Haidee berjalan seperti orang linglung. Ia tidak tahu arah, tidak tahu harus ke mana. Ia bahkan tidak tahu sedang berada di mana. Langit semakin gelap, awan bersembunyi di balik awan yang keabu-abuan. Bintang sama sekali tidak terlihat muncul untuk menyapa malam.
Langkah kaki Haidee terus membawanya berjalan, menjauh dari penjara yang telah mengurungnya. Langkahnya lambat, pendek-pendek. Napasnya mulai berat, ia kelelahan tapi tidak ingin berhenti. Tidak boleh! Karena sekali berhenti ia tidak akan bisa berjalan lagi. Ia tidak ingin tertangkap.
Pakaian Haidee kotor. Banyak bercak kuning dan kecokelatan. Klem celananya basah. Pakaiannya tampak seperti piama rumah sakit berwarna putih tapi sudah tidak putih lagi. Ia telah memasuki lubang udara yang penuh sarang laba-laba, terjun melalui terowongan pembuangan, dan mendarat pada tumpukan sampah. Seluruh tubuhnya menguarkan aroma yang membuat mual. Kakinya dipenuhi luka karena berjalan tanpa alas dan menginjak kerikil tajam.
Tidak hanya pakaian, ekspresi Haidee juga dipenuhi rasa lelah dan kesakitan. Rambutnya panjang, berantakan. Janggut dan kumisnya tumbuh halus, harusnya sudah waktunya ia bercukur.
Pandangan Haidee mulai kabur, napasnya semakin berat, paru-parunya semakin lambat memproses oksigen yang masuk ke dalam tubuh, suara kendaraan yang terdengar terasa jauh, sesekali hilang sama sekali.
Haidee tidak bisa mempercayai siapa pun sebelum tahu apa yang terjadi. Sebelum jelas apa yang menimpanya. Bahkan pada orang yang berpesan hal itu padanya dan telah membantunya keluar dari penjara.
Kaki Haidee semakin sulit diajak bekerja sama. Perintah yang otaknya berikan semakin lambat tersampaikan. Ia tidak boleh berhenti. Tidak bisa! Ia harus terus berjalan, harus menemukan tempat aman, harus menemukan orang yang ia kenal, orang yang bisa ia percaya.
Satu langkah, dua langkah. Ketika Haidee berada di puncak rasa lelahnya, ia pun ambruk.
***
Aroma lembap musim hujan, semilir angin yang diam-diam menyelinap dari celah jendela yang terbuka sebagian menyergap tubuh-tubuh yang bergerak dengan malas.
Dingin yang menyejukkan. Suasana dan kenyamanan yang akan sangat dirindukan. Nanti. Mungkin.
Pandanganku kabur tapi tidak menjadi penghalang bergerak. Di atas meja kecil tidak jauh dari kasur, samar, terlihat sepasang gelas keramik bersanding. Satu gelas bergambar kartun pria dan kartu wanita di gelas lainnya. Ada potongan motif hati di atas kepala masing-masing kartun yang akan menjadi utuh jika gelas disandingkan pada posisi yang benar.
Gelas dengan kartun pria berisi kopi, sementara gelas yang satu lagi berisi teh hijau. Aromanya bercampur, uap panasnya menari-nari bebas di udara.
Minggu ini memasuki awal musim dingin. Meski kami menggunakan rajut tebal, begitu semilir angin kembali menyelinap masuk, dinginnya tak lagi mampu tertepis. Udara di sekitar kami seperti akan membeku.
"Jangan bergerak!" perintahnya ketika aku akan beranjak untuk merapatkan jendela.
Aku menuruti perintahnya, mematung. Punggungku dijadikan tempat bersandar punggungnya. Kusadari perasaan yang begitu hangat menjalari tubuhku. Aku mengulum senyum kemudian mengubah dudukku senyaman mungkin.
Kami saling menyandarkan punggung. Aku memangku laptopku dan berkutat dengan kesibukanku, sementara dia pun sama, sibuk dengan segala imajinasi di benaknya. Kepalanya kini disandarkan pada kepalaku yang tertunduk karena fokus pada laporan yang kukerjakan.
Dingin yang sebelumnya menyerang kami, kini telah tertepis sepenuhnya. Udara di sekitar kami membeku dengan hangat. Aku mulai membayangkan wajahnya. Senyumnya yang manis terlihat jelas, menawan, membuat wajahnya yang cantik semakin berseri. Rambut panjangnya digelung ke atas.
Aku seperti bisa melihat setiap detail wajahnya, setiap ekspresinya. Keningnya yang berkerut ketika berpikir, senyumnya yang kembali tersungging antusias ketika sebuah ide melintas, hidung mungil yang mengembang karena bahagia, sampai bulu matanya yang lentik ketika terpejam.
Kepala yang sebelumnya disandarkan pada kepalaku diangkat menjauh. Dia sedikit menunduk. Tangannya yang memegang pena bergerak-gerak di atas kertas, kemudian berhenti. Dia menggigit ujung penanya. Senyum kembali menarik ujung-ujung bibirnya yang merah tanpa pemulas.
Wanitaku ini benar-benar sedang sibuk bermain dengan imajinasinya. Tapi memikirkannya, menebak isi kepalanya, bahkan di jarak sedekat ini melakukan semua itu terasa begitu menyenangkan. Memikirkannya selalu menjadi bagian yang membahagiakan. Bisa selalu berada di sampingnya adalah hadiah terindah yang telah Maha Penguasa Hati berikan padaku.
Kami menghabiskan sisa sore kami di kamar berukuran 4x5 meter. Aku mengamati sekelilingku. Mengamati lekat-lekat seolah begitu merindukan hari ini. Merindukan pemilik punggung yang kini punggungnya menempel pada punggungku. Merindukan wajah cantiknya, merindukan senyumnya yang menawan, hidungnya yang mungil, dan rahangnya yang oval. Merindukan kata-kata, sentuhan, canda tawanya, sikap, dan keberadaannya.
Ketika aku menyadari pikiran-pikiranku, gambaran yang kulihat kemudian berputar, terasa jauh, dan semakin jauh. Aku ingin menggapainya tapi tanganku tidak mampu menjamah. Ingin mengejar tapi tubuhku tidak mampu bergerak. Tubuhku terasa berat, tidak dapat kukendalikan.
Setelah gambaran wanitaku pergi, muncul gambaran lain. Awalnya samar-samar, tapi ketika penglihatanku mulai menangkap dengan jelas gambaran yang muncul, yang pertama kali kulihat adalah genangan darah. Wanitaku sedang berbaring di lantai. Tidak jauh dari tempatnya, buah hatiku juga tergeletak tanpa nyawa.
Spontan aku kehilangan dayaku, kehilangan kewarasanku. Aku memekik, menangis, memeluk tubuh mereka yang perlahan dingin. Aku kesakitan, aku sulit bernapas. Aku tidak berhenti berteriak, tidak bisa berhenti menangis. Aku marah, aku tidak berdaya.
***
"Tuan, Tuan, Anda baik-baik saja? Anda bisa mendengar suara saya?" Seorang wanita mengguncang-guncangkan tubuh Haidee. Tidak kunjung merespons, wanita itu kemudian menekan tombol darurat untuk memanggil perawat.
Haidee membuka matanya perlahan. Air masih merembes di sudut matanya tapi ia sudah jauh lebih bisa tenang.
Ketika Haidee membuka mata, pemandangan yang pertama kali di lihatnya adalah wajah seorang wanita. Wanita itu memiliki rahang oval dan hidung yang mungil. Tiba-tiba Haidee mendekap wanita itu dengan kedua tangannya, merapatkan di dadanya.
"Ayumi, aku senang kamu baik-baik saja. Aku tahu yang kulihat hanya mimpi. Aku tahu kalian baik-baik saja." Haidee berkata dengan segala kelegaan yang tumpah ruah.
"Tuan, maaf. Tuan..." Wanita itu berontak, berusaha melepaskan diri dari dekapan Haidee.
"Kenji, mana? Apa dia baik-baik saja?" Haidee akhirnya melepaskan dekapannya. Ia memerhatikan sekelilingnya, kemudian mendadak telinganya berdenging, gambaran lain berkelebat di kepalanya.
"Maaf, saya bukan Ayumi. Saya juga tidak mengenal Kenji."
Haidee menatap wanita di depannya lekat-lekat. Ayumi? Kenji? Kenapa tadi ia menyebut kedua nama itu? Kenapa tadi hatinya begitu berduka? Kenapa tadi ia merasa begitu mengenal wanita di depannya ini.
Seorang perawat dan dokter masuk untuk memeriksa. Melihat Haidee telah sadar, dokter yang bertugas segera memeriksa keadaan Haidee.
"Dokter, apa saya baik-bak saja?"
"Sejauh ini tidak terlihat ada sesuatu yang serius. Anda hanya kelelahan, tekanan darah rendah. Tampaknya kebutuhan nutrisi Anda tidak tercukupi dengan baik." Dokter memaparkan hasil diagnosanya.
"Hanya itu?"
"Anda memiliki keluhan lain?" Dokter balik bertanya. "Jika benar Anda memiliki keluhan lain, Anda bisa mengonsultasikannya lebih dulu. Setelah itu kita bisa melakukan pemeriksaan secara menyeluruh."
Haidee berpikir sesaat kemudian mengangguk. "Akan saya pikirkan lebih dulu."
"Baik. Anda bisa memanggil saya kapan saja untuk berkonsultasi. Yang terpenting sekarang Anda harus memulihkan tubuh Anda lebih dulu. Saya tidak tahu apa yang sebelumnya terjadi, tapi otot dan sendi-sendi Anda sedikit kaku, terlalu lemah." Dokter yang bertugas pernah belajar beberapa teknik pengobatan tradisional sehingga ia bisa tahu hanya dengan menyentuh tubuh Haidee.
Haidee tidak menanggapi, juga tidak berniat untuk menjelaskan. Tatapannya terus tertuju pada langit-langit ruangan. Tidak ada lagi pertanyaan dan sepertinya penjelasan yang diberikan telah cukup, dokter dan perawat meninggalkan tempat Haidee untuk memeriksa pasien lain.
Hening.
"Maaf..."
"Kamu yang membawa saya ke rumah sakit?" Haidee memotong ucapan lawan bicaranya. Tatapannya masih lurus tertuju pada langit-langit.
Wanita itu mengangguk. "Saya menemukan Anda tergeletak di jalan dalam keadaan kacau dan berantakan. Jadi saya segera memanggil ambulans."
Haidee mengambil jeda sesaat. "Yang tadi maaf," katanya mengungkit hal lain tanpa mengucapkan terima kasih lebih dulu. "Bisa tinggalkan saya sendiri?"
Wanita itu terkejut tapi tidak membantah, juga tidak bertanya. Ia mengambil tas dan ponselnya kemudian meninggalkan Haidee sendiri.
Kening Haidee perlahan berkerut dalam. Ia terus bertanya-tanya, tidak mengerti. Kenapa ia terus saja melihat sesuatu yang terasa begitu nyata. Kenapa ada banyak rasa sakit dan kemarahan dalam dadanya. Kenapa ada begitu banyak kejadian yang tidak pernah ia alami tapi terasa begitu familier di waktu lain.
Apa yang terjadi pada dirinya? Apa yang salah dengan kepalanya? Apa yang sebenarnya orang-orang itu lakukan padanya?
###