Hongli sedang mengoperasikan komputer Adiwangsa sementara pemiliknya dan Haidee duduk di belakang, mengamati pekerjaannya.
"Dari mana kamu tahu aku akan kembali?" Haidee membuka percakapan.
"Orang yang akan kamu benci akan menjadi presiden, bagaimana mungkin kamu tidak kembali," jawab Adiwangsa seolah untuk mencapai ke logika itu semua orang dapat melakukannya.
"Jadi, kamu pikir kalau orang itu tidak ikut pencalonan aku tidak akan kembali?"
"Pasti kembali. Bedanya aku tidak akan bisa memprediksi waktunya dengan tepat." Bosan menunggu Hongli selesai mengumpulkan informasi, Adiwangsa duduk dengan punggung merosot sembari memainkan game di ponselnya.
Sebelumnya mereka berkelahi, Haidee dan teman-temannya menyerang Adiwangsa, menyusup ke tempat persembunyiannya, mengikatnya di kursi. Carl bahkan berulang kali menodongkan pistol ke kepalanya dan satu kali melepaskan tembakan yang mengancam nyawanya.
Sekarang, melihat mereka semua duduk tenang di satu ruangan yang sama, rasanya seperti mereka baru saja beradu akting dan tidak sungguh-sungguh saling mengalahkan. Bahkan, walaupun Adiwangsa belum membalas tendangan terakhir Mark yang telak mengenainya.
"Kalau begitu dari mana kamu tahu jumlah kami ada empat." Kali ini Mark yang bertanya. Matanya bahkan sudah setengah terpejam saking merasa bosannya.
"Dimulai saat aku tahu ada orang yang menguntitiku, kemudian aku sadar dengan situasinya, dan teringat nama Haidee Putra. Seharunya Haidee Putra tidak akan melakukan hal itu sendiri karena dia telah mengenalku. Orang pertama. Kemudian aku menemukan ada seseorang yang mencoba meretas akunku. Orang kedua. Terakhir, seorang informan di Pulau Beta memberitahuku kalau ada orang asing yang saat ini berada di Pulau Gama membeli senjata," jelas Adiwangsa.
Karena merupakan pusat wisata, ada banyak orang asing yang masuk dan keluar dengan bebas, menjadikannya mudah bagi orang-orang bertujuan jahat untuk menyelundupkan barang-barang ilegal. Pemerintah telah memperketat keamanan lebih dari sebelumnya, tapi otak manusia selalu berkembang, selalu berhasil mendapat celah untuk memanipulasi.
"Mata-mata, hacker, penembak. Haidee, kamu berencana memulai perang?"
"Tergantung, apakah mereka pada akhirnya memiliki itikad baik," jawab Haidee sesukanya.
Adiwangsa hanya menggeleng. "Omong-omong siapa yang memata-mataiku. Kemampuannya buruk sekali," Adiwangsa berkata dengan fokus masih pada permainannya. "Haidee, aku berbaik hati padamu untuk menyarankan segera ganti orang itu."
"Aku tidak perlu dikatai oleh orang yang bukan pria sejati," balas Mark.
Adiwangsa hanya bisa berdecak kesal. Ia tidak akan mendebat atau membalas karena pada akhirnya ia tetap saja akan kalah.
"Selesai!" seru Hongli. Ia beranjak dari tempat duduknya. "Tidak perlu memuji. Aku tidak perlu dipuji oleh orang yang menyia-nyiakan wanita cantik." Hongli menepuk bahu Adiwangsa dan mereka bertukar kursi.
Adiwangsa menahan napas kesal. Ia menunjuk satu per satu wajah orang yang mengatai dan menertawainya. Ia berjanji akan membalas mereka nanti.
Adiwangsa duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Hongli dan membaca apa yang telah Hongli temukan. Di layar tertera bukti pembayaran alutsista tempur yang dibeli oleh kemiliteran dengan harga yang terlalu rendah. Sebuah dugaan korupsi dirilis sebuah artikel Online. Di bagian lain ada foto Moissani Sekai dengan seseorang yang terlihat seperti sopirnya.
Sopir?
Adiwangsa merasa tidak asing dengan sosok si sopir. Ia memperbesar gambar dan si sopir benar-benar terlihat mirip dengan ayahnya.
Kening Adiwangsa berkerut dalam. Ia benar-benar tidak mengerti apa hubungan pembelian alutsista dengan harga murah, dugaan korupsi, dengan keberadaan ayahnya. Meski ayahnya berhubungan dengan Moissani Sekai yang saat itu merupakan salah satu petinggi di kemiliteran, tapi ayahnya hanya seorang sopir.
Lagi pula artikel mengenai dugaan korupsi yang ada di layar komputernya, telah diselidiki dan tidak terbukti. Alutsista yang dibeli pun telah dipastikan barang baru dan bukan barang cacat atau bekas.
Bukti yang tersebar di internet entah berasal dari mana. Dari kertas kuitansi yang digunakan sampai tanda tangan, benar-benar mirip dengan aslinya. Karena tidak diketahui sumbernya, bukti pembayaran yang beredar pun dianggap sebagai ulah seseorang tidak bertanggung jawab yang ingin merusak hubungan kedua negara.
"Jadi jalan ceritanya seperti ini, orang yang kamu temui itu adalah si penyebar, dan ayahku menjadi mata-mata atas perintah Moissani Sekai?" Adiwangsa menebak dengan asal, sejauh otaknya mampu melogika dalam waktu singkat apa yang mungkin terjadi.
Haidee hanya mengangkat kedua bahunya bersamaan secara tidak bertanggung jawab. "Aku hanya memberimu sebuah petunjuk. Untuk selanjutnya silakan cari tahu sendiri."
Adiwangsa merasa frustrasi. Ia benci petunjuk yang setengah-setengah. Adiwangsa berjalan menuju ranjangnya kemudian menjatuhkan diri. Rasanya seperti Haidee telah mempermainkannya. Padahal ia telah berharap banyak, berharap lebih. Berpikir bahwa akhirnya ia sudah berada lebih dekat dengan kebenaran mengenai identitas ayahnya. Tapi begitu berada di puncak rasa ingin tahunya, semua berakhir. Tidak ada apa-apa lagi.
Moissani Sekai...
Moissani Sekai...
Moissani Sekai...
Orang itu sungguh tidak mudah didekati. Lebih tidak mudah untuk menghadapinya secara langsung. Jika orang itu benar terlibat, jelas masalah yang ada di baliknya jauh lebih rumit. Lebih dari apa yang Adiwangsa bayangkan.
Pikiran Adiwangsa carut-marut, pusing. Jika ia sudah tidak sanggup lagi berpikir, ia akan memilih untuk tidur. Membiarkan otaknya rehat sejenak, memberi dirinya perasaan tenang. Orang lain mungkin tidak akan bisa tidur saat pikirannya kacau, tapi dalam hitungan lima menit, Adiwangsa telah mengorok. Tertidur pulas.
***
Adiwangsa bangun ketika langit mulai gelap. Otaknya telah cukup beristirahat dan perasaannya sudah jauh lebih tenang. Adiwangsa memperhatikan sekelilingnya yang telah kembali tenang. Adiwangsa naik ke atas karena berpikir keempat orang itu berada di sana, tapi nihil.
Ketika Adiwangsa berpikir orang-orang itu telah pergi, Adiwangsa melihat tas-tas mereka di kamar. Adiwangsa keluar dan melihat ada banyak jejak menuju ke lantai atas. Jejak-jejak itu terlihat jelas karena selama ini hanya Adiwangsa yang menghuni gedung. Ia tidak pernah ke lantai atas sehingga lantainya dipenuhi debu.
Gedung merupakan bangunan berlantai tiga. Hanya lantai paling bawah yang ruang-ruangnya telah selesai pengerjaannya. Lantai dua pengerjaan dindingnya masih belum selesai sepenuhnya. Sementara lantai tiga, masih berupa tempat terbuka dengan dinding dan atap yang sama sekali belum dikerjakan. Masih hanya berupa lantai dan tiang penyangga bangunan.
"Oh My God! Apa yang kalian lakukan?!" Adiwangsa berseru marah.
Semua orang sedang berkumpul di lantai tiga. Tidak hanya berkumpul, mereka juga menyalakan api, dan memanggang daging.
"Berpesta," jawab Hongli tanpa perasaan bersalah. Bahkan meski dia tahu Adiwangsa sedang marah.
Adiwangsa benar-benar tidak habis pikir. Percuma ia memilih tempat bersembunyi di sebuah bangunan belum jadi yang terbengkalai dan terkenal angker kalau orang-orang yang baru datang itu justru membuat tempat persembunyiannya menjadi mencolok.
Padahal selama ini Adiwangsa selalu berhati-hati, ia memilih tempat, melakukan survei, dan menyiapkan ilusi optik sebagai penyamaran, tapi pada akhirnya semua upaya dan usaha yang ia lakukan dikacaukan orang lain.
"Matikan! Matikan, kataku!" Adiwangsa mengamuk.
Adiwangsa berencana menghambur acara keempat orang yang sedang berkumpul itu, tapi Mark menghadang di depan. Marak telah memasang kuda-kuda dan bersiap menyerang Adiwangsa jika nekat membuat masalah.
"Santai, Man! Tidak ada siapa-siapa di sini, hanya kita berlima." Carl ikut menghadang dengan mengacungkan penjepit makanan ke arah Adiwangsa.
"Di sekitar sini memang tidak ada orang, tapi asap bakaran kalian bisa terlihat bahkan dari kejauhan!" Adiwangsa semakin emosi. Ia tidak mengerti kenapa ia harus memberi penjelasan untuk hal sederhana seperti itu.
"Kita berlima di sini, memangnya apa yang perlu ditakutkan?" Haidee yang berdiri di depan pembakaran menimpali.
Adiwangsa ingin menjelaskan bahwa takut dan hati-hati adalah dua hal yang berbeda. Bahwa selama ini ia bisa tetap hidup dengan tenang berkat sifat hati-hati dan perhitungannya yang matang dalam bertindak. Tapi bahkan dengan menjelaskan semua itu, ia rasakan tetap tidak akan ada manfaatnya.
"Mungkin sebenarnya dia takut wanitanya mengejar sampai ke sini," cemooh Mark, semua orang tertawa.
Adiwangsa tidak sanggup lagi. Menghadapi orang-orang di depannya membuatnya sakit kepala dan gila. Seorang Haidee saja sudah merepotkan, kini harus ditambah tiga Haidee lagi. Hidup Adiwangsa benar-benar sial.
Adiwangsa pergi dengan marah.
"Hei, tidak mau ikut bergabung?" Mark berseru dan yang lain lagi-lagi tertawa.
Tidak tahu harus menghabiskan malam di mana, Adiwangsa pergi ke sebuah warnet yang buka 24 jam.
Setelah kembali ke N Island setahun lalu, Adiwangsa tidak memberi tahu ibu. Adiwangsa tidak melakukan kontak dengan ibu atau siapa pun untuk sementara. Ia juga tidak akan menerima misi untuk sementara waktu, sehingga bisa leluasa menyelidiki masalah ayahnya.
Moissani Sekai, Adiwangsa akan memulai dari nama itu. Pertama-tama yang Adiwangsa butuhkan adalah data diri orang itu. Adiwangsa juga memeriksa beberapa artikel mengenai sepak terjang politik, berita-berita negatif, dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Moissani Sekai berusia 55 tahun. Orang tuanya tidak berasal dari kemiliteran melainkan pendiri sebuah partai politik. Ia pensiun dari militer lebih awal, kemudian meneruskan partai politik yang orang tuanya dirikan sebagai ketua umum.
Moissani Sekai memilik dua orang anak, dan dua orang cucu. Istrinya sama seperti istri para politikus lainnya, kadang begitu penuh gemerlap kemewahan, kadang kala ramah dan membumi. Koneksinya beragam yang ke semua adalah orang-orang yang memiliki kedudukan dan kekuasaan.
***
Jam telah menunjukkan pukul 00.05. di sebuah ruang kerja, seorang pria berusia 43 tahun masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Ia berencana menyelesaikan semuanya sekaligus sebelum beristirahat.
"Selamat malam, Prof." Seseorang melangkah masuk dengan seenaknya.
Profesor mengangkat wajahnya, terkejut. "Haidee Putra, kamu benar-benar kembali?"
"Tentu saja. Bukankah kalian masih berutang pembalasan."
Profesor Rekson tersenyum sinis. Diam-diam tangannya menarik laci entah akan mengambil apa. Tapi belum sampai laci terbuka sepenuhnya, sebuah titik merah terlihat di mejanya. Titik merah kemudian bergerak dengan perlahan ke arahnya.
Profesor berbalik dan titik merah berakhir di dahinya. Ketika tirai jendela di belakang tempat duduknya disingkap, terlihat seseorang sedang memegang senapan dan membidik ke arahnya.
"Jangan bertingkah sembarangan, Prof! Aku tidak tahu kapan jari orang di seberang sana terpeleset dan nyawamu habis." Haidee berkata ketika Profesor balik menatap ke arahnya.
Profesor Rekson masih tidak menghapus senyum sinis di wajahnya. "Saya melakukan pekerjaan ini demi negara, kalau pun harus mati sekarang itu adalah takdirku." Profesor mendekat beberapa langkah ke arah Haidee. "Kamu kembali itu bagus, sangat bagus. Sesuatu yang belum sempat selesai akan segera terselesaikan. Negara pasti akan berterima kasih dengan pantas."
"Setelah tiga tahun berlalu aku masih saja mendengarkan omong kosong yang sama. Semua demi negara, dan demi keamanan Negara aku adalah rakyat biasa yang keberadaannya bisa dihapuskan kapan pun jika dianggap mengancam. Hidupku tidak lebih berharga dibanding tikus percobaan kalian. Iya, kan?"
Profesor tidak menanggapi, Adiwangsa juga tidak membutuhkan jawaban karena ia tahu semua yang ia katakan benar.
"Tidak masalah. Kedatanganku hari ini untuk memberi peringatan, kalian tidak akan bisa merasa tenang lagi. Untuk Arata Baswara, selama ada aku, jangankan menjadi presiden, bermimpi pun ia tidak akan bisa." Haidee menatap tajam, ekspresinya tegas.
"Berpikir bisa menang melawan Negara, kamu pikir kamu siapa?" balas Profesor.
Kali ini Haidee yang tersenyum sini. "Aku tidak pernah berpikir untuk melawan negaraku. Cukup lihat dan tunggu saja!"
###