Berbicara tentang membangun rumah, pasangan itu terlalu sibuk bekerja hingga mereka lupa. Dewi juga menganjurkan meminjam uang untuk membangun rumah terlebih dahulu. Anak-anak juga tahu jika ini adalah jalan keluar terbaik.
"Ayah, tenang saja. Ibu akan mendapatkan pinjaman uang. Kita akan memabangun rumah kita. Setelah kita selesai menggarap kebun, kita akan segera membangunnya" Eka mulai mendapatkan ide.
Restu sangat setuju dengan kata-kata putranya. Dia setuju untuk membagi tugas. Masalah uang diserahkan kepada Dewi, sedangkan urusan belanja material dan membangun rumah adalah kewajiban para lelaki.
"Ya, kita lakukan ide Eka. Wi, kamu pergilah cari pinjaman. Aku akan pergi ke rumah mandor untuk meminta bantuan lainnya."
Setelah diskusi, Dewi dan Restu pergi untuk melakukan tugasnya masing-masing. Sementara Eka, Rena, dan Rao pergi mencari jerami dan ranting kering untuk memasak. Jika mereka tidak mencari lebih banyak hari ini, mungkin mereka akan kelaparan karena tidak bisa memasak esok hari. Semua orang meninggalkan Mona sendirian di rumah. Mona memang sengaja ditinggal karena ia diberi tugas menjaga rumah.
Matahari masih bersinar cerah di pagi hari, tetapi tiba-tiba langit menjadi gelap di siang hari. Anak-anak masih mencari rumput. Dan saat guntur menggelegar, mereka belum juga kembali.
Mona segera mengambil empat karung dari salam lemari. Keluarga Restu memang tidak memiliki payung. Jadi, Mona berharap bisa menggunakan karung tersebut untuk melindungi dirinya dari hujan. Benar saja, saat Mona keluar, di luar sudah mulai hujan.
Mona berlari di tengah hujan sambil memegang karung. Karung itu mulai basah oleh hujan dan ada banyak air menggenang di bagian atasnya. Sekarang, langkah kaki Mona mulai terhuyung karena karung itu mulai menyimpan banyak air.
Petir mulai menyambar dengan lidahnya yang panjang. Mona tak paham benar apa yang terjadi, tapi ia sadar jika dirinya sudah tersambar petir. Ia menjatuhkan karung yang melindungi kepalanya dan tersungkur ke tanah. Mona merasa seluruh tubuhnya sakit, seolah tertusuk jarum. Ia mulai tak sadar, tapi ia masih bisa melihat cincin hitam yang ditemukannya di tengah hutan kala itu memancarkan cahaya hijau yang redup. Cahaya itu menyelimuti tubuh Mona, dan sekejap tak lagi terlihat. Seolah semuanya tak pernah terjadi.
Mona terbangun dan merasa tubuhnya hangat. Ia tak mendapati tubuhnya basah kuyup, ia justru merasa sangat nyaman. Padahal, hujan masih turun dengan sangat derasnya.
Mona membuka matanya dan melihat situasi di sekitarnya. Harusnya dia sudah mati karena tersambar petir tadi dan terbangun di alam arwah. Tapi, Mona saat ini masih hidup.
Mona terbangun di tempat yang tak terlalu luas, hanya sekitar 2 hektar. Ada tiga permata dengan nyala hijau di atas kepalanya. Mona tak tahu ia dimana, tapi yang jelas ia nyaman dan nafasnya sangat lega. Mona menduga tempatnya bangun ini ada hubungannya dengan cincin yang ia temukan.
Untuk memastikan tebakannya, dia meyakinkan hatinya. Berusaha mengingat tempatnya tersambar petir. Setelah itu, Mona menyadari jika hari masih hujan.
Mona melihat cincin hitam yang tadi sempat menyala hijau. Cincin yang melingkar di lehernya itu kini terlihat biasa kembali. Tidak ada nyala hijau, hanya saja warnanya kini lebih hitam.
Mona membuyarkan lamunannya. Ia ingat jika saudara-saudaranya sedang terjebak hujan. Dengan cepat, Mona berlari mengambil karung, mencari 3 saudaranya yang masih mencari rumput.
3 saudaranya terpaksa masuk ke selokan agar terhindar dari angin. Kepala mereka dilindungi dahan. Eka terlihat menjaga dua adiknya.
"Kakak, kalian dimana?" Hujan deras sepertinya menjadi tabir asap, menghalangi pandangan Mona. Jadi, Mona kini hanya bisa berteriak mencari kakaknya.
"Kakak, itu adalah adik. Mona datang." Rano mendengar adiknya memanggil mereka.
"Adik, kita ada di selokan, segera kemari", Rano menjawab dengan teriakan kecil.
Setelah Mona menemukan sumber suara, ia berjalan ke selokan dengan langkah kecilnya. Dia melihat 3 saudaranya saling berpelukan karena ingin saling menghangatkan.
"Kakak, cepat pakai, jangan sampai kalian membeku kedinginan." Mona menyerahkan ketiga karung yang dilipatnya kepada saudara-saudaranya.
Ketiga anak yang basah kuyup dan menggigil itu memakainya. Meski sudah basah, karung itu tetap bisa menahan angin dan hujan. Sekarang mereka tidak terlalu dingin.
"Saudaraku, ayo kita bawa pulang secepatnya. Bahaya jika berteduh disini." Dia baru saja disambar petir dan dia belum menyadari apa yang terjadi. Kali ini dia sedikit ketakutan. Jika tidak cahaya hijau yang tiba-tiba muncul dan membawanya ke ruangan asing, mungkin dia sudah mati. Untungnya, tidak ada masalah sekarang. Urusan tempat misterius dan cahaya hijau itu, Mona akan mencari tahunya nani.
Ketiga anak itu mengenakan jas hujan sederhana, membawa sekeranjang jerami yang basah karena hujan. Mereka berjalan pulang dengan susah payah.
Rano dengan hati-hati memegang tangan adiknya. Ia takut adiknya akan terpeleset lagi.
Ketika anak-anak sampai di rumah, restu dan Dewi belum kembali. Mungkin mereka juga terjebak hujan sehingga tak bisa pulang. Mona tidak bisa melakukan apa-apa kali ini, Meskipun tubuhnya tidak gosong karena tersambar petir, sekujur tubuhnya masih terasa lemas.
Mona meminta semua orang untuk mandi. Sementara Rena mencarikan baju ganti untuk semua orang agar mereka tidak masuk angin.
Mona mencoba mencari sisa jerami dan ranting yang digunakan memasak tadi siang. Mencoba mencari cara untuk menghangatkan diri.
Tiga saudaranya yang lain hanya tinggal di kamar saat ini. Mereka pasti letih. Lagipula mereka sudah lama kehujanan.
"Mona, naiklah ke kasur dan hangatkan dirimu juga." Eka tahu baju adiknya juga basah. Ia tak ingin Mona sakit lagi karena masuk angin.
"Kak aku tidak kedinginan. Kakak tetaplah disana. Aku akan melihat sisa jerami untuk memasak air. Akan membuatkanmu wedang jahe."
Masih ada jerami di tungku, sisa memasak tadi. Jerami itu masih cukup untuk sekedar membuat wedang jahe.
Rena sudah tak kedinginan lagi, jadi ia ikut membantu Mona. Ia merasa adiknya itu masih sangat kecil, ia takut Mona melakukan kesalahan saat memasak dan membuat rumah terbakar.
Setelah mereka selesai, mereka memberikan wedang jahe untuk dua anak lelaki yang masih ada di kamar. Sementara Mona dan Rena, meminum terakhir.
Rano menghela nafas setelah meminum wedang jahe, "Saudaraku, Aku merasa lebih hangat sekarang."
Eka tersenyum dan menyentuh adik laki-lakinya, "Rano, jika bukan karena adikku, kita belum bisa kembali secepat ini. Tapi aku khawatir dengan makan siang, kita tak punya jerami untuk memasak."
Apa yang dikatakan Eka, membuat Rano tersenyum. Rano tahu jika perut kakaknya itu sudah lapar "Tidak apa-apa, kamu tidak bisa mati karena kelaparan, jadi mari kita minum lebih banyak air."
Mona mendengarkan percakapan antara dua anak itu dan hatinya merasa masam, "Kakak, mungkin sebentar lagi matahari akan muncul. Kita akan menjemur jerami dan menggunakannya memasak. Bukankah ibu dan ayah juga melakukannya?"
Hujan masih saja turun. Anak-anak khawatir orangtuanya tidak bisa pulang.
Eka melihat situasi di luar dan berkata, "Tidak apa-apa. nanti kita bisa mencari jerami jika hujan reda."
Rena mencuci pakaian dan sepatu yang saudara-saudaranya yang tadi basah kena hujan. Rena takut jika baju itu tidak akan kering sehingga mereka tidak memiliki baju ganti untuk besok. Rena memeras baju itu dan menggantungnya di dalam rumah. Sepatu diletakkan di atas lubang kompor, berharap menggunakan panas yang kecil untuk mengeringkannya lebih awal.
Tetesan air hujan di luar berhamburan di atap. Hujan sangat deras dana anak-anak menikmati hujan kali ini.
Anak-anak berbaring di kasur tanpa melakukan apa-apa, satu per satu tertidur. Saat semua orang tertidur inilah, Mona mengambil kesempatan untuk pergi ke ruang angkasa, ruang rahasia yang muncul dari cincin yang ia gunakan sebagai bandung kalung itu. Mona membawa serta baju saudara-saudaranya yang basah, dan tak lupa pula jerami serta ranting basah untuk dikeringkan.
Pakaian dibentangkan, dan rumput yang telah dikumpulkan diurai di dasar tanah. Mona berharap menggunakan kehangatan di dalam ruang misterius itu untuk mengeringkannya.
Mona melihat sebuah ruangan dengan sangat hati-hati. Ia tak sengaja menemukan dua kantong nasi dan mie putih di ruang tersebut, dan ada juga beberapa pancake mie putih yang belum dimakan. Apa yang ditemukannya ini membuatnya sedikit terkejut. Pancake tersebut tampak seperti baru dipanggang. Ia mengambil sepotong kecil dan mencicipinya. Rasanya sangat segar, enak, dan kenyal.
Nasi dan mie putih itu sepertinya juga baru dimasak. Mona tak tahu siapa yang memasak makanan itu dna untuk siapa.
Mona berpikir, mungkin pemilik makam tidak mengetahui keberadaan ruang tersebut karena dia belum pernah membuka ruang tersebut sebelumnya. Mona juga merasa beruntung. Jika tidak karena sambaran petir, mungkin ia tidak bisa masuk ke sini dalam kehidupan ini.
Tetapi memikirkan tentang kejadian saat dia disambar petir sebelumnya, tubuhnya tidak hangus. Ia sedikit bingung, tetapi tak tahu harus mencari jawabannya kemana. Mona menyimpan rasa ingin tahu yang sangat tinggi kali ini.
Ketika Mona melihat kembali pakaian yang basah, ada tanda-tanda pakaian itu mulai mengering. Jerami yang basah kini juga sudah mulai mengering.
Mona mengambil rumput, pakaian, dan sepatu dari tempat itu, dia takut jika berada di dalamnya dalam waktu yang lama akan menimbulkan kecurigaan saudara-saudaranya.
Mengenai ruang misterius ini, Mona belum memutuskan apakah akan memberi tahu semua orang atau tidak. Menurutnya, tempat itu tanpa tanah atau air sehingga benar-benar buruk dijadikan tempat tinggal.
Hujan deras di luar mulai berubah menjadi hujan rintik-rintik. Mona tidak beran mengeringkan semua jerami. Ia juga tidak membuat jerami itu benar-benar kering. Takut semua orang curiga.