BAB 5
Pintu dibuka. Tampak sosok Julia Dewi Sofia Luvin di luar, tersenyum lebar nan penuh semangat kepada Erwie Vincent.
Akhirnya Erwie Vincent teringat akan janjinya dengan keluarga Luvin mau liburan ke Long Beach hari itu. Dia menepuk jidatnya sebentar.
"Pasti lupa kalau hari ini kita akan ke Long Beach, iya kan?" kata Julia Dewi cengengesan melihat penampilan sang pangeran pujaan yang belum siap sama sekali. "Untung aku duluan datang. Papa & Mama menyusul kata mereka."
Erwie Vincent tersenyum simpul, "Sambil menunggu mereka, bagaimana kalau kau masuk dan juga tunggu aku siap-siap dulu?"
"Yah, apa boleh buat…" kata Julia Dewi pura-pura menghela napas panjang.
Julia Dewi melangkah masuk ke apartemen Erwie Vincent. Dengan pakaian gaya kasualnya, dia tampak sudah siap untuk berlibur ke pantai. Ia langsung membuka lemari dapur Erwie Vincent, mengambil sebuah gelas, dan kemudian tampak ia sudah sibuk menyeduh susu hangat. Dia sudah beberapa kali datang ke apartemen sang pangeran pujaan sehingga ia sudah hafal betul tata letak barang-barang yang ada dalam apartemen tersebut.
Erwie Vincent membawa handuknya dan masuk ke kamar mandi.
"Jangan lama-lama ya, Wie… Papa & Mama akan tiba dalam waktu 15 menit loh…" kata Julia Dewi mulai menyesap susu hangatnya.
"Iya… Takkan lama. Aku mandi tidak pakai sabun kok," kata Erwie Vincent sedikit berseloroh.
Julia Dewi meledak dalam tawa. Detik-detik berikutnya pandangan matanya sudah tertuju pada beberapa foto yang dipajang di ruang tamu apartemen tersebut. Ada beberapa foto yang menampilkan pengalaman-pengalaman Erwie Vincent dan kedua saudaranya dalam dunia atraksi naga dan barongsai ketika masih tinggal di Indonesia. Ada beberapa foto yang menampilkan Erwie Vincent ketika ia tamat S1 di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Dalam beberapa foto ini, Erwie Vincent tak lagi bersama-sama dengan kedua saudaranya itu – dia sudah tampil solo, tidak lagi trio.
Julia Dewi benar-benar menghela napas panjang kali ini. Dia sudah mendengar sendiri cerita masa kecil dan masa remaja sang pangeran pujaan sebelum dia bekerja di Amerika. Sekelumit perasaan prihatin kembali menggeligit padang sanubari Julia Dewi Sofia Luvin.
Pintu kamar mandi terkuak. Sepasang mata Julia Dewi melebar karena sang pangeran pujaan keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuknya dari pinggang ke bawah. Keduanya saling bertatapan dengan kaku. Erwie Vincent yang duluan mencairkan suasana.
"Jangan melihatku seperti itu terus, Jul… Bagaimanapun juga, aku tetaplah laki-laki normal loh…" kata Erwie Vincent kembali berseloroh.
Sontak Julia Dewi berpaling ke arah lain dan kini ia berdiri membelakangi Erwie Vincent.
"Tolong… Tolong, Wie… Tolong segera berpakaian. Meski aku lahir dan besar di Amerika, papa mamaku tetap mendidikku dengan budaya-budaya yang positif!"
"Iya… Iya…" terdengar tawa renyah Erwie Vincent ketika ia berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Julia Dewi berpaling lagi. Kali ini tampak ia berusaha mengatur dan menenangkan napasnya yang sempat tersengal-sengal tadi.
***
Long Beach tampak cukup ramai hari ini. Mungkin musim panas belum benar-benar tiba, jadi cuacanya masih belum begitu menusuk. Cuaca seperti ini memang paling cocok digunakan untuk berlibur ke pantai. Tampak Erwie Vincent Makmur yang duduk menyilangkan kakinya di pantai, hanya mengenakan celana renangnya yang berwarna hitam kebiruan. Tampak Pak Samuel Luvin yang hanya mengenakan celana pendeknya yang warna biru keunguan. Tampak Nyonya Isabella dan putrinya yang mengenakan one-piece swimsuit warna merah cabai dan pink.
Tampak Erwie Vincent memandang ke lautan Pasifik dengan pandangan menerawang.
"Ada apa, Erwie?" tanya Pak Samuel.
"Tidak apa-apa… Hanya terpikirkan rumahku yang ada di seberang Pasifik ini, Oom…" kata Erwie Vincent sembari tersenyum agak sumbang.
Samuel Luvin tersenyum hangat. Dia dan istrinya juga sudah mendengar cerita masa lalu pemuda ini dari anak perempuan mereka, dan bagaimana mereka bisa bertemu dan saling mengenal. Meski dia tergolong ke laki-laki rasional yang kurang bisa mempercayai hal-hal yang bersifat takhayul, dia tetap menerima cerita tersebut karena itu diceritakan langsung oleh anak perempuannya sendiri.
"Bersemangatlah… Hari ini kita liburan… Akan ada beragam makanan lezat dan pemandangan indah yang bisa kita nikmati di sini, Wie Wie…" sahut Nyonya Isabella.
Erwie Vincent kembali tersenyum santai, "Iya, Tante…"
Timbul sedikit perasaan tidak enak dalam padang sanubari Julia Dewi. Dia memberanikan dirinya bertanya kepada sang pangeran pujaannya.
"Apakah… Apakah… Apakah sampai sekarang kau masih belum bisa melupakan gadis yang sudah tiada itu, Wie…?" tanya Julia Dewi takut-takut. Pak Samuel dan istrinya bisa menangkap adanya sorot kerisauan dalam sinar mata anak perempuan mereka.
"Mulanya aku memang tidak bisa terima, Jul… Aku tidak terima kenapa kami 3E bisa menjalin suatu hubungan palsu dengan gadis yang sama. Aku tidak terima karena selain mencintaiku, ia juga mencintai dua laki-laki lain. Dua laki-laki itu bukan orang lain, melainkan kedua saudaraku dan teman baikku semasa kecil sampai sekarang. Aku tidak terima. Aku menyalahkan kedua saudaraku kenapa mereka mesti berebutan denganku, termasuk juga dalam hal pacaran dan cinta. Tapi, sudah lima tahun berlalu… Hal itu sudah kubuang jauh-jauh di belakang. Lagipula dia juga sudah tiada, sudah tidak ada lagi di dunia ini. Untuk apa diingat-ingat terus, iya kan? The show must go on, begitu kan?"
"Jadi… Jadi… Jadi, kenapa sekarang kau masih bersedih?" tanya Julia Dewi lagi.
"Aku bersedih… bukan karena gadis penipu itu, Jul…" kata Erwie Vincent menyeringai sekarang. Dia merasa lucu sendiri karena ia bisa menangkap adanya nada kecemburuan dalam pertanyaan Julia Dewi barusan.
"Wie Wie bersedih karena kini sudah terpisah dengan kedua saudaranya loh, Jul," ujar Pak Samuel dari belakang mereka.
Julia Dewi kontan merasa terperengah sekarang. Ternyata kecemburuannya tadi sama sekali tidak beralasan.
"Betul, Oom…" terdengar tawa renyah Erwie Vincent sekarang. "Mungkin bagi kalian yang merupakan anak tunggal, hal ini tidak begitu mempengaruhi. Tapi, bagi kami yang selama ini sudah terbiasa mengerjakan segala sesuatu bertiga, dan bahkan memiliki hobi yang sama, dan bersama-sama memperjuangkan hobi itu menjadi suatu impian, hal ini akan terasa sekali ketika kami sudah bersolo karier. Menurut Oom dan Tante bagaimana?"
Terdengar tawa nyaring Pak Samuel, "Oom dari kecil adalah anak tunggal, Wie… Tante Isabella juga…"
"Tapi kami sedikit banyak memahami apa yang kaurasakan, Wie… Dulu di perkuliahan, Tante juga memiliki tiga teman baik. Ke mana-mana dan dalam mengerjakan kebanyakan hal, kami selalu tampil berkuartet. Kami sama-sama memiliki hobi memasak, Wie… Kini setelah masing-masing menikah, sudah jarang lagi ngumpul-ngumpul… Kadang rindu juga dengan mereka… Ingin reunian, tapi masing-masing punya kesibukan masing-masing dan tidak pernah ketemu waktu yang cocok. Begitulah… Kadang serasa ada kepingan memori yang hilang begitu kan?" kata Nyonya Isabella mengakhiri narasi singkatnya.
Erwie Vincent mengangguk mengiyakan seraya tersenyum santai.
"Jadi, sampai sekarang kau masih belum jelas dari mana datangnya kekuatanmu yang misterius itu?" tanya Nyonya Isabella lagi.
"Aku bahkan tidak tahu dari mana aku datang, Tante… Dari mana aku datang…? Siapa sebenarnya kedua orang tua kandungku? Semua itu masih menjadi misteri yang tidak terpecahkan. Tapi, aku sudah puas dengan kehidupanku yang sekarang. Aku sudah sangat bahagia dengan keluargaku yang sekarang, dengan papa mamaku, dan dengan kedua saudaraku… Yang menjadi misteri, tetaplah menjadi misteri. Jika sudah tiba jodohnya, aku yakin ia akan terbongkar dengan sendirinya."
Julia Dewi memotong steak sapi miliknya. Dia menusuknya dengan garpu dan mengarahkan potongan daging sapi tersebut ke mulut sang pangeran pujaan.
"Sudah… Sudah… Hal yang mendatangkan gundah gulana jangan dipikirkan dulu. Hari ini kita liburan, Wie Wie… Dimakan steak- nya supaya kau bisa bergembira dan bersemangat lagi, Wie Wie…" kata Julia Dewi berlagak polos bak anak kecil.
Erwie Vincent memakan daging sapi itu dalam sekali lahap. Pak Samuel Luvin memberi isyarat kepada istrinya untuk memberikan sedikit waktu dan keleluasaan bagi pasangan anak muda yang sedang dimabuk asmara itu. Nyonya Isabella diam-diam berdiri dan mengikuti ke arah perginya sang suami.
Dari kejauhan tampak Julia Dewi yang merebahkan kepalanya ke bahu sang pangeran pujaan.
"Sesungguhnya aku kurang percaya dengan segala cerita anak muda ini, Bell…" kata Pak Samuel Luvin menghela napasnya yang agak terasa berat.
"Kalian orang Amerika memang kurang percaya dengan hal-hal yang bersifat takhayul ya, Sam," sahut Nyonya Isabella bergelayut manja di samping suaminya.
"Nah, itulah yang mau aku bilang…" akhirnya Pak Samuel menemukan satu kosakata yang pas untuk mendeskripsikan keadaan ini, "kau tahu aku jarang bisa menerima hal-hal yang tidak logis, yang berhubungan dengan hal-hal mistis dan supranatural. Dia sendiri tidak tahu dari mana ia berasal dan siapakah sebenarnya orang tua kandungnya. Jelas itu tidak bisa diterima akal sehat, Bell…"
"Aku yakin semuanya bakalan ada penjelasannya, Sam," sahut Nyonya Isabella. "Yang penting adalah sudah lebih dari satu tahun putri kita berpacaran dengan Erwie Vincent ini. Putri kita bahagia. Dia bahagia dengan hubungannya yang sekarang – ya sudahlah… Jika mereka memang serius, itu lebih baik lagi. Kau dan aku akan segera menimang cucu. Itu yang kuharapkan di sini…"
Mata Nyonya Isabella tampak mengerling-ngerling penuh arti.
"Yah, seperti katamu… Yang penting dia tidak bermaksud jahat dan hendak mengambil keuntungan apa-apa dari putri kita, itu saja sudah cukup buatku…" kata Pak Samuel Luvin ringan.
Nyonya Isabella mengibaskan tangannya ke arah suaminya, "Jika memang si Erwie Vincent ini hendak mengambil keuntungan apa-apa dari Julia Dewi kita, sudah sejak dulu dia menipu dan melakukannya. Untuk apa dia tunggu sampai lebih dari satu tahun dulu baru turun tangan melakukan aksinya? Anak-anak muda zaman sekarang kan pada tidak sabaran punya. Iya nggak?"
Nyonya Isabella sedikit berseloroh. Gemas dengan candaan istrinya, Pak Samuel Luvin mendaratkan satu ciuman mesra ke bibir sang istri. Keduanya terus bergandengan tangan sembari menelusuri pantai berpasir.
***
Los Angeles, 6 Mei 2018
Naga meliuk-liuk dengan cepat di pelataran parkir toko teh milik Nyonya Wang, yang memang sangat luas. Ke mana mutiara bergerak, naga akan tetap mengikutinya dengan cepat. Dari pergerakan yang cepat, naga akan bergerak melambat, cepat, sedang, masuk ke pergerakan lambat, dan akhirnya ke pergerakan cepat lagi.
Akhirnya, musik pengiring akan melambat dan memasuki tahap akhir. Badan naga juga bersiap-siap memasuki pos akhir.
Para tamu undangan yang hadir satu per satu memasukkan lembaran-lembaran dollar Amerika ke dalam kantong kertas kecil yang berwarna merah – hong pao. Satu per satu kantong kertas kecil dimasukkan ke dalam kotak kecil yang diletakkan di atas meja di dekat pintu masuk. Memang sudah menjadi tradisi orang-orang China yang menonton atraksi naga untuk memberikan hong pao sebagai simbol keberuntungan maupun rezeki.
Pos akhir selesai. Musik pengiring berhenti dan para hadirin yang berkerumun menyaksikan atraksi naga tersebut pun bertepuk tangan riuh.
Para pemain naga, pemain mutiara, dan pemain musik pengiring, mulai membereskan peralatan dan perlengkapan masing-masing. Tampak Nyonya Wang yang agak gemuk memberikan sebuah amplop yang lebih besar dari ukuran hong pao kepada Erwie Vincent. Erwie Vincent tampak membungkukkan badannya beberapa kali. Julia Dewi bisa menebak sang pangeran pastilah mengucapkan terima kasih beberapa kali karena melihat jumlah bayaran kali ini yang pastinya jauh lebih besar. Tidak heran, pikir Julia Dewi dalam hati. Memang si Nyonya Wang ini termasuk salah satu bos yang cukup kaya dan bermurah hati di kawasan pemukiman China Town ini.
Erwie Vincent tersenyum lebar sambil mengipas-ngipaskan amplop merah tersebut tatkala ia berjalan ke arah anggota-anggota timnya yang sedang beres-beres. Si pelatih naga yang merupakan orang perantauan dari Taiwan itu juga merasa penasaran berapa sebenarnya bayaran yang mereka terima kali ini.
"Berapa?" tanya Li Ming Neng, si pelatih naga yang merupakan orang perantauan dari Taiwan.
"Enam ratus dollar, Neng…! Ditambah dengan yang diberikan oleh para hadirin yang menonton tadi, ada tujuh delapan ratus dollar begitu," kata Erwie Vincent mengibas-ngibaskan amplop merahnya sekali lagi di udara, disambut dengan tepuk tangan penuh semangat dan sorak-sorai dari seluruh anggota tim. Juga tampak Julia Dewi yang tersenyum lebar sebab kerja keras dan latihan mereka selama beberapa waktu terakhir membuahkan hasil yang cukup memuaskan.
"Oke…" kata Li Ming Neng kembali membereskan peralatan dan perlengkapan yang ada. "Nanti sesampainya di markas, baru kita bagi saja ya…"
Erwie Vincent terdiam seketika. Dia dan Julia Dewi saling bertukar pandang sebentar. Kemudian, Erwie Vincent menarik lengan baju orang Taiwan itu dan membawanya agak jauh dari kerumunan anggota tim mereka.
"Bagi rata memang wajib. Tapi… apa kau yakin dengan cara yang itu-itu terus, kau bisa membangkitkan semangat timmu?" tanya Erwie Vincent agak mengerutkan dahinya.
"Uangnya bagi rata, ya sudah! Apa lagi memangnya?" kata Li Ming Neng yang sekarang juga ikut-ikutan mengerutkan dahinya. "Tim ini memang kita dirikan dengan modal bersama, dan setiap anggota yang masuk tim harus membayar iuran bulanan. Oke, berarti tim ini milik bersama. Sekarang ada keuntungan seperti ini, kita juga bagi rata semuanya. Kurang apa lagi coba?"
Sambil tersenyum skeptis, Li Ming Neng hendak berlalu meninggalkan Erwie Vincent.
"Kurang kebersamaan deh kalau begitu…" kalimat ini langsung menghentikan langkah-langkah Li Ming Neng, "Pantas selama ini anggota-anggotamu keluar masuk saja seperti ingus. Yang sudah bisa dan sudah merasa senior, akan keluar mencari sanggar lain dengan sepak terjang yang lebih dahsyat atau bahkan buka sanggar sendiri. Masuk lagi yang baru dan kau mulai lagi dari nol mengajari mereka. Itu pun aku lihat kau jarang terlibat dalam mengajari mereka. Kalau bukan aku yang ngajari mereka, kau sering suruh anggota-anggota yang senior mengajari anggota-anggota baru. Ketika sudah tiba hari geladi resik, baru tampak batang hidungmu. Kau tahu apa saja tugas dan perananmu saat geladi resik itu? Tugasmu hanya marah-marah, mengkritik ini itu, dan sama sekali tidak ada yang benar di matamu. Itu saja perananmu, Ming Neng… Tidak ada lagi…"
"Kau tahu aku sangat sibuk dengan kerjaanku, Wie," kata Ming Neng, "Kadang aku juga bisa ditugaskan ke shift malam."
"Jadi kadang aku juga tidak masuk shift malam?" tanya Erwie Vincent dengan senyuman skeptisnya. "Tidak ada seorang pun yang benar-benar sibuk, Ming Neng. Semuanya hanyalah masalah prioritas. Sorry ya… Sorry… Aku tidak sedang membicarakan masalah hobi di sini. Aku sedang membicarakan masalah impian, Ming Neng. Kau tahu kan apa beda hobi dan impian?"
Kini tampak Ming Neng mengerutkan dahinya.
"Impian apa yang bisa kauraih dari hobi yang hanya atraksi naga dan barongsai seperti ini?" ujar Ming Neng sembari tertawa santai. "Lagipula, aku kurang percaya dengan apa yang namanya impian. Impian…? Apa itu…? Apakah… Apakah… impian itu bisa mengenyangkan perutmu? Tentu saja tidak bukan? Mimpinya sih enak dan nikmat – kerjanya itu yang setengah mati! Kan begitu…"
Erwie Vincent tertawa renyah, "Susah memang berbicara dengan orang yang tidak memiliki impian, sama sekali tidak ada tempat tujuannya, tidak ada targetnya. Pagi hari bangun, pergi kerja. Malam, pulang kerja, tidur. Besoknya lagi, bangun lagi, pergi kerja lagi. Malam, pulang kerja lagi, tidur lagi. Hidup seperti mesin komputer. Iya tidaknya melakukan sesuatu hanya berdasar pada segala perintah yang dimasukkan melalui tombol enter dan escape."
Merah padam bukan main wajah Li Ming Neng mendengarkan penuturan Erwie Vincent yang pedas nan berterus terang.
"Yah seperti keadaan sanggar kita selama beberapa waktu terakhir ini. Anggota yang sudah senior, sudah bosan dengan keadaan yang itu-itu terus, akan keluar. Masuk lagi anggota baru, kita ajari lagi dari nol. Nanti ketika mereka sudah bisa, keluar lagi. Masuk lagi yang baru, kita mulai lagi dari nol. Sama sekali tidak ketemu dengan anggota-anggota yang bisa kompak, sejiwa, sehati, seiya dan sekata."
"Ya tentu saja begitu keadaannya," kata Li Ming Neng. "Jika bukan itu, keadaan macam apa yang kauinginkan memangnya, Wie?"
"Kau tidak bosan asyik berlari-lari di tempat begitu selama lima tahun belakangan ini?" tanya Erwie Vincent dengan nada skeptis. "Apa kau tidak pernah mengikuti perkembangan-perkembangan terbaru mengenai atraksi naga dan barongsai di Amerika sini, Neng? Sudah banyak sanggar lainnya di sini yang mulai fokuskan tim mereka mengikuti pertandingan-pertandingan daerah, nasional dan bahkan internasional. Sementara kita di sini sedang apa? Masih sedang mengajari beberapa anggota baru, yang masih bau kencur dalam dunia atraksi naga dan barongsai, yang masih belum bisa apa-apa. Menurutmu, dengan keadaan seperti ini kapan kita baru bisa bertanding? Oh, sorry… Selama ini kau menganggap atraksi barongsai dan naga itu hanya sebagai hobi, bukan sebagai impian. Sorry… Aku yang salah kaprah."
Li Ming Neng kali ini terdiam. Pernyataan Erwie Vincent bagaikan sebuah tamparan pedas yang membangunkannya dari tidurnya yang panjang selama ini.
"Jadi… Jadi… apa yang akan kaulakukan sekarang ini?" tanya Li Ming Neng mulai tidak mengerti. Ia mulai tidak bisa menebak ke mana arah pembicaraan dan pikiran Erwie Vincent.
"Untuk soal naga, mungkin aku masih harus berguru denganmu, Ming Neng," kata Erwie Vincent dengan senyuman santainya, "Tapi kalau sudah menyangkut soal berteman dan sosialisasi, kau harus belajar banyak dariku."
Erwie Vincent mendekati kerumunan anggota timnya yang sudah hampir selesai beres-beres.
"Malam ini makan-makan sambil karaoke ya, Teman-teman," kata Erwie Vincent santai, tapi penuh dengan semangat, "Bang Ming Neng dan aku yang akan traktir kalian."
Ming Neng terkejut dengan ide Erwie Vincent untuk merayakan kesuksesan penampilan mereka malam itu. Dia menunjuk ke dirinya sendiri sambil bertanya-tanya… Kok si Erwie Vincent ini berani sekali bawa-bawa namanya untuk traktir seluruh anggota tim? Erwie Vincent mengedipkan sebelah mata dengannya. Sambil menghela napas panjang, dia mengikuti saja permainan Erwie Vincent karena tidak ingin kalah malu di hadapan anggota timnya.
"Tumben, Bang Erwie… Tumben sekali… Benar-benar melihat hujan turun di Gurun Sahara ini," kata salah seorang anggota tim dengan berseri-seri.
"Sekarang hujan sudah sedikit-sedikit membasahi Gurun Sahara kok," kata Erwie Vincent asal-asalan. "Ayo bereskan semua barang-barangnya dan naikkan ke mobil ya. Habis turunkan barang di sanggar, kita pergi makan-makan dan karaoke."
"Naga sudah dicabut dan dimasukkan ke dalam kardus besarnya?" tanya Li Ming Neng lagi. Begitu bola matanya bertemu dan beradu dengan bola mata Erwie Vincent yang nakal, ia hanya bisa terdiam dan merapatkan bibirnya.
"Sudah, Bang," jawab hampir seluruh anggota tim dengan penuh semangat.
Barang-barang dinaikkan ke mobil pick-up. Ada empat anggota yang juga naik ke atas mobil pick-up untuk menjaga barang-barang yang sudah dinaikkan. Sisanya masuk ke mobil masing-masing, termasuk Erwie Vincent dan Julia Dewi. Julia Dewi tidak berhenti tertawa cengengesan bahkan ketika ia dan sang pangeran pujaan sudah masuk ke dalam mobil.
"Tak kusangka, kau akan menerapkan sistem sosialisasimu di sini juga, Wie," kata Julia Dewi masih saja tidak bisa berhenti cengengesan. "Kau lihat tadi bagaimana mimik wajah si Li Ming Neng yang memang sudah terkenal pelit itu?"
"Tentu saja aku tahu. Tapi aku juga tahu dia itu laki-laki dengan gengsinya yang selangit. Jika aku sudah mengumumkannya langsung di hadapan para anggota timnya, dia takkan berani bilang tidak lagi. Dia kan tidak mau kalah malu di hadapan para anggotanya," kata Erwie Vincent seraya mengerling-ngerlingkan sepasang matanya dengan nakal.
Kembali Julia Dewi meledak dalam tawa menyaksikan aksi konyol pangeran pujaannya. Di sepanjang perjalanan, sesekali Julia Dewi akan mengambil beberapa helai tisu dan menghapus peluh yang sudah membutir di leher, wajah, dan dahi sang pangeran pujaan.
Erwie Vincent sedikit terkejut. Dia menatap sang putri pujaan sejenak.
"Sudah beberapa kali aku bantu mengeringkan keringatmu, kenapa baru sekarang kau menyadarinya ya?" tanya Julia Dewi Sofia pura-pura uring-uringan.
"Ya sudah pasti aku menyadarinya sejak pertama kali kau menghapus keringatku dengan tisu, Jul," kata Erwie Vincent lagi-lagi dengan senyuman santainya, "Hanya saja, malam ini aku baru menyadari sudah lama aku tidak saling pijit-memijit dan menghapus keringat satu sama lain dengan Erick dan Erdie…"
Julia Dewi menghela napas panjang lagi. Ia merapatkan sepasang bibirnya.
"Kalau Papa dan Mama mengizinkan, ingin sekarang kuterbangkan kau ke Indonesia dan kubuat kalian saling memijit dan menghapus keringat satu sama lain sampai puas – sampai kalian berbaikan dan tidak saling marahan lagi," kata Julia Dewi dengan sekelumit perasaan gemas.
Erwie Vincent tertawa renyah, "Oh, Jul… Kau sudah 80% mirip dengan mamaku. Tatkala kami bertengkar atau berkelahi, Mama selalu menyuruh kami bertiga untuk saling berpelukan sebagai tanda berbaikan kembali dan tanda perdamaian."
"Memang seharusnya begitu kan?" kata Julia Dewi terus terang. "Manusia kadang membutuhkan pelukan untuk menetralisir kemarahan, kebencian, dan segala emosi negatif lainnya. Pernah kubaca dalam sebuah riset. Pelukan itu bukan hanya untuk orang yang berpacaran atau suami istri. Kadang pelukan juga dibutuhkan antara orang tua dan anak, atau sesama saudara, atau bahkan sesama sahabat."
Mendengarkan penuturan sang putri pujaan, tak kuasa pikiran Erwie Vincent melayang kembali ke masa-masa silam.
"Kok jadinya lama sekali ya penerbangan kali ini?" Erick Vildy mulai menggerutu karena pesawat terbang mereka ditunda lagi untuk dua jam ke depan. Mereka waktu itu dalam perjalanan balik dari Jakarta ke Medan setelah selesai mengikuti turnamen naga nasional se-Indonesia.
Tampak Erick Vildy yang memijit-mijit punggung Erwie Vincent sambil terus mengomel-ngomel karena penundaan jadwal penerbangan mereka balik ke Medan. Tidak ada yang begitu mempedulikan karena waktu itu sudah jam enam sore, dan masing-masing anggota tim sudah sibuk memikirkan cara untuk mengenyangkan perut masing-masing.
"Jangan khawatir, Rick… Itu Die Die sudah datang dengan mie sop yang akan mengenyangkan perut kita," kata Erwie Vincent lagi-lagi dengan senyuman santainya.
Tampak dari kejauhan, Erdie Vio berlari-lari kecil membawa nampan di tangannya. Baik Erick Vildy maupun Erwie Vincent sudah tidak sabar ingin menikmati mie sop yang dibeli oleh adik bungsu mereka. Akan tetapi, sial dan sungguh sial bagi mereka! Ternyata mie sop yang berhasil dibeli oleh si adik bungsu hanya satu mangkuk.
"Lho?" Erick Vildy bingung sekaligus kecewa berat.
"Ibu penjualnya sudah mau tutup. Ini kan sudah jam enam sore katanya. Hanya ada sisa satu mangkuk. Terpaksa aku beli lagi nih beberapa dada montok KFC dan beberapa potong roti Bread Talk," kata Erdie Vio juga dengan raut muka kecewa. "Kita kongsi saja semuanya ini ya…"
Erick Vildy dan Erwie Vincent merapatkan bibir mereka.
"Ya sudah…" kata Erick Vildy. "Apa boleh buat toh…"
"Ya kongsi lebih baik daripada tidak makan sama sekali. Jam sebelas malam baru bisa sampai rumah nih – pingsan pun bisa!" ujar Erwie Vincent.
Maka dari itu, kembali Erick Vildy memijit-mijit punggung dan bahu adik keduanya. Erdie Vio mulai menyuapi dirinya sendiri dan kemudian kedua abangnya. Sesekali Erwie Vincent mengambil beberapa helai tisu dari dalam tas Melisa Rayadi yang diletakkan dekat dengan tempat ia duduk. Ia mengeringkan keringat adik bungsunya dan abang sulungnya. Dan dalam beberapa menit, mie sop pun habis karena satu mangkuk dikongsi bertiga.
Berikutnya dilanjutkan dengan beberapa potong dada montok KFC. Tampak ketiganya juga saling menyuapi. Sekarang giliran Erwie Vincent yang memijit-mijit punggung abang sulungnya. Erick Vildy memasukkan potongan-potongan daging ayam ke dalam mulut adik keduanya satu per satu. Erdie Vio juga menyuapi abang sulungnya daging ayam dada montok dari KFC. Dan kini gantian Erick Vildy yang memijit-mijit punggung adiknya yang paling bungsu.
Habis beberapa potong dada montok dari KFC, dilanjutkan dengan beberapa potong roti dari Bread Talk. Kali ini Erick Vildy yang menyuapi kedua adiknya. Erwie Vincent kembali mengambil beberapa helai tisu dari dalam tas Melisa Rayadi, mengelap mulutnya sendiri, mulut abang sulungnya, dan mulut adiknya yang paling bungsu.
Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina kembali ke ruang tunggu. Mereka baru saja dari kafetaria bandara Soekarno Hatta. Mendadak keduanya berdiri terpaku di tempat dengan mulut mereka yang menganga karena kini tampak 3E sudah tertidur pulas di kursi ruang tunggu.
Tampak adik kedua yang tertidur pulas dalam pangkuan kaki si abang sulung. Tampak pula si abang sulung yang tertidur pulas dalam pangkuan kaki si adik bungsu. Dan, tampak si adik bungsu berbaring dengan nyamannya di kursi panjang ruang tunggu bandara.
Melisa dan Sabrina tertawa cekikikan melihat cara tidur 3E yang agak aneh.
"Lihat cara mereka tidur, Mel," kata Sabrina menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.
"Agak aneh sih…" kata Melisa berusaha untuk tidak tertawa dengan suara keras, "Tapi begitulah 3E… Mereka memang tampak kompak dengan cara tidur yang saling menindih satu sama lain."
"Enak ya punya saudara yang kompak, sehati, seiya dan sekata. Sayang sekali, diriku yang anak tunggal ini tak berkesempatan untuk merasakan hal itu," kata Sabrina mendaratkan pantatnya di deretan kursi panjang yang ada di hadapan 3E.
Melisa Rayadi duduk di samping Sabrina.
"Sama kalau begitu, Rin. Aku juga anak tunggal. Karena kita senasib, bagaimana kalau kita juga tidur dengan posisi kepala saling menempel, Rin?" kata Melisa Rayadi dengan gayanya yang pura-pura meratapi nasib.
"Oke, Mel…" kata Sabrina juga dengan gayanya yang berpura-pura meratapi nasib.
Pikiran kembali lagi ke alam nyata. Tak terasa, sebentar lagi mereka akan sampai di tempat makan dan karaoke.
"Kau pasti terpikir lagi dengan kedua saudaramu itu, Wie," tebakan Julia Dewi Sofia benar adanya.
"Bukan kepikiran… Itu namanya kerinduan…" kata Erwie Vincent sembari tersenyum santai lagi.
Mobil menepi dan masuk ke dalam suatu pelataran parkir yang cukup luas. Semua anggota tim keluar dari mobil masing-masing. Kembali Julia Dewi berhadapan dengan seraut muka Li Ming Neng yang tampak kelam malam itu. Kembali Julia Dewi tidak bisa menahan tawanya. Dia membuang muka ke arah lain dan menumpahkan semua tawanya di sana.
Malam itu dihabiskan oleh semua anggota tim sampai dengan jam 11 malam.