Adiwangsa terjebak oleh dua penjaga di depannya. Seorang penjaga memegang pistol dan siap menarik pelatuknya kapan saja, seorang lagi dengan tubuh dipenuhi otot dengan tatapan tajam memegang tongkat dengan erat.
"Satu... dua..."
Di hitungan ketiga seluruh lampu mati. Lift di belakang Adiwangsa yang sebelumnya masih beroperasi mendadak berhenti. Dalam sekejap segalanya berubah gulita.
Tidak ingin kecolongan, penjaga yang menodongkan pistol melepaskan tembakan. Ia tahu target di depannya telah masuk jarak tembak, hanya perlu menarik pelatuk untuk membuatnya lumpuh.
Mereka sama-sama memegang senjata, sama-sama berada di tempat gelap, tapi Adiwangsa masih unggul karena memiliki persiapan lebih.
Seperdua puluh detik setelah lampu mati dan segalanya menjadi gelap, kacamata yang telah Adiwangsa kenakan mengaktifkan fungsinya. Adiwangsa sama sekali tidak pernah mengalihkan tatapannya dari ancaman yang ada di depannya sehingga saat penjaga yang berada paling dekat dengannya menarik pelatuk pistolnya, Adiwangsa dapat melihat dengan jelas.
Suara mendesau lembut layaknya pistol menggunakan peredam suara terdengar ketika tembakan dilepaskan. Tidak ada percikan api, aroma bubuk mesiu, atau partikel logam yang ke luar, tapi Adiwangsa bisa merasakan embusan angin di sebelah kanan pipinya, yang artinya ia berhasil menghindar ke arah yang tepat.
Anak peluru yang digunakan adalah jarum bius. Adiwangsa tidak ingin tertidur sebelum tugasnya selesai. Bisa-bisa gajinya dipotong lagi kalau hal itu terjadi. Masih mending jika hanya potong gaji, bagaimana kalau sampai tidak digaji sama sekali, atau tertangkap dan dibunuh karena ia seorang mata-mata.
"Tidak, tidak! Aku datang untuk menang, bukan kalah atau diburu." Adiwangsa bermonolog dalam hati.
Sebelum tembakan kedua dilepaskan, Adiwangsa dengan cepat mengayunkan tongkatnya dan memukul tangan penjaga di depannya. Begitu pistol terjatuh, Adiwangsa melihat penjaga kedua telah meraih senter yang tergantung di sakunya.
Penjaga kedua terlihat lebih merepotkan, sehingga ia menjadikan si penjaga pertama sebagai sandera. Adiwangsa mencengkeram leher si penjaga pertama ketika masih sibuk mengumpati tangannya yang kesakitan.
Begitu si penjaga pertama tidak lagi berkutik, Adiwangsa mengayunkan tongkatnya pada si penjaga kedua yang telah menyalakan senter. Tidak mengambil jeda setelah senter terjatuh, Adiwangsa mengayunkan tongkatnya lagi dan memukul wajah bagian kanannya.
Si penjaga kedua benar-benar tidak sigap dengan serangan demi serangan yang diarahkan padanya. Begitu wajahnya dipukul, ia tidak sempat merasakan sakit. Ia hanya tahu telinganya berdenging kemudian tidak sadarkan diri.
Berhasil menjatuhkan lawannya, Adiwangsa beralih pada penjaga yang ia sandera. Dengan menggunakan fungsi alat kejut listrik di ujung pegangan tongkatnya, Adiwangsa membuat si penjaga pertama ikut ambruk.
Begitu selesai, Adiwangsa segera bergegas. Keadaan telah berubah kacau dan ia harus bergerak lebih cepat.
Tempat yang menjadi target Adiwangsa adalah ruangan tempat Objek 011 berada, tapi ia tidak akan sebodoh itu dengan menyerang dari depan dengan risiko dikeroyok puluhan orang. Adiwangsa memilik jalur rahasia yang super aman, yang ditunjukkan cetak biru yang ia simpan di rumah.
Sebelum berbelok ke arah lain, Adiwangsa melihat cahaya senter. Ia mengurungkan niatnya dan bersembunyi di balik dinding. Cahaya senter semakin dekat dan suara langkah semakin jelas. Adiwangsa menghitung dalam hati. Suara langkah kaki semakin terdengar dan cahaya senter semakin terang. Musuh semakin dekat, dekat, dan...
Bukannya menyerang, Adiwangsa justru berjongkok di sisi dinding.
Benar saja, cahaya senter hanya menerangi bagian atas kepalanya. Lagi pula mana terpikirkan kalau penyusup yang berusaha menerobos lab. seorang diri akan meringkuk di lantai.
Satu langkah, dua langkah, penjaga telah melewati Adiwangsa dengan aman. Adiwangsa yang masih berjongkok maju dengan langkah kecil, menjauh perlahan. Tapi, sebelum ia bisa bernapas lega cahaya senter dari arah lain menyorotnya.
"Siapa di sana?!" Penjaga yang berada di kejauhan berteriak.
Penjaga lain yang baru melewati Adiwangsa, terkejut dan berbalik. Sebelum sempat menarik senjata, Adiwangsa memukul kaki si penjaga dan sekali lagi di bagian punggung ketika si penjaga membungkuk kesakitan.
Tidak mengambil jeda setelah berhasil menjatuhkan satu lawan, Adiwangsa melemparkan tongkatnya ke arah penjaga yang berlari ke arahnya. Lemparan tepat sasaran. Tongkat Adiwangsa mengenai kening targetnya. Tidak membiarkan targetnya pulih, Adiwangsa melancarkan serang kedua. Ia melompat dan menendang hingga targetnya terpelanting.
Adiwangsa mengambil tongkatnya, berlari ke arah lain, dan menghilang.
***
Adiwangsa benar-benar menghilang karena ke mana pun para penjaga mencarinya, ia tetap tidak ditemukan.
Keadaan di lantai bawah benar-benar kacau. Begitu aliran listrik terputus, lift tidak bisa digunakan, CCTV tidak bisa diakses, Generator set tidak bisa difungsikan karena telah disabotase. Tahu tempat tujuan penyusup adalah ruangan tempat Objek 011 berada, keamanan di tempat itu dijaga semakin ketat.
Ketua lab. mengirim lebih banyak penjaga untuk turun dan membatu. Beberapa berjaga di sekitar ruang Objek 011, sisanya berpencar dan mencari di setiap tempat, setiap sudut, dan setiap ruangan.
Sebenarnya tidak ada gunanya berjaga di ruang khusus. Cadangan energi listrik yang tersisa telah Adiwangsa putus melalui komputer saat masih berada di rumah. Benar-benar tidak ada listrik sama sekali. Meski ada yang memegang sepasang keycard, pengidentifikasi digital tidak bisa menerima dan memproses kunci yang dimasukkan. Artinya pintu sama sekali tidak bisa dibuka. Artinya lagi, meskipun itu Adiwangsa, ia tetap tidak akan bisa membuka pintu.
Adiwangsa tengah merangkak di atas plafon. Ia naik melalui toilet pria. Sarang laba-laba telah memenuhi pakaiannya. Aroma debu dan hewan pengerat memenuhi lubang hidungnya. Adiwangsa terus merangkak. Ia tidak berhak mengeluh karena dirinya sendirilah yang memilih untuk lewat jalur rahasia.
Satu-satunya jalur rahasia yang bisa ditemukan di cetak biru adalah lubang angin bangunan. Meski sempit dan lebih jauh, sisi baiknya jalur yang ia lewati benar-benar aman. Sampai di bagian cetak biru ia lingkari, Adiwangsa berhenti sesaat untuk menghela napas dan menyeka peluh di keningnya. Setelahnya ia melepas kisi-kisi lubang angin dan melompat turun.
Satu-satunya orang yang berada dalam ruangan adalah Objek 011, Haidee Putra. Tampaknya matanya telah terbiasa dalam gelap karena begitu Adiwangsa mendekat, tatapannya yang meraba-raba mengikuti.
Kacamata yang masih menempel di wajah Adiwangsa, ia benarkan. Ia memperhatikan pria yang berbaring di depannya. Tangan dan kakinya diikat pada sisi-sisi ranjang, mulutnya juga disumpal.
"Wah!" Adiwangsa menggeleng "Benar-benar perlakuan yang sangat baik."
Semakin Adiwangsa mendekat, semakin Objek 011 bersifat defensif. Ia berteriak-teriak meski suaranya tidak terdengar jelas.
"Sst! Aku ke sini untuk menyelamatkanmu," kata Adiwangsa. "Apa kamu mau selamanya menjadi tikus penelitian?"
Haidee mulai tenang, ia menggeleng. Adiwangsa melepaskan kain yang menyumpal mulut Haidee, juga melepaskan ikatan di tangan dan kakinya.
"Siapa kamu?!" Haidee tetap tidak berhenti untuk waspada.
"Penyelamatmu."
Haidee mengerutkan keningnya, "Kamu yang meninggalkan catatan itu?"
Sebelumnya, setelah menyuntikkan cairan bening ke dalam infus Haidee, Adiwangsa meninggalkan catatan singkat di bawah bantalnya. 'Jangan percaya siapa pun.'
"Yup. Sekarang jangan banyak tanya, kita harus cepat pergi dari sini." Adiwangsa melangkah ke arah tempat ia datang. "Kamu bisa jalan... ah, salah. Maksudku merangkak?" tanya Adiwangsa.
"Tentu bisa. Harus bisa. Aku harus keluar dari sini!" Haidee menguatkan dirinya sendiri.
"Bagus! Aku suka semangatmu." Adiwangsa menepuk-nepuk bahu Objek. Ia mendorong sebuah meja untuk dijadikan pijakan. Adiwangsa menyuruh Haidee naik lebih dulu dan ia menyusul setelahnya.
Mereka baru merangkak selama beberapa menit. Awalnya Adiwangsa pikir Haidee masih berusaha menyesuaikan diri dengan jalur pelarian yang mereka lewati. Nyatanya, kecepatan merangkak Haidee jauh lebih lambat dari yang diharapkan. Adiwangsa sampai mengomel berkali-kali. Mereka harus bergerak cepat sebelum jalur rahasia mereka akhirnya disadari para penjaga, juga sebelum para penjaga sadar Haidee telah menghilang dari ruangannya.
"Tidak bisa, tidak bisa! Kalau begini terus kita berdua bisa tertangkap." Adiwangsa berhenti untuk berpikir sesaat. "Sepertinya kita harus berpisah. Aku akan turun di depan sana dan kamu akan terus merangkak. Di persimpangan nanti kamu ambil jalan ke kiri. Itu jalur untuk berbelok ke belakang. Kamu akan turun melalui lorong pembuangan sampah. Itu sudah jalur pelarian paling dekat."
"Apa? Sampah?!" Kening Haidee berkerut. Ia jelas tidak suka dengan ide buruk itu.
"Kenapa? Tidak mau? Mau kembali jadi tikus penelitian? Mau seumur hidup tinggal dalam ruangan itu?" Adiwangsa mulai mencecar. "Dengan kondisi tubuhmu saat ini kamu bisa merangkak berapa lama? Bisa menghadapi berapa penjaga? Bisa berlari seberapa cepat?"
Haidee hanya menghela napas. Adiwangsa benar, ia belum mendapatkan kendali atas tubuhnya secara utuh.
"Bagus! Jadilah anak baik dan penurut, oke?" Suara Adiwangsa melembut layaknya seorang pengasuh. "Sekarang lanjutkan merangkak!"
Haidee menurut dengan patuh.
Sampai di tempat di mana Adiwangsa harus turun, ia benar-benar meninggalkan Haidee sendiri dan sekali lagi mengingatkan jalur yang harus Haidee lewati.
***
Kejar-kejaran berlangsung seru. Saat akhirnya Adiwangsa terlihat di suatu tempat, dengan menggunakan Handie Talkie (HT) seorang penjaga melaporkan posisinya. Penjaga yang lain segera memburu ke tempat yang sama.
Dikejar dan dikeroyok, adu jotos dan adu gebuk, pun tidak dapat dihindari. Adiwangsa melewati tangga darurat. Ia terus bergerak naik. Di tempat sempit dengan ruang gerak terbatas, ia bisa lebih unggul meski lawannya berjumlah banyak. Paling tidak lawan-lawannya hanya bisa mengepung dari dua sisi.
Di tangga, dengan satu tendangan dan dua pukulan, Adiwangsa bisa menjatuhkan beberapa orang sekaligus. Jika pun mereka tidak ikut ambruk atau tertindih oleh rekan sendiri, langkah mereka akan terjeda sesaat karena terhalang. Yang perlu Adiwangsa waspadai hanya moncong-moncong pistol yang diarahkan padanya. Beberapa kali ia nyaris tertembak. Untungnya tubuh seorang penjaga melindunginya.
Adiwangsa masih terus naik. Begitu sampai di pintu terakhir, Adiwangsa menendang dua kali dan pintu terbuka. Ia menggunakan tongkatnya untuk menyegel pintu, tidak lupa mengeluarkan tali dan mengaitkannya. Tongkatnya memang tidak akan mampu menahan pintu selamanya, tapi cukup sampai persiapan penyelamatan dirinya selesai.
Adiwangsa membuka boks peralatan yang sama sekali tidak pernah ia lepas dari genggamannya. Pertama, Adiwangsa mengeluarkan harnes dan mengenakannya. Ia juga menyambar carabiner dan memasangnya. Mengambil descender dan mengaitkannya. Terakhir adalah tali dan ia mulai membuat simpul di tepi pagar gedung.
Dari tempat Adiwangsa berdiri, terdengar aba-aba dan suara orang mulai menghitung. Tampaknya para pengejar telah sampai di depan pintu dan hendak mendobrak.
Satu, dua...
Adiwangsa menarik tali yang ia kaitkan pada tongkatnya. Pintu yang tanpa penahan dapat terbuka dengan mudah. Beberapa orang yang beramai-ramai mendobrak, jatuh terjerembap bersamaan.
Adiwangsa tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kemalangan orang-orang yang jatuh terjerembap, tapi kemudian ia sadar tengah berdiri di bagian tepi bangunan jadi harus menjaga keseimbangan.
Mereka semua telah berkumpul di puncak teratas gedung lab. Riset dan Teknologi.
Seorang penjaga yang lebih muda berdiri lebih dulu dan mengembalikan wibawanya dengan cepat. Ia menarik senjata dan menodongkannya ke arah Adiwangsa dari tempatnya berdiri. Zen Ogawa, ia mulai membidik.
Adiwangsa melambai, menekan tuas dan terjun.
Pssst– Tembakan pertama gagal, hanya membelah udara kosong. Zen Ogawa mengejar sampai ke tepi gedung. Tidak ingin kehilangan kesempatan, ia membidik sekali lagi.
Adiwangsa masih menekan tuas pada descender, tapi nanti, begitu Zen melepaskan tembakan kecepatannya turun akan terlampaui. Tidak ada pilihan lain. Adiwangsa melepaskan kaitan pada tali dan menjatuhkan diri dengan bebas. Kegelapan dari rimbunnya dedaunan menelan tubuhnya.
###