webnovel

Berbagai Kemiripan... Siapa Sebenarnya Kami?

BAB 21

Lorong waktu terasa panjang nan tak berujung. Erwie Vincent dan Erdie Vio merasa seperti menaiki perosotan panjang nan tak berujung di suatu water boom. Masih terasa suara Dewi Ruby yang terngiang-ngiang di telinga mereka berdua.

Ingatlah, Wie, Die… Percayalah pada bintang kemujuran kalian. Bintang kemujuran tak pernah salah. Mereka akan menuntun kalian tepat ke hadapan orang tua kandung kalian. Saat ingin kembali, juga percayalah pada bintang kemujuran kalian. Mereka akan membawa kalian kembali pada saat yang tepat.

Danau Toba, 10 Oktober 1818

Erdie Vio melihat ada cahaya putih di ujung sana. Cahaya putih makin lama makin besar dan makin dekat. Akhirnya terbukalah lorong waktu. Erdie Vio mendapati dirinya terjatuh dalam sebuah kamar mandi persis di samping seorang wanita setengah baya yang tampak tengah berdandan di depan suatu cermin besar di dalam kamar mandi tersebut.

Wanita setengah baya tersebut menjerit sekuat tenaga melihat kemunculan Erdie Vio yang entah dari mana datangnya. Erdie Vio juga ikut-ikutan menjerit karena terperanjat setengah mati dengan jeritan sang wanita setengah baya yang mendadak nan tiba-tiba.

"Siapa kau? Ngapain kau di dalam kamar mandiku? Untung saja aku tidak sedang mandi," teriak si wanita setengah baya. Namun, begitu dia mendekati Erdie Vio, dia terperanjat kaget lagi. Kejutan kedua datang menghampiri ketika dia menyadari wajah Erdie Vio tidak begitu asing. Ada sesuatu sensasi kedekatan yang dirasakannya terhadap si anak muda misterius yang entah muncul dari mana di siang-siang bolong begini.

Erdie Vio juga terhenyak bukan main begitu ia melihat wajah si wanita setengah baya dari jarak dekat.

Oh, Buddha… Inikah yang namanya takdir? Inikah yang dinamakan dengan misteri kehidupan? Wajah ini… Wajah ini… Wajah ini begitu mirip dengan wajah Mama di masa depan sana. Ada apa ini? Oh, Buddha… Jika memang Engkau ada di alam semesta ini, bisakah Engkau menjelaskan padaku apa arti sesungguhnya di balik kemiripan-kemiripan ini?

Si wanita setengah baya menarik tangan Erdie Vio untuk memberdirikannya. Akhirnya kini Erdie Vio dan wanita setengah baya itu sama-sama berdiri menghadap ke cermin besar yang ada di depan mereka.

"Tidakkah… Tidakkah…" kata si wanita setengah baya itu dengan mata tanpa berkedip, "kau menyadari kemiripan di antara kita? Jangan-jangan kau adalah… kau adalah…" tampak air mata yang mulai menggelincir turun dari pelupuk mata sang wanita setengah baya.

Erdie Vio berusaha menahan air matanya. Mendadak dia yang biasanya pandai bicara, kehabisan kata-kata kali ini. Dia hanya menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan ibu kandungnya yang kini berdiri di hadapannya. Terasa bagaikan pulang kembali ke tempat yang pernah ia tinggalkan, terasa laksana jiwa matahari pukul empat sore di atas aliran sungai yang membeku, dan rasanya bak dongeng kanak-kanak yang terlupakan, Erdie Vio hanya bisa menumpahkan semua tangisan keharuannya ke dalam pelukan kehangatan sang ibu.

"Ma… Ma… Aku sudah kembali, Ma… Oh, Ma…" terdengar isakan tangis yang bercampur baur dengan kata-kata Erdie Vio.

"Bagus jika sudah kembali, Nak… Kau menghilang sejak di hari pertama Mama melahirkanmu, Nak… Siapa… Siapa namamu, Nak?"

"Aku Erdie, Ma… Erdie Vio…" nada kesedihan di sini. Air mata kesedihan masih mengalir dengan bebas.

"Bahkan Mama belum sempat memberikanmu nama. Orang lain sudah terlebih dahulu memberimu nama. Dari mana saja kau, Nak? Dari mana saja kau selama ini?" tanya sang ibu.

"Ceritanya panjang, Ma. Jika Mama punya waktu, aku akan menceritakannya kepada Mama sekarang," kata Erdie Vio menatap ibu kandungnya dengan segenap rasa haru.

Sang ibu juga mengangguk penuh keharuan. Dia meraih kembali anaknya ke dalam pelukannya, anaknya yang menghilang di hari ia melahirkannya dan hari ini entah dari mana muncul kembali di hadapannya. Oh, Buddha… Inikah yang dinamakan dengan takdir? Di saat aku kehilangan Erdie di hari aku melahirkannya, aku merasa takdir itu sangat dan sangat rapuh. Di saat dia muncul kembali di hadapanku sekarang, entah kenapa aku merasa takdir itu begitu kuat, begitu kokoh… Oh, Buddha… Semuanya menjadi begitu misterius, begitu membingungkan dan susah diuraikan…

***

Siantar, 25 Juni 1918

Lorong waktu juga terbuka. Erwie Vincent jatuh menimpa seorang laki-laki setengah baya yang tengah membaca koran di ruang tamunya siang itu. Sontak laki-laki setengah baya itu tersentak kaget bukan main. Dia memekik tertahan dan spontan meloncat ke belakang dari kursinya.

"Siapa itu? Dari mana kau masuk ke rumahku? Kenapa kau bisa masuk ke rumahku siang-siang bolong begini?" tanya si laki-laki setengah baya takut-takut. Dia merasa heran kenapa laki-laki muda ini bisa masuk sampai ke ruang tamunya padahal di pintu gerbang luar sana ada empat satpam yang sedang berjaga-jaga.

"Maaf, Pak… Maaf… Maaf… Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa sampai di ruang tamu Bapak," kata Erwie Vincent berdiri dengan kaku dan sedikit kikuk di hadapan si laki-laki setengah baya itu.

Melihat wajah Erwie Vincent, mendadak naluri kebapakan si laki-laki setengah baya timbul nan mencuat ke permukaan. Dia merasakan semacam sensasi kedekatan yang misterius nan susah dijelaskan. Dia merasa wajah Erwie Vincent begitu familiar, begitu tidak asing…

Erwie Vincent berusaha melihat wajah si laki-laki setengah baya dari dekat. Dia mundur beberapa langkah sejenak. Oh, Buddha… Wajah ini… Wajah ini… Wajah ini… Bukankah ini wajah Papa di masa depan sana? Ini adalah wajah papa Rick yang telah membesarkan kami selama ini. Ya… Ya… Tidak salah lagi. Meski pakaiannya berbeda, aku tetap bisa mengenali ini adalah wajah papa Rick. Oh, Buddha… Inikah yang dinamakan dengan misteri takdir? Kenapa wajah papa kandungku bisa mirip benar dengan wajah papa Rick? Lantas… Lantas… Apakah kami memang benar-benar bersaudara di dua zaman yang berbeda?

Si laki-laki setengah baya menarik lengan Erwie Vincent sampai ke sebuah cermin besar yang terpasang di kamar tidurnya. Erwie Vincent dan si laki-laki setengah baya kini sama-sama berdiri menghadap sebuah cermin besar di hadapan mereka.

"Tidakkah… Tidakkah… Tidakkah kau menyadari sesuatu, Anak Muda? Tidakkah…? Tidakkah…? Jangan-jangan kau adalah… kau adalah…" perlahan-lahan tangan naik dan membelai wajah si anak muda.

Air mata Erwie Vincent mengguyur turun dengan bebas. Air mata sang ayah juga bergulir turun dengan bebas laksana air terjun Niagara di musim hujan. Tiada kata-kata yang diperlukan lagi. Erwie Vincent tidak tahu dia mesti berkata apa lagi. Dia hanya bisa mengangguk-ngangguk membenarkan pemikiran dan asumsi sang ayah kandung.

Sang ayah meraih anaknya ke dalam pelukan. Tangisan sang anak meledak dan bertumpah ruah dalam pelukan sang ayah.

"Ke mana saja kau selama ini, Nak? Kau menghilang di hari mamamu melahirkanmu. Begitu kembali, kau sudah tumbuh dewasa seperti ini, Nak. Tapi wajah tetap mengatakan yang sebenarnya, Nak. Kemiripan wajah tidak bisa berbohong, Nak. Siapa namamu…? Aku bahkan belum memberimu nama ketika kau menghilang hari itu, Nak…" Oh, Buddha… Anakku kembali lagi… Anakku kini sudah tumbuh dewasa dan kembali lagi ke sisiku. Dia telah tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa yang begitu tampan dan begitu bersahaja. Oh, Buddha… Dia mirip sekali denganku ketika masih muda. Oh, jika saja mamanya masih hidup dan bisa melihat anaknya kini sudah tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa yang begitu tampan, begitu sempurna… Oh, Buddha…

"Aku Erwie, Pa… Erwie Vincent… Aku datang dari masa depan, Pa. Percaya tidak percaya, selama ini aku hidup di masa depan," kata Erwie Vincent mengeluarkan telepon genggamnya dari saku celananya. Tentu saja, sang ayah terheran-heran melihat benda yang ada dalam genggaman tangan anaknya.

"Ini adalah telepon genggam, Pa. Seratus tahun mulai dari sekarang, akan ada teknologi yang secanggih ini dalam kehidupan manusia, Pa. Jika Papa punya waktu, aku akan menceritakannya pada Papa sekarang," kata Erwie Vincent membiarkan air mata mengguyur dengan bebas dari ekor matanya.

Sang ayah menyeka ekor mata anaknya. Dia mengangguk mengiyakan. Sang ayah meraih si anak ke dalam pelukan. Tiada kata-kata yang diperlukan lagi. Terdengar tangisan yang mengharu biru, menggelincir ke berbagai arah – tiada batas, tiada tepi…

***

Erick Vildy pulang ke rumah. Tampak dia memarkirkan mobilnya di halaman rumah, dan keluar dari mobil dengan menenteng tas merahnya. Dengan langkah-langkah lebar, dia masuk ke dalam rumah. Dia berpapasan dengan Nyonya Florencia di dalam rumah. Tidak tampak Pak Faiz di rumah. Mungkin saja masih sibuk dengan gaji karyawan yang kerja setengah hari hari ini.

"Oh, Rick sudah pulang… Mana Wie Wie dan Die Die? Jangan lupa ya malam ini kita ada makan malam dengan orang tua Melisa, Julia Dewi dan Sabrina. Atraksi barongsai dan naga kalian ada di berapa tempat hari ini? Sampai jam berapa kalian?" tanya Nyonya Florencia polos.

"Wie Wie dan Die Die lagi tidak di tempat, Ma. Aku juga sudah batalkan semua atraksi naga yang diterima oleh Solidaritas Abadi, Ma. Biar saja mereka berikan ke Gagak Hitam. Hanya sisa atraksi barongsai. Aku sudah minta tolong ke 5T dan 3Y untuk mengurusnya," kata Erick Vildy menjatuhkan dirinya ke sofa. Dia tampak lesu dan tidak bersemangat hari ini.

Nyonya Florencia duduk di samping anaknya. "Kalian bertengkar lagi?"

"Tidak, Ma… Kami sudah berjanji untuk sehati, seiya dan sekata, dan juga untuk tidak terpisahkan di lain-lain tempat lagi. Mana mungkin kami bertengkar, Ma. Hanya saja, walaupun sudah berjanji, yang namanya takdir sudah memanggil, kami tetap akan berpisah untuk sementara, Ma."

"Maksudmu?" tanya Nyonya Florencia mengerutkan dahinya, petanda tidak mengerti.

"Ternyata Jovan Dellas yang bekerja di Solidaritas Abadi selama ini bukanlah… bukanlah… bukanlah manusia sama seperti kita, Ma. Dia datang dari alam dewa, suatu alam dengan dimensi yang lain dari dimensi kita. Dengan terkuaknya jati dirinya kali ini, terkuak juga semua fakta dan kebenaran yang selama ini terpendam – termasuk juga fakta tentang kekuatan aneh nan misterius yang selama ini ada dalam tubuh kami bertiga, dan juga termasuk fakta tentang jati diri Wie Wie dan Die Die yang sesungguhnya…" kata Erick Vildy menatap sang mama dengan wajah datar tanpa emosi, tapi sudah tampak matanya yang berkaca-kaca.

Nyonya Florencia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Fakta yang ditutup-tutupi akan terbuka sebentar lagi. Cepat atau lambat, 3E akan mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Tampak Nyonya Florencia berada pada pilihan yang dilematis apakah dia harus menceritakan ramalan dan prediksi Suhu Ce Hui kepada Erick Vildy atau tidak.

"Ternyata Wie Wie dan Die Die berasal dari masa lalu, Ma. Mereka kini ada di masa mereka untuk melihat keadaan orang tua kandung mereka sejenak," tukas Erick Vildy dengan matanya yang semakin berkaca-kaca.

"Tapi mereka tetap akan kembali ke zaman ini bukan?" tanya Nyonya Florencia memegangi tangan anaknya dengan lembut. Oh, Buddha… Erwie dan Erdie akan tahu fakta yang sesungguhnya begitu mereka bertemu dengan kedua orang tua kandung mereka. Dengan kemiripan antara wajah orang tua kandung mereka dengan wajahku dan wajah Faiz, mereka akan langsung menyadari suatu hal. Hanya tinggal Erick yang belum tahu… Hanya tinggal Erick yang masih buta akan fakta yang sebenarnya. Oh, Buddha… Haruskah aku tunggu sampai Erwie dan Erdie yang memberitahu Erick saja? Ataukah aku sendiri yang harus menunjukkan kenyataan siapa sebenarnya 3E di sini? Ini benar-benar bagai makan buah simalakama…

"Iya… Mama tidak usah khawatir. Mereka janji akan kembali ke zaman ini sebelum waktu makan malam nanti. Jadi, makan malam nanti masih tetap aman dan terkendali. Hanya saja… Hanya saja…" kalimat Erick Vildy tidak selesai. Kali ini, dia sungguh-sungguh tidak kuasa membendung air matanya lagi.

Erick Vildy memeluk mamanya dan menumpahkan segala kesedihan dan kehampaannya di sana, "Hanya saja, aku merasa seperti kembali ke masa-masa lima tahun belakangan ini. Baru saja bertemu dengan Wie Wie dan Die Die, kini mereka harus kembali ke zaman sendiri-sendiri dan aku kembali sendirian. Aku tidak tahu kenapa mendadak aku bisa merasa demikian, Ma. Namun yang jelas, dengan perginya mereka berdua ke zaman mereka masing-masing, aku merasa seakan-akan diriku menjadi hampa. Sekonyong-konyong aku merasa ada dua bagian dari diriku yang hilang, Ma. Apakah aku normal, Ma?"

"Tentu saja itu normal, Rick. Itu normal. Kalian adalah tiga saudara yang sangat dekat, kompak, dan seiya sekata selama ini. Dengan perginya Wie Wie dan Die Die ke zaman mereka sendiri-sendiri, tentu saja kau akan merasa kehilangan," kata Nyonya Florencia hanya sampai di sana, sangat bingung di tengah-tengah pilihan yang dilematis ini.

Akhirnya Nyonya Florencia diam-diam saja. Jika ia harus membeberkan kenyataan yang sesungguhnya, ia juga tidak tahu harus mulai dari mana. Ia kembali terdiam dalam kesenyapan tak berujung.

Akhirnya aku tidak mengatakan apa-apa, oh Buddha… Akhirnya aku memutuskan akan membiarkan Erwie dan Erdie yang memberitahu Erick saja. Mereka bertiga sungguh merupakan satu jiwa yang terbelah menjadi tiga. Dengan cerita dari Erwie dan Erdie, aku yakin Erick akan mengerti dan memahami kenyataan ini dengan lebih baik…

Erick Vildy masih membiarkan air matanya menetes-netes tiada henti. Kesedihan masih mengeriap hidup di rangkup pikiran Erick Vildy.

***

Kesedihan masih mengeriap hidup di kuncup pikiran Erwie Vincent.

Kesedihan masih mengeriap hidup di pesisir pikiran Erdie Vio.

Memori kesadaran itu terbagi menjadi dua. Meski berada di dua zaman dan dua tempat yang berbeda, Erwie Vincent dan Erdie Vio merasa seakan-akan mereka dekat sekali satu sama lain, dan juga dekat sekali dengan Erick Vildy.

"Kenapa… Kenapa… Kenapa kau terlihat sedih sekali, Erwie?" tanya Pak Hendra Toshiro Kosim kepada anaknya.

Erwie Vincent menggeleng lembut sembari menyeka ekor matanya, "Tidak apa-apa, Pa. Hanya saja, mendadak ada semacam kesedihan yang mendera pikiranku. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa merasa demikian. Tapi yang jelas, aku ingin sekali menangis saat ini, Pa," ujar Erwie Vincent dengan air matanya yang terus menetes-netes butir demi butir.

"Ada apa, Die? Kenapa kau terus menangis seperti itu? Ada apa sih? Ada suatu hal yang membuatmu sedih?" tanya Nyonya Fiorenza Rosemarry Kosidin kepada anaknya.

"Tidak, Ma…" masih tampak senyuman penuh keceriaan dan semangat dari Erdie Vio, tetapi tampak juga air matanya yang terus mengguyur bebas tiada henti, "Hanya saja, aku tidak tahu kenapa aku bisa sesedih ini. Ada sesuatu yang aneh dan janggal, yang aku tidak tahu apa itu, yang membuatku rasa-rasanya ingin menangis seperti ini, Ma. Entahlah… Biarkan saja… Mama sudah selesai dengan foto-foto yang ada dalam teleponku, Ma?"

Nyonya Fiorenza Rosemarry Kosidin menunjuk satu lembar foto Erdie Vio dengan Pak Faiz dan Nyonya Florencia, "Mereka adalah kedua orang tua angkatmu di masa depan sana, Die? Kok mengherankan sekali ya? Si suaminya mirip sekali dengan Suwandi Mario Kosidin, papamu itu. Istrinya mirip sekali dengan Mama, Die. Kau merasa demikian tidak? Hanya saja, pakaian Mama sekarang tentu saja sudah kuno apabila dibandingkan dengan pakaian kedua orang tua angkatmu di masa depan sana, Die."

Masih tampak Nyonya Fiorenza Rosemarry yang mengerutkan dahinya.

"Iya… Sejak awal aku sudah menyadarinya, Ma. Aku merasa kalian mirip sekali. Entah apa artinya itu. Mungkin sudah takdir, Ma. Memang di dunia ini ada banyak sekali fenomena yang tetap sulit terjawab, bahkan sampai 100 atau 200 tahun mendatang, Ma… Sayang Mama tidak punya foto Papa ya, Ma…" kata Erdie Vio dengan pandangan menerawang.

"Kau lupa di zaman ini, apa itu namanya…? Kamera…? Ya, kamera… Di zaman ini, kamera adalah salah satu barang langka yang juga sangat mahal, Die. Papamu meninggal di usia muda karena penyakit TBC, Die. Mamalah yang meneruskan usaha hotel milik papamu sampai sekarang."

"Mama tidak berencana menikah lagi?" tanya Erdie Vio lagi.

"Bagi Mama, hanya papamu seorang yang mampu mengisi hari-hari Mama dengan lebih berwarna. Papamu masih hidup dalam hati Mama sampai sekarang. Menurutmu dengan kondisi demikian, apakah Mama sanggup berpindah ke lain hati dan menikah dengan laki-laki lain?" tanya Nyonya Fiorenza Rosemarry dengan sebersit senyuman simpul.

Erdie Vio mengangguk dengan senyuman khasnya yang penuh dengan semangat dan antusiasme.

Sama halnya dengan Erwie Vincent yang menanyakan hal serupa kepada papanya, "Papa tidak berencana menikah lagi?" katanya sambil melihat ke foto-foto sang mama ketika masih hidup. Di zaman ini, sudah ada kamera, tapi tentu saja foto-foto cetakannya masih hitam putih semua, dan sama sekali belum ada yang berwarna.

"Hanya mamamu yang bisa mengisi hari Papa dengan lebih berwarna, Wie. Mamamulah yang menemani Papa dari nol. Ini dia fotonya. Namanya Elvi… Elvi Suriana Kosim, Wie… Dengan mamamu yang ada di samping Papa, Papa merasa Papa sudah menemukan tujuan dan makna hidup Papa. Mamamu meninggal karena penyakit desentri di usia 35 tahun, Wie. Meski demikian, sampai sekarang mamamu tetap hidup dalam hati Papa, Wie. Dengan kondisi begini, tak mungkin Papa bisa berpindah ke lain hati dan menikah dengan wanita lain. Kau sendiri bagaimana? Apakah sudah berkeluarga?" tanya Pak Hendra Toshiro kepada sang anak.

"Tahun ini aku akan menikah, Pa. Jika semuanya sudah kelar, aku akan usahakan bawa istriku ke sini mengunjungi Papa," kata Erwie Vincent kini dengan senyuman santainya.

Pak Hendra Toshiro masih menyibukkan diri melihat foto-foto yang ada dalam telepon genggam anaknya, "Sudah canggih sekali teknologi manusia ini 100 tahun mendatang ya… Ini kedua orang tua angkatmu di masa depan sana, Wie?"

"Iya… Namanya Faiz Makmur dan Florencia Quincy Makmur. Tidakkah… Tidakkah… Tidakkah Papa menyadari sesuatu begitu melihat foto mereka berdua?" tanya Erwie Vincent menatap sang ayah kandung lurus-lurus, tapi masih dengan sebersit senyuman santainya.

"Menyadari kemiripan mereka berdua dengan Papa dan Mama? Iya, Wie… Memang mirip sekali… Hanya saja, tentu gaya berpakaian mereka sudah jauh lebih modern dengan gaya berpakaian Papa yang masih hidup di zaman perang begini, Wie. Apakah di masa depan masih ada perang?" tanya Pak Hendra Toshiro lagi kepada sang anak.

"Tentu saja ada, Pa. Namanya manusia… Keserakahan dan ketamakan masih saja ada dari zaman ke zaman. Tapi, tenang saja, Pa. Untuk pengusaha gula seperti Papa begini, perang-perang demikian takkan membawa begitu banyak imbas. Siapa pun tetap akan butuh gula baik dalam kondisi perang ataupun tidak perang," ujar Erwie Vincent santai.

"Sayang sekali… Sayang sekali kau sudah menjadi manusia masa depan, Die," kembali Nyonya Fiorenza Rosemarry menghela napas panjang.

"Sayang sekali… Sayang sekali kau sudah menjadi manusia masa depan, Wie," tampak senyuman skeptis Pak Hendra Toshiro di sini.

"Kenapa memangnya, Ma?" tanya Erdie Vio sedikit bingung.

"Kenapa memangnya, Pa?" tanya Erwie Vincent sedikit tidak mengerti.

"Jika tidak, Mama bisa meminta kau tinggal di sini dan membantu Mama mengelola hotel ini. Tapi, bagimu zaman ini pastilah sangat membosankan," tukas Nyonya Fiorenza Rosemarry meneguk jus apelnya sore itu.

Erdie Vio meledak dalam tawa renyahnya, "Mama bisa saja. Tentu saja aku akan sering-sering ke sini dan juga membawa anak istriku kelak untuk mengunjungi Mama. Mama tenang saja…"

"Iya, Die… Mengetahui kau hidup dengan baik-baik di masa depan sana, meski Mama kurang bisa mempercayainya, Mama pun sudah senang sekali, Die," kata Nyonya Fiorenza Rosemarry meraih kembali anaknya ke dalam pelukannya.

"Iya, Ma… Aku juga senang Mama baik-baik saja," kata Erdie Vio membalas pelukan sang ibu kandung.

"Jika tidak, kan Papa bisa memintamu tinggal di sini dan membantu Papa mengelola pabrik gula Papa. Tapi, tentunya zaman ini akan sangat membosankan bagimu ya…" kata Pak Hendra Toshiro kepada anaknya.

Erwie Vincent tampak tersenyum santai sejenak, "Kan aku bisa sering-sering ke sini, Pa… Kelak aku juga akan usahakan membawa anak istriku ke sini mengunjungi Papa."

"Iya, Wie…" kata Pak Hendra Toshiro meraih sang anak ke dalam pelukannya. "Mengetahui kau hidup dengan baik-baik di masa depan sana, meski Papa kurang bisa mempercayainya, Papa pun sudah senang sekali, Wie. Kelak jika ada waktu, sering-seringlah ke sini. Papa akan membawamu keliling-keliling pabrik gula."

"Iya, Pa… Mengetahui Papa baik-baik saja di sini, aku juga sangat senang," kata Erwie Vincent membalas pelukan sang ayah kandung.

"Oh ya, Die… Ini kedua saudara angkatmu di masa depan sana?" tanya Nyonya Fiorenza Rosemarry kepada anaknya lagi ketika dilihatnya ada banyak sekali foto 3E dalam folder terakhir di telepon genggam si anak.

"Iya, Ma… Bintang kemujuran yang masuk ke tubuhku itu adalah bintang hijau, jadinya semua pakaianku yang Mama lihat di foto itu kebanyakan warna hijau. Dan sama juga untuk pakaian yang aku kenakan sekarang…" kata Erdie Vio dengan penuh semangat dan antusiasme kali ini.

"Terus terang saja deh, Pa…" sambung Erwie Vincent, "Baju kuning yang aku kenakan sekarang ini sesungguhnya adalah baju tidur."

"Sudah keren itu di zaman ini, Wie…" kata Pak Hendra Toshiro sedikit menyeringai. "Baju tidur di sini ya pakai sarung dan baju dalam saja. Papa sih tiap malam tidur begitu ya… Jadi, yang warna merah dan warna hijau ini siapa, Wie?"

"Kami diurut-urutkan sesuai dengan urutan warna kami, Pa. Warna merah yang duluan kan? Jadi yang warna merah itu adalah yang tertua di antara kami bertiga, Pa… Yang sulung… Erick namanya… Erick Vildy… Yang kuning kedua adalah aku, Erwie Vincent. Yang warna hijau, yang paling bungsu, yang paling kecil itu Erdie namanya, Pa… Erdie Vio..."

Erdie Vio juga menceritakan hal serupa pada Nyonya Fiorenza Rosemarry, "Makanya, ketika ketiga huruf depan nama kami digabungkan dan disingkat, muncullah 3E. Begitulah orang-orang memanggil nama kami bertiga sekaligus, Ma."

"Dari foto-foto yang ada, tampak postur tubuh dan perawakan tubuh kalian bertiga hampir-hampir mirip ya. Tampak dari belakang ini, jika saja bukan dari beda warna pakaian kalian, kalian pasti akan sangat susah dibedakan," komentar Nyonya Fiorenza Rosemarry dengan kerutan di dahinya seakan-akan ia sedang mereka-reka sesuatu. Ia menunjuk ke satu foto di mana 3E berfoto di atas puncak Gunung Ah Li Shan di Taiwan, dengan posisi tubuh mereka yang membelakangi kamera.

"Dan nama-nama kalian juga hampir-hampir mirip. Orang luar yang melihat foto ini dan mendengar nama-nama kalian, pasti akan langsung mengira kalian sungguh-sungguh adalah saudara kembar tiga," kata Pak Hendra Toshiro.

Erdie Vio dan Erwie Vincent hanya tersenyum mendengar komentar orang tua kandung mereka.

Mendadak satu rasa sakit yang tidak terperikan menyerang dada Erwie Vincent dan Erdie Vio. Seperti disayat-sayat sembilu, rasa sakit itu makin lama makin hebat. Untuk menahan rasa sakit tersebut, keduanya harus memegangi dada mereka.

"Ada apa, Wie?" teriak Pak Hendra Toshiro melihat anaknya mendadak jatuh tersungkur di lantai memegangi dadanya.

"Hah…? Ada apa, Die? Ada apa? Apa yang sakit…?" terdengar jeritan Nyonya Fiorenza Rosemarry melihat anaknya mendadak melorot lemas ke lantai seraya memegangi dadanya.

Spontan Pak Hendra Toshiro dan Nyonya Fiorenza Rosemarry memanggil para pelayan untuk membantu kedua anak mereka.

***

Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh. Yenty Marlina dan kedua sepupunya tiba duluan di Marriott. Acara Gala Dinner di malam tahun baru Imlek ini masih akan dimulai jam tujuh lewat nanti, tapi 3Y sudah muncul di auditorium setengah jam sebelumnya untuk mempersiapkan dua barongsai, tambur, gong, dan simbalnya.

"Ayo, Yenty… Arahkan para karyawan Marriott itu untuk meletakkan peralatan dan perlengkapan kita di belakang panggung…" kata Yenny Mariana yang tampil cukup elegan malam itu.

"Masih ada nih celana barongsai dan kostum untuk kita para pemain musik pengiringnya," kata Yuni Mariany yang juga menenteng sebuah kardus berisikan kostum-kostum mereka.

"Aku agak tidak enak badan, Yen, Yun. Kalian saja yang ke belakang panggung ya. Really really sorry, Yen, Yun. Aku sebenarnya tidak begitu enak badan hari ini. Mungkin masih dalam masa PMS. Masih terasa perih perutku… Aku tidak bisa berjalan jauh, Yen, Yun…" kata Yenty Marlina berpura-pura lemah dengan wajahnya yang sedikit pucat.

"Ya sudah… Sudah sejak tadi aku menduga kau pasti kurang enak badan malam ini, Yenty. Kau istirahatlah dulu di sini," kata Yuni Mariany.

"Kami ke belakang panggung dulu untuk menaruh semua barang ini ya…" sahut Yenny Mariana.

Dua Y yang lain berlalu ke arah belakang panggung. Yenty Marlina mulai mencari-cari mana meja yang bakalan diduduki oleh 3E dan keluarga mereka. Masing-masing meja sudah dipesan dan sudah bertuliskan nama orang atau pihak yang memesannya. Yenty Marlina tidak perlu susah-susah mencari mana meja yang bakalan diduduki 3E malam itu. Begitu melihat ada satu meja yang terdapat tiga set peralatan makan minum dengan tiga warna yang berbeda dari yang lain, ia langsung tahu di situlah 3E bakalan duduk. Sungguh berlebihan. Bahkan peralatan makan minum saja dipersiapkan sendiri dan tidak mau bercampur dengan yang dipakai orang lain. Mmm… Aku sungguh beruntung di malam tahun baru ini…

Pil hitam dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam cangkir kuning. Alangkah terkejutnya Yenty Marlina karena begitu dimasukkan ke dalam cangkir kuning, pil tersebut langsung mencair dan langsung menyatu dengan dinding cangkir yang masih kering.

Lebih terkejutnya lagi si Yenty Marlina karena mendadak Melisa Rayadi dan Erick Vildy sudah berdiri di belakangnya lima menit setelah ia memasukkan pil hitam tersebut ke dalam cangkir kuning milik Erwie Vincent.

"Apa yang kaulakukan di sini? Bukankah kau seharusnya ada di belakang panggung barengan dua saudara sepupumu itu mengatur segala peralatan dan perlengkapan Solidaritas Abadi?" tanya Melisa Rayadi menatap Yenty Marlina dengan tatapan dingin.

"Maaf, Mel… Maaf… Maaf… Aku baru saja masuk ke sini tadi. Aku akan segera menyusul mereka ke belakang panggung sekarang," kata Yenty Marlina gelagapan. Dia tampak segera berlari-lari kecil ke belakang panggung.

"Sudahlah, Mel. Toh dia hanya jalan-jalan keliling auditorium dan acara masih lama mulainya," kata Erick Vildy sambil tertawa renyah.

"Melihatnya dan dua saudara sepupunya itu, entah kenapa aku merasa sedikit jengkel. Apalagi kalau sudah melihat si Yenny Mariana itu yang selalu berusaha mendekatimu, Rick…! Iiss…! Merinding aku! Macam sudah tidak ada cowok lain saja di sanggar kita! Kenapa sih dia mau dekat-dekat denganmu! Dia seharusnya tahu bukan bahwa kau itu sudah ada yang punya?" tampak Melisa Rayadi bersungut-sungut malam itu.

"Itu berarti pacarmu ini banyak yang mau… Kau seharusnya bangga dong, Mel," ujar Erick Vildy menyeringai.

"Iya… Bangga sih bangga. Tapi bukan berarti aku tidak bisa cemburu ya. Selagi aku masih ada, jangan harap ia bisa seenaknya begitu mendekatimu dan mencari-cari perhatianmu ya…" masih tampak Melisa Rayadi yang bersungut-sungut.

Erick Vildy tergelak sejenak. Seorang pelayan datang dan menawari mereka minum, "Mau teh atau sirup, Pak, Nona?"

"Dua-duanya sirup saja," jawab Melisa Rayadi.

Si pelayan mulai menuangkan sirup ke dalam gelas Melisa Rayadi. Saat hendak menuangkan sirup yang sama ke cangkir Erick Vildy, ia tertegun sejenak karena bentuk dan warna cangkir yang berbeda dengan gelas-gelas yang lain. Sialnya lagi malam itu, si pelayan menuangkan sirupnya ke dalam cangkir yang salah. Si pelayan malah menuangkan sirupnya ke cangkir yang berwarna kuning, bukan ke cangkir yang berwarna merah.

Si pelayan berlalu begitu saja. Saat Erick Vildy mengangkat cangkir merahnya, ia sadar si pelayan tadi sudah menuangkan sirupnya ke cangkir yang salah.

"Salah cangkir deh…" kata Erick Vildy sambil tersenyum skeptis ke arah Melisa Rayadi.

"Buta warna mungkin dia, Rick. Mana dia orangnya tadi?" kata Melisa Rayadi mencari-cari si pelayan tadi, tapi yang bersangkutan sudah menghilang entah ke mana. "Sudah tidak tampak lagi. Ya sudah… Terpaksa untuk sementara deh kau minum dari cangkir Wie Wie, Rick," kata Melisa Rayadi sembari tersenyum geli.

"Yah meski baju dan celanaku hitam cokelat, kan dasiku berwarna merah deh…" ujar Erick Vildy.

"Makanya kubilang si pelayan tadi buta warna mungkin," kata Melisa Rayadi tersenyum geli lagi, tapi kemudian ia mengalihkan pembicaraan mereka ke topik lain, "Jadi Wie Wie dan Die Die belum balik dari zaman mereka?"

"Mereka pasti akan balik. Aku sudah tidak sabar dalam menanti kepulangan mereka, Mel. Menurutmu… Menurutmu, apakah kerinduanku ini wajar?" tanya Erick Vildy menatap lurus-lurus ke calon istrinya.

"Memang jarang sekali ada laki-laki sepertimu, yang langsung rindu dengan kedua saudaranya meski mereka hanya pergi selama beberapa jam. Tapi, menilik pada perasaanmu padaku yang juga begitu, aku anggap itu sesuatu yang wajar-wajar saja deh, Rick… Bisa jadi karakter dan kepribadianmu sudah begitu kan?"

"Aku juga tadi bertanya hal yang sama pada Papa. Papa juga bilang itu wajar-wajar saja. Dan Papa juga ada bilang sepulangnya Wie Wie dan Die Die dari zaman mereka masing-masing, ada suatu kenyataan, suatu fakta yang akan segera terkuak di depanku. Aku jadi penasaran fakta apa itu," kata Erick Vildy dengan pandangan menerawangnya.

"Berkaitan dengan Dewa Perak dan Dewi Ruby yang kauceritakan itu?" tanya Melisa Rayadi, penuh dengan tanda tanya.

"Sepertinya begitu, Mel. Buktinya ketika aku bercerita soal kedua dewa-dewi ini kepada Papa dan Mama, Papa dan Mama biasa-biasa saja. Mereka tidak tampak terkejut dan tidak percaya sepertimu, seperti Julia Dewi dan seperti Sabrina, Mel. Aku jadi bertanya-tanya entah sejak kapan Papa dan Mama tahu tentang Dewa Perak dan Dewi Ruby ini, Mel."

"Aku, Julia Dewi, dan Sabrina saja masih sulit untuk mempercayainya. Namun, dengan melihat kekuatan aneh nan misterius yang ada dalam tubuh kalian bertiga sejak lama, mau tidak mau percaya dan terima kenyataan ini juga," kata Melisa Rayadi dengan sebersit senyuman skeptis.

Terdengar cangkir kuning yang jatuh membentur meja. Sirup membasahi meja dan tangan Melisa Rayadi terkena sirup juga. Spontan Melisa berpaling ke arah kirinya. Dia terhenyak kaget bukan main melihat Erick Vildy sudah jatuh tersungkur di lantai memegangi dada kirinya.

"Hah! Aaaiiihh…! Rick! Rick! Rick! Ada apa? Minuman itu… Astaga, Rick! Rick…! Rick…!" jeritan Melisa Rayadi melengking tinggi seketika melihat kondisi pangeran pujaannya yang didera rasa sakit yang sungguh tidak terperikan.

Tampak Erick Vildy yang kini tidak bisa membuka matanya lagi. Dada kirinya serasa dihujam berpuluh-puluh kali dengan pisau yang teramat tajam. Tampak tubuhnya yang kini meronta-ronta di lantai dan napasnya yang semakin lama semakin cepat.

"Oh tidak, Rick…! Rick…! Tolong…! Tolong…!" jeritan Melisa Rayadi kembali melengking tinggi.

Memori kesadaran tersebut terbagi menjadi tiga. Erwie Vincent dan Erdie Vio juga merasakan kesakitan yang sama meski mereka berada di dua zaman yang berbeda.

"Jangan, Pa…! Jangan panggil para pembantu dan satpam! Sepertinya… Sepertinya telah terjadi sesuatu dengan salah satu dari dua saudaraku yang lain. Aku harus kembali, Pa… Aku harus kembali sekarang juga," kata Erwie Vincent di sela-sela napasnya yang sudah tersengal-sengal.

"Jangan, Ma…! Jangan panggil para pelayan! Aku yakin telah terjadi sesuatu yang buruk pada Rick atau Wie Wie. Aku harus kembali sekarang, Ma. Aku harus kembali, Ma. Aku cemas dengan keadaan dua saudaraku yang lain," kata Erdie Vio berusaha berdiri di tengah-tengah napasnya yang sudah ngos-ngosan.

"Hati-hati, Wie…" masih terdengar teriakan sang ayah kandung sesaat sebelum Erwie Vincent berubah menjadi sinar kuning dan tersedot kembali ke dalam lorong waktu.

"Jika semuanya sudah membaik, segera kembali dan kabari Mama, Die," masih terdengar teriakan sang ibu kandung sesaat sebelum Erdie Vio berubah menjadi sinar hijau dan tersedot kembali ke dalam lorong waktu.

Kepanikan mulai menggelimuni padang sanubari Erwie Vincent dan Erdie Vio.

Chapitre suivant