webnovel

#Penyelidikan #031

Kasus bunuh diri profesor berinisial R membuat seluruh negeri heboh. Meski hanya disebut inisialnya, tidak mungkin publik tidak tahu. Ciri-ciri yang disebutkan benar-benar sama dengan Profesor Rekson dari usia, kisah hidup, sampai bidang penelitian yang digeluti.

Profesor Rekson adalah peneliti yang disegani. Sumbangsihnya untuk ilmu pengetahuan di N Island tidak perlu dipertanyakan lagi. Selain menghabiskan waktunya untuk meneliti, Profesor juga ikut mengisi seminar-seminar pendidikan. Tidak jarang ia diundang sebagai dosen tamu untuk memberi materi kuliah di beberapa universitas ternama.

Nama Profesor Rekson tidak hanya dikenal di kalangan para peneliti dan pendidik. Negara-negara lain juga mengakui kegeniusannya dalam berinovasi. Tidak hanya di dalam negeri, beberapa kali ia juga diundang untuk ikut mengisi seminar di negara-negara tetangga.

Begitu berita meninggalnya Profesor Rekson diberitakan di mana-mana, banyak orang berduka, menyayangkan. N Island telah kehilangan salah satu peneliti terbaiknya.

Profesor tinggal di rumah pribadinya yang berada di pusat kota. Rumah profesor tingkat dua dan memiliki lab. pribadi sederhana di dalamnya. Halaman rumah luas, ada banyak tanaman dan dua pohon besar yang sudah tua, membuat rumah tampak asri.

Profesor Rekson tidak tinggal sendiri. Seorang pengurus rumah tangga yang mengurusi semua keperluan juga tinggal di sana. Sewaktu insiden terjadi ia tengah terlelap dan tersentak bangun ketika mendengar suara tembakan.

Rumah Profesor Rekson dipasangi garis polisi. Petugas yang datang untuk memeriksa baru saja pergi. Adiwangsa memanjat pagar. Sebelum melompat masuk, sekali lagi ia mengamati sekelilingnya. Ia harus yakin keadaan benar-benar aman dan ia tengah seorang diri.

Aman.

Menurut keterangan petugas yang bertanggung jawab terhadap kasus, senjata yang digunakan Profesor adalah senjata ilegal, yang memang miliknya sendiri.

Segala situasi di TKP sangat mendukung kesimpulan bahwa kasus yang terjadi adalah bunuh diri. Kasus terjadi ketika Profesor tengah berada di ruang kerjanya, tidak ada tanda-tanda perusakan atau pun perkelahian, senjata milik sendiri, sidik jari yang tertinggal pada pistol hanya milik Profesor, tes racun negatif, dan posisi tubuh yang tidak juga tampak mencurigakan.

Sungguh tidak ada hal yang mencurigakan kecuali motif Profesor Rekson melakukan bunuh diri. Pun tidak ada surat wasiat yang menegaskan bunuh diri adalah pilihannya.

Setelah berhasil masuk, Adiwangsa berkeliling, memeriksa bagian halaman sembari mencari pintu atau jendela yang bisa dibuka. Ia datang tidak hanya untuk mengamati rumah. Ia harus masuk ke TKP untuk memeriksa ruangan itu. Adiwangsa tidak berharap banyak, ia hanya tidak ingin aksinya sia-sia.

Menurut keterangan Haidee saat ia mengunjungi Profesor, pria itu masih berusaha melindungi diri dengan menarik laci untuk mengambil senjata. Profesor juga membalas kalimat-kalimat Haidee dengan angkuh dan penuh percaya diri. Dengan sikap seperti itu, bagaimana mungkin dalam hitungan jam suasana hatinya berubah dan lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Haidee telah kembali yang artinya proyek Rekayasa Emosi masih memiliki kemungkinan untuk dilanjutkan. Arya Baswara mencalonkan diri sebagai presiden dan sejauh ini peluang kemenangannya sangat tinggi. Jika ingin bunuh diri, lebih masuk akal jika ia lakukan saat istri dan anaknya meninggal, atau saat Arya Baswara menghentikan proyek penelitian.

Apa alasan Profesor bunuh diri, Adiwangsa terus bertanya-tanya.

Adiwangsa berhenti berkeliling ketika menemukan jendela ruang samping dapat dibuka. Ketika ia akan masuk, terdengar langkah seseorang mendekat ke arahnya.

Adiwangsa merapat di tembok dan menunggu. Ketika orang yang mengikutinya terlihat, Adiwangsa menyerang lebih dulu. Menyerang di awal dengan tiba-tiba, memiliki kemungkinan menang lebih besar. Dengan berpatokan pada teori itu, Adiwangsa menyerang lebih dulu.

Adiwangsa dan lawannya terlibat saling serang hingga 4 pukulan dan berhenti karena Adiwangsa menjadi orang yang kalah dan tersungkur ke tanah.

"Lumayan, sekarang kamu bisa bertahan sampai pukulan keempat." Orang yang berbicara adalah Mark.

Adiwangsa berdiri, "Sedang apa kamu di sini?" tanyanya dengan suara berbisik, padahal hanya ada mereka berdua di tempat itu.

Di lingkungan itu, jarak satu rumah dengan rumah lainnya tidak begitu rapat. Lingkungannya juga sepi karena semua orang lebih memilih menghabiskan waktu dalam rumah. Apa lagi setelah kasus yang menimpa Profesor Rekson. Karena itu, walau Adiwangsa dan Mark berbicara dengan suara normal, tidak akan ada yang bisa mendengar mereka.

"Mengikutimu." Mark berbicara dengan nada berbisik, meniru suara Adiwangsa. "Haidee bilang, jangan biarkan Adiwangsa lepas dari pengawasanmu."

Adiwangsa berdehem, "Kurang kerajaan!" katanya dengan suara normal.

Kembali ke pekerjaannya sebelum Mark datang, Adiwangsa membuka jendela ruang samping. Sebelum masuk ia mengalasi sepatunya. Ia tidak ingin meninggalkan jejak jika ada polisi yang kembali untuk melakukan pemeriksaan.

"Kamu sedang apa?" tanya Mark kembali dengan nada berbisik.

"Masuk." Sebenarnya tidak perlu dijelaskan Adiwangsa datang memang untuk masuk ke TKP. "Kamu tunggu di sini. Beri aku tanda kalau ada yang datang."

Sebelum Mark menjawab, Adiwangsa telah menghilang.

Kondisi rumah rapi dan bersih, benar-benar sesuai dengan kepribadian Profesor. Plafonnya tinggi. Seluruh dinding dicat putih. Ada foto keluarga dalam pigura besar di ruang depan. Hiasan dinding yang lain adalah foto-foto Profesor dengan orang-orang yang seprofesi dengannya.

Ruang kerja Profesor ada di lantai satu. Karena tempat yang ia cari telah ditemukan, Adiwangsa tidak perlu lagi memeriksa ke tempat-tempat lain. Hanya fokus pada ruang kerja.

Adiwangsa sedang memeriksa jejak-jejak di ruang kerja Profesor ketika melihat Mark juga masuk. Mengikuti jejak Adiwangsa, Mark juga masuk dengan mengalasi sepatunya. Ia menggunakan kantong plastik beda warna yang entah didapat dari mana.

"Menemukan sesuatu?" Mark mendekat ke arah Adiwangsa.

Adiwangsa menggeleng. Ia baru mulai memeriksa.

Setelah selesai memeriksa jejak-jejak di lantai, Adiwangsa beralih pada meja kerja. Ia memeriksa laci, tempat duduk, dan segala hal yang tertinggal di atas meja. Jejak darah yang terlihat satu arah menandakan Profesor mati seketika setelah menembak kepalanya sendiri.

Di lantai ada jejak darah yang terlihat berasal dari peluru yang menembus kepala kemudian jatuh ke lantai. Meski Adiwangsa yakin jejak itu berasal dari sebuah peluru, tapi peluru yang dimaksud kini tidak ada di tempatnya. Jelas polisi membawanya untuk dijadikan barang bukti.

Adiwangsa masih memeriksa jejak darah di lantai ketika ia melihat ada jejak lain di luar jalur jejak sepatu yang Haidee tinggalkan. Jejak itu menyendiri di sudut rak. Dari ukurannya terlihat lebih kecil satu nomor.

Ruang kerja Profesor Rekson tidak terlalu luas karena rak-rak buku yang memenuhi banyak sisi. Di dinding-dindingnya banyak tergantung piagam menandakan kebanggaannya yang sangat terhadap pekerjaannya. Di meja ada laptop, ATK, dan foto keluarga. Buku-buku dalam rak hampir semuanya dicetak dalam bahasa asing.

Adiwangsa berinisiatif untuk mengintip isi laptop Profesor tapi karena memerlukan sandi untuk masuk, Adiwangsa mengurungkan niatnya. Bukan karena ia tidak bisa mengurai sandinya, ia hanya tidak memiliki banyak waktu. Jika pun ada banyak hal berguna dalam laptop, entah itu polisi atau pelaku pasti sudah membawa barang itu.

Jejak yang bukan berasal dari sepatu Haidee juga tertinggal di bawah meja bagian depan. Artinya, tamu lain yang datang sempat duduk di kursi dan berbicara dengan Profesor. Jadi, pertanyaannya siapa? Orang yang dikenalkah?

Ketika sedang menebak-nebak siapa orang yang datang, ponsel Adiwangsa bergetar tanda sebuah panggilan masuk.

Tampaknya pemikiran Adiwangsa mengenai kasus yang melibatkan Haidee tidak salah. Orang yang menelepon adalah Haidee, yang artinya ia telah mendapatkan kembali ponselnya dan bisa meninggalkan kantor polisi. Bisa meninggalkan kantor polisi dengan cepat, kehadiran Haidee memang hanya untuk melengkapi laporan.

Sebelumnya, Haidee melakukan sesuai dengan apa yang Adiwangsa sarankan. Ketiga temannya tidak sepenuhnya setuju, karena polisi menganggap kasus sebagai bunuh diri, Haidee seharusnya tidak perlu pergi.

"Karena tidak bersalah berarti tidak perlu takut. Tidak bersalah sendiri adalah alasan paling kuat kenapa Haidee harus tetap pergi. Kalau Haidee bersembunyi, justru membuat masalah menjadi rumit dan kecurigaan akan mengarah padanya. Masa logika seperti itu saja aku harus menjelaskannya!"

Adiwangsa merasa frustrasi. Kenapa dari banyak kepala tidak satu pun yang bisa sama dengan isi pikirannya.

Setelah Haidee membuat keputusan, Adiwangsa berpesan agar langsung menghubunginya begitu meninggalkan kantor polisi. Ia akan dijemput.

"Kamu bawa mobil?" tanya Adiwangsa pada Mark. Mark mengangguk. "Bagus! Kita jemput Haidee."

Adiwangsa adalah tipe orang yang jarang menggunakan kendaraan pribadi jika tidak dalam keadaan terdesak atau terburu-buru. Baginya, menggunakan kendaraan pribadi membuat keberadaannya mudah dilacak dan diikuti. Adiwangsa lebih suka menggunakan kendaraan umum dan berkerumun dengan banyak orang. Selain lebih aman, akan mudah untuknya mengecoh orang yang diam-diam membuntutinya.

Haidee sedang menunggu di koridor sentra pelayanan kantor polisi ketika Mark yang berada di seberang jalan menekan klakson.

"Bagaimana dengan interogasinya?" Mark yang pertama kali bertanya ketika Haidee telah masuk ke dalam mobil.

Mark dan Adiwangsa duduk di kursi depan, sementara Haidee di kursi belakang. Mobil segera lepas landas meninggalkan kantor polisi.

"Sama seperti yang Adiwangsa bilang, hanya untuk mengumpulkan keterangan. Sepertinya polisi sangat yakin kalau kasus yang menimpa Profesor adalah bunuh diri," jawab Haidee.

"Aku juga yakin bunuh diri." Adiwangsa bersuara, tapi lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi apa alasannya? Kenapa memilih bunuh diri?" Ia terus mempertanyakan alasannya.

"Benar-benar bunuh diri? Bukan pembunuhan yang dibuat menyerupai bunuh diri?" Mark menimpali. "Barangkali ada konspirasi besar di balik kasus Profesor yang melibatkan N Island dan proyek Rekayasa Emosi Manusia."

Adiwangsa melirik ke arah Mark, "Hyung, kelihatannya kamu terlalu banyak menonton drama. Sesuatu yang mencurigakan tidak harus berhubungan dengan konspirasi." Adiwangsa menggeleng. "Untuk membuat pembunuhan terlihat sebagai bunuh diri, korban harus dibuat tidak sadarkan diri lebih dulu. Bisa dengan obat atau memukul sampai pingsan. Polisi pasti sudah melakukan tes darah, sementara di TKP juga tidak ditemukan tanda-tanda perkelahian."

"Bagaimana jika dipaksa bunuh diri?" kata Mark lagi.

Dipaksa bunuh diri, Adiwangsa tidak suka mendengar kalimat itu. Firasatnya bertambah buruk. "Haidee, apa tidak ada yang aneh saat kamu menemui Profesor? Kami menemukan jejak lain selain jejak sepatumu."

Haidee tidak langsung menjawab. Ia mengingat-ingat, berpikir. Benaknya kembali ke situasi malam itu, mereka ulang segala yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Haidee berpikir keras, mencari dalam ingatannya dengan teliti.

Cahaya dalam ruang kerja Profesor malam itu temaram. Mungkin Profesor sudah menyelesaikan pekerjaannya dan akan beristirahat ketika Haidee datang, atau untuk menyamarkan keberadaan orang lain agar tidak mencolok.

Haidee berpikir lagi. Ia tidak memperhatikan semua sudut saat masuk. Fokusnya hanya tertuju pada Profesor Rekson. Haidee telah selesai mengingat ketika ia menemukan sesuatu yang penting dan nyaris terlewatkan dalam ingatannya.

"Foto!" Haidee berseru. "Ada foto di atas meja yang tidak hanya satu tapi ditutupi laporan agar tersembunyi. Sepertinya foto orang yang terbunuh. Aku bisa tidak melihatnya dengan jelas, aku hanya menangkap gambar darah dan seseorang yang tampak tergeletak."

Adiwangsa mengangguk. Ia merogoh ponsel di sakunya untuk mulai melakukan pencarian.

Mobil masih melaju dengan kecepatan normal. Tidak lama lagi mereka akan sampai di tempat persembunyian mereka.

"Apa efek samping penelitian semakin parah? Apa aroma terapi yang sebelumnya sudah tidak ada khasiatnya sama sekali?" Adiwangsa mengalihkan pembahasan namun tatapannya masih tertuju pada ponselnya.

Haidee mengubah posisi duduknya menjadi senyaman mungkin. Ia meletakkan kepalanya ke sandaran kursi dan menatap ke luar jendela. "Aku rasa... sudah tidak ada obatnya lagi."

Hening. Mark hanya melirik Haidee dari spion. Pria itu mulai memejamkan matanya. Sementara Adiwangsa tidak memberi tanggapan apa pun, hanya fokus pada ponselnya.

Efek samping penelitian benar-benar membuat Haidee harus merasakan kehancuran untuk yang kedua kalinya. Ia telah hancur dalam mimpinya selama tujuh tahun. Tiga tahun kemudian, ketika ia bangun, ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari merasa hancur.

Haidee tidak tahu persis apa penyebab semakin parah efek samping yang dialamnya. Mungkin karena lambat diobati atau memang sudah saatnya otaknya rusak.

Terkadang Haidee akan merasakan kesedihan yang panjang, atau tiba-tiba merasakan keputusasaan yang dalam. Perasaan lain seperti ingin menyerah pada hidup dan segera mengakhiri semuanya juga ada. Haidee berusa keras untuk tidak tenggelam ke dalam perasaan-perasaan itu. Ia masih memiliki sesuatu yang harus diselesaikan, seseorang yang harus ditemui.

Otak Haidee tidak bisa membagi hal yang nyata dan halusinasi. Suasana hatinya berubah dengan cepat tanpa sebab yang pasti. Perlahan, Haidee kehilangan kontrol pada dirinya sendiri.

Tidak memiliki pilihan membuat Haidee terpaksa melukai dirinya sendiri. Saat merasa kesakitan ia jadi bisa membedakan dengan jelas perasaan yang nyata dan palsu. Saat merasa kesakitan, ia bisa membedakan pandangan yang sebenarnya dan yang sebatas halusinasi.

###

Chapitre suivant