan pandangannya, dia secara tidak sengaja melihat pria paruh baya yang berdiri tidak jauh di belakang Alana. Citra berbalik lagi, dan kini dia melihat wanita paruh baya yang sedang menatapnya.

Wanita itu menegakkan punggungnya. Rambutnya sangat rapi. Dia terawat, dan aroma parfum wanita itu menyentuh ujung hidung Citra. Mata mereka bertemu, tapi mereka tidak saling berbicara. Wajah Citra menjadi dingin dan tanpa ekspresi. Dia berhenti melihat wanita itu, dan berkata pada Satya, "Ayo pergi." Setelah itu, dia menuruni tangga selangkah demi selangkah dengan sepatu hak tingginya. Dia sama sekali tidak melihat wanita itu lagi, bahkan tidak peduli.

Satya membukakan pintu mobil untuknya, menatap wajahnya dalam-dalam, dan tidak berkata apa-apa. Citra membungkuk dan masuk ke dalam mobil tanpa melihat siapa pun. Ferrari putih itu pergi dari hadapan sekelompok orang yang ada di sana, dan mereka semua menatap kepergian Citra dengan tatapan kosong.

Citra menundukkan kepalanya dan duduk meringkuk di kursi mobil. Satya mengemudi dengan sangat pelan tanpa mengucapkan sepatah kata pun hingga ponsel di tas Citra tiba-tiba bergetar. Dia mengulurkan tangannya dan mengeluarkannya sambil melirik sekilas, "Ya, Alana?"

"Citra, jangan pulang sekarang. Para wartawan akan ke apartemenmu. Sekarang lebih banyak wartawan yang akan menunggumu di sana," ucap Alana dengan nada panik.

Citra mengerutkan keningnya, "Oke. Baiklah kalau begitu." Alana bertanya lagi, "Apa rencanamu? Apakah kamu ingin menghindari mereka dulu?"

"Tidak, aku akan menuju ke suatu tempat," jawab Citra singkat. Alana menanggapi, "Telepon aku jika kamu butuh bantuan."

"Terima kasih, Alana," sahut Citra sambil menutup telepon. Setelah itu, Citra melihat ke samping, "Kita tidak bisa pulang ke apartemenku, Satya."

Chapitre suivant