webnovel

Drama di Hari Pernikahan

Citra meminum susu kedelai sebentar, lalu berkata tanpa mengangkat kepalanya, "Bukankah karena kamu menyuruhku untuk tidak menikahinya?" Pria itu berkata dengan ringan, "Tidak." Citra menunduk dan terus minum susu kedelai, sedangkan Satya tidak berkata apa pun lagi.

Samar-samar terdengar ponsel yang bergetar di ruang tamu. Citra sedikit menopang dagunya dan memanggil pria di seberangnya, "Pergi dan ambil ponselnya." Pria itu menatapnya dan berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Layar ponsel Citra memperlihatkan nama Alana. Citra menunduk dan menekan tombol jawab, "Adikku sudah kembali dari Australia?" Dibandingkan dengan suara manis Citra, ada suara ketus Alana di sana, "Sudah kubilang, kamu tidak boleh menikah dengan Miko secepat ini. Aku tahu kamu tidak ingin menikah. Hari ini, semua media memberitakan tentang pernikahanmu. Mereka bilang itu batal!"

Ketika Citra menikah pada usia yang sangat muda, dan dia sedang berada di puncak karirnya, Alana adalah orang pertama yang menentangnya dan mengatakan banyak alasan untuk membujuk Citra agar dia tidak menikah dengan Miko.

Setelah Citra mengumumkan pernikahannya kali ini, Alana tidak punya pilihan selain meluapkan amarahnya pada Citra. Tetapi, karena gadis ini sangat menyayangi Citra, meskipun dia sedang berlibur untuk bepergian keliling dunia, dia memutuskan untuk kembali ke Medan tadi malam untuk mempersiapkan pernikahan Citra hari ini.

Namun, sekarang kabar batalnya pernikahan Citra justru terdengar seantero negeri. Citra sedikit memiringkan kepalanya dan meletakkan susu kedelai di tangannya, "Alana, bagaimana kamu tahu bahwa aku dan Miko tidak jadi menikah?"

Alana berteriak keras, "Apa? Apa kamu tidak tahu?"

Citra menjawab dengan nada bodoh, "Tidak tahu apa?"

"Aku mendengar dari teman wartawanku yang mengatakan bahwa Miko akan membatalkannya. Konferensi pers akan diadakan, dan semua media arus utama diundang di sana untuk mendengarkan pernyataan Miko itu. Apa kamu tidak tahu tentang ini?"

Citra menunduk, mengerucutkan bibir, dan tidak berkata apa-apa. Alana yang tidak mendapatkan jawabannya, akhirnya meninggikan suaranya, "Apakah kamu dicampakkan? Tepat pada hari pernikahanmu?"

Ada lengkungan di bibir Citra, dan dia berkata dengan lemah, "Aku dibuang sebelum menikah. Itu lebih baik daripada dicampakkan setelah menikah. Benar, bukan?"

Alana masih tidak terima, "Miko secara sepihak membatalkan pernikahan ini dan tidak memberitahumu?" Citra menjawab dengan lirih, "Alana, kamu dapat menanyakan tentang itu nanti. Aku akan menjelaskan semuanya padamu."

"Citra." Suara Alana terdengar sedih. Kemudian, dia berkata dengan tegas, "Jangan khawatir, aku akan segera berbicara dengan tim hubungan masyarakat untuk membahas agar kabar ini bisa diredam."

"Tidak, aku tahu bagaimana mengatasinya. Beri tahu saja alamat konferensinya. Jika kamu tidak bisa memberinya, aku akan mencari orang lain," pungkas Citra.

"Citra…" ucap Alana berusaha menenangkan Citra.

"Selamat tinggal. Aku tutup dulu. Aku tunggu pesan darimu," kata Citra sambil menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Alana. Citra mengangkat matanya. Dia menatap mata Satya yang dalam dan acuh tak acuh, "Bersiaplah, dan antar aku ke konferensi pers setelah ini."

Pria itu menatapnya selama beberapa detik, "Oke." Citra kembali ke kamar mandinya untuk berganti pakaian, sedangkan Satya menunggunya di ruang tamu.

Dalam beberapa menit bel pintu berbunyi lagi.

Felix kembali. Dia memegang tas kecil di tangannya, dan bertanya pada Satya "Itu… Apakah kamu mau ini?" Satya meliriknya, lalu sedikit mengernyit, tetapi dia mengulurkan tangan dan mengambilnya. Dia berkata dengan nada serius, "Kirim seseorang untuk menanyakan tentang konferensi pers yang disiapkan oleh Miko, dan awasi Yulia dan suaminya."

"Saudaraku, apakah kamu punya perintah lain?" tanya Felix. "Tidak, pergi dan lakukan itu saja," jawab Satya.

Citra sedang memilih gaun di ruang ganti, lalu menghabiskan lebih dari satu jam untuk merias wajah. Sosok tinggi Satya sedang bersandar di kusen pintu. Matanya yang gelap dan tenang menatap ke arahnya, melihat bagaimana Citra yang sedang memakai lipstik, dan akhirnya mengambil mantel merah beserta syal.

Suhu turun tajam hari ini. Terlebih, ini sudah musim hujan. Citra mengenakan mantelnya sendiri, dan menyerahkan syal pada Satya, "Kamu tinggi, pasangkan syal ini padaku." Satya menurutinya dan memasangkan syal di lehernya. Dia juga memasukkan rambut panjang Citra agar rapi. Dagu Citra juga tertutup oleh syal itu.

Citra mengangkat wajahnya dan melihat rahang sempurna pria itu, "Apakah aku terlihat cantik hari ini?"

"Ya," jawab Satya singkat. Citra menendangnya dengan ringan, dan berkata tidak puas, "Apa yang kamu lakukan? Kamu bahkan tidak melihatku." Karena Satya sedang merapikan syal untuknya, pria itu menundukkan kepalanya. Kini napasnya menerpa telinga dan leher Citra. Dia berkata, "Aku sudah menunggumu lama sekali."

Citra mengerucutkan bibirnya dan berdiri diam. Dia menunggu di tempatnya. Lalu, dia mengambil tas yang cocok dengan pakaiannya, dan kemudian kembali ke ruang kerja untuk mengemasi beberapa barang. Ketika dia akan mengganti sepatunya, dia melihat pria itu duduk di sofa di depan meja kopi. Dia menatapnya dengan intens dan berbisik, "Minum ini dulu sebelum pergi."

Citra berjalan dengan membawa tasnya sambil melihat barang-barang di meja kopi. Dia mengambil segelas air dan pil putih yang diberikan oleh Satya. Citra menggodanya, "Kamu cukup berpengalaman." Setelah hening beberapa saat, pria itu berkata, "Aku memang pintar."

"Bagaimana jika aku tidak meminum ini?" tanya Citra. Dia berkata dengan ringan, "Ya, tetapi jika kamu hamil, kamu harus melahirkannya, bukan menggugurkannya."

"Kamu ingin aku membesarkannya?" tanya Citra dengan mata terbelalak.

"Tentu saja aku akan membesarkannya," jawab Satya dengan santai.

Citra memandangi wajah tampan Satya, tiba-tiba bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan pria itu. Satya tampaknya memiliki rasa tanggung jawab yang sangat besar. Citra memperkirakan jika mereka menikah, maka tidak akan ada masalah yang berarti. Namun perasaan ini membuatnya sangat tidak nyaman.

Tapi, Citra juga berpikir bahwa Satya akan bersikap sama terhadap tunangan kekasih masa kecilnya itu. Siapa lagi kalau bukan Laras? Dia tidak tahu apakah Satya sedang bicara omong kosong atau sungguh-sungguh terhadap dirinya.

Citra meletakkan tasnya, membungkuk dan mengambil obat dan air itu. Lalu, dia menelannya dengan mudah. Setelah selesai, gelas air itu diletakkan di atas meja kopi hingga membuat suara keras. Satya menyipitkan matanya dan menatap punggung Citra ketika dia meletakkan gelas dan berjalan keluar tanpa ekspresi.

Apakah dia… sedang marah? Tanya Satya dalam hati.

____

Alana telah mengirimkan alamat konferensi pers kepada Citra. Ternyata lokasinya tepat di gereja tempat mereka akan mengadakan pernikahan. Sejak Citra masuk ke dalam mobil, wajahnya selalu menghadap ke luar jendela mobil. Matanya tidak berkedip dan dia melihat pemandangan jalanan yang berlalu dengan cepat. Dia menjadi sangat pendiam. Namun, tidak terlihat kesedihan atau kemarahan sama sekali di wajahnya. Tidak ada emosi apa pun.

Konferensi pers akan diadakan oleh Miko satu jam sebelum jadwal pernikahan. Para wartawan sudah lama mendengar undangan tersebut, dan sudah bersiap di sana. Tak hanya itu, lebih dari separuh tamu yang berencana menghadiri pernikahan juga telah tiba.

Satya yang sedang mengemudi dengan tenang tiba-tiba tertawa dan berkata, "Apakah kamu akan membawaku ke Miko untuk membuatnya marah?" Citra tiba-tiba menoleh dan memutar matanya, "Aku lupa memberitahumu. Nanti ketika orang lain bertanya apakah kamu masih pengawalku, jawab saja jika kamu masih pengawalku. Jangan memberitahu orang-orang bahwa aku akan menikahimu."

Satya mengangkat alisnya sedikit, "Apa?"

"Kamu tidak diizinkan memberitahu siapa pun tentang hubunganmu denganku. Kamu adalah pengawalku, mengerti?" jelas Citra.

Chapitre suivant