webnovel

Rumah Nenek

Setelah beberapa hari, Samsul tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan sepatu ketika dia melihat Restu. Dia mengejar kakaknya dengan sejumlah pertanyaan, berharap bisa mendapatkan sepatu baru dengan mudah, seperti lalat yang bisa mendapatkan buah-buahan enak di kebun.

Paceklik sudah hilang, semua sudah bersiap bertani. Samsul tidak lagi memikirkan sepatu. Dia juga berubah menjadi anak jujur. Namun, Samsul kembali dipengaruhi nenek.

Keluarga paman akan datang, tapi mereka belum memiliki rumah untuk tinggal. Restu terpaksa bersikap tak peduli, ia tak bisa membantu.

Tiga saudara Restu datang untuk diskusi. "Restu, ibu saat ini tidak punya keinginan lain. Pamanmu akan segera datang dan ibu terus memikirkannya. Aku belum bisa menemukan rumah yang bisa ditinggali paman. Bisakah kamu membantu membangunkah rumah? Tidak perlu bagus, seperti gubukmu pun tidak apa."

Dua anak tertuanya tidak peduli dan kekeh dengan pendiriannya. Jadi, nenek mengincar anak ketiganya, Restu untuk dimintai bantuan.

"Bu, dari mana aku bisa mendapatkan kayu untuk membangun gubuk? Keluarga kita tidak memilikinya. Aku meminjamnya dari seseorang saat aku membangun gubukku, dan aku akan mengembalikannya kepada mereka nanti jika aku sudah sanggup membayarnya. Kamu tidak tahu situasiku."

Restu benar-benar tidak bisa berkata-kata kepada ibunya. Bukankah sudah jelas bagimana kondisi keluarga Restu saat ini?

Wanita tua itu mengerutkan bibirnya dan terlihat tidak percaya, tetapi Restu berkata, "Bu, kita bisa membangun gubuk. Aku lihat ada kayu di halaman, jadi mari kita gunakan itu."

mendengar ide itu, Nenek langsung berteriak. "Tidak bisa, kayu itu sengaja disimpan untuk bahan furnitur. Kamu bisa mencari kayu lainnya. Jangan gunakan itu."

"Ngomong-ngomong, Bu, aku ingat satu hal, bukankah rumah yang ada di halaman masih kosong? Ibu bisa pergi ke pemiliknya dan memintanya meminjamkan rumah itu untuk pama. Nantinya, paman bisa menyewa atau membeli rumah itu, itu terserah keluarga paman".

Nenek diam dan memikirkan ucapan putrana, "Rumah itu sudah 2 tahun kosong. Kamu benar, besok datanglah ke pemiliknya. Ibu tidak mungkin mengandalkan ayahmu dan kamu tidak mungkin mengandalkan ibu, kan?."

Wanita tua itu melirik pria tua yang duduk di kursi kayu, lelaki itu merokok tanpa suara. Pria itu bahkan tidak menatapnya sama sekali.

"Baiklah, aku akan menemui pemiliknya besok." Bima menyanggupi permintaan ibunya. Bukankah ini hanya memerlukan mulut untuk bicara dengan pemilik rumah. Rasanya tidak apa-apa jika Bima melakukannya.

Namun, hasil perundingan dengan pemilik rumah harus membuat nenek kecewa. Pemilik rumah tidak setuju karena ia membutuhkan rumah itu untuk menyimpan hasil panennya.

Dewi sama sekali tidak peduli tentang ini. Paman tertua yang bahkan ingin menjual keponakannya untuk membayar hutang tak berhak mendapatkan simpati darinya.

Pagi-pagi sekali, dia membawa anak-anaknya ke kampung. Dewi berniat membayar uang yang pernah diberikan ibunya. Bagaimanapun, Dewi sekarang sudah punya uang. JAdi, ia tidak boleh merepotkan keluarganya di kampung.

Sebelum pergi, Dewi mengunci semua barang berharga di lemari. Ia juga membawa serta semua uang dan kupon makanan. Ia khawatir jika akan ada pencuri yang menyelinap.

Dalam perjalanan ke rumah nenek, Mona tahu betapa sulitnya bagi pamannya berjalan dengan sepatu kekecilan menuju rumahnya. Tidak ada jalan yang mudah untuk menuju rumah nenek. Mereka harus melintasi jalan pegunungan, melewati kaki gunung tempat mereka mengambil barang, dan mendaki lereng di antara pegunungan. Berjalan di jalan kecil yang selama ini dijadikan jalan utama.

Setelah melewati pegunungan, Mona dan keluarganya sudah sampai di perbatasan rumah nenek, setelah lima atau enam mil mereka sudah sampai. Sudah tercium bau laut. Rumah nenek ada di perkampungan nelayan.

"Bu, berapa lama lagi kita akan sampai".

Kaki Mona sakit. Tapi, sebelum sampai ke rumah nenek, ia tidak akan mengatakanya.

"Kamu lihat rumah yang cerobongnya berasap itu? Itu rumah nenekmu" Dewi memimpin anak-anak untuk mempercepat langkahnya.

Semuanya girang setelah tiba di rumah nenek." Nenek-nenek, kami disini", Rano berteriak, memimpin saudara-saudaranya berlari menuju halaman rumah nenek.

Saat itu hampir tengah hari, dan Nenek Ijah sedang memasak di rumah ketika dia mendengar seorang anak memanggil di luar.

Nenek segera menyeka peluhnya dengan tangan dan berjalan keluar, melihat bahwa itu adalah cucunya yang datang. Senyum di wajahnya tidak bisa menyamarkan kerutan, tapi rona wajahnya bahagia, "Wah, Rano ada disini, di mana ibumu?"

Kedua anak itu bersama-sama berkata, "Nenek, mereka semua ada di belakang. Kakak dan ibu akan segera sampai"

Saat ini, Dewi masih berbincang dengan Kakek Darto. Dari kejauhan, mereka melihat ayah mereka sedang membawa jala yang memiliki gantungan besi di bawahnya.

"Ayah", teriak Dewi dari jauh. Tak alama anak-anaknya juga berteriak serempak, "Kakek.. Kakek".

Mendengar suara itu, lelaki tua itu menoleh dan mendapati bahwa putri bungsunya telah pulang. Ia tak lagi santai, ia berlari dan memeluk cucu-cucunya.

"Mona dan Rena ada disni. Ayo pulang bersama ."

Dalam ingatan Mona, kakek sangat baik. Meskipun wajah kakeknya ini sudah keriput, Mona masih menangkap semangat dan senyuman di wajahnya. Sikapnya yang ramah juga membuat semua orang menyukainya.

"Kakek, apakah kakek juga bertani?" Mona penasaran dengan kehidupan orang di pesisir.

Kakek menggendong Mona yang bertubuh kurus. Ia yakin jika cucunya ini memiliki hati yang lembut dan pemikiran bijak. Lama tak bertemu membuatnya tak menyangka jika cucu-cucunya kini sudah besar.

"Kakek bertani jika senggang. Kami hidup dengan melaut. Jangan lupa jika kami tinggal di pesisir. Kami juga memancing ikan untuk tambahan lauk."

Mona memahami jika ia tinggal di dekat gunung, ia akan bergantung dari sumber makanan di gunung. Sebaliknya, kakeknya ini tinggal di dekat laut, jadi mereka melaut untuk mencari makanan.

"Kakek, kakek" Rano dan Eka yang sudah ada di rumah neneknya melihat kakeknya datang. Mereka berteriak dengan riang.

"Rano dan Eka juga ada di sini, dan istriku akan membuatkan makanan lezat untuk kalian makan siang hari ini."

Semua orang mengikuti kakek masuk ke dalam rumah.

Mona mengamati, rumah neneknya hanya terdiri dari 3 ruangan. Satu ruangan digunakan sebagai dapur dan dua ruangan sebagai kamar tidur. Kamar tidur mereka berukuran kecil dan dilengkapi dengan lemari serta perabot tua.

"Rano dan Eka, kalian di sini." Wawan yang baru saja pulang bekerja melihat keponakan-keponakannya datang.

"Hai Paman", dua anak itu bersemangat melihat Wawan datang.

Ketika ia sedang memasak di dapur, Dewi mengambil kesempatan untuk mengembalikan uang yang diberikan ibunya. Dewi memberikan uang 500 ribu, dan menambanya lagi 100 ribu.

Wanita tua itu tidak begitu mengerti. Darimana Dewi bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Awalnya, mereka tidak punya uang sama sekali. Jadi, bagaimana bisa Dewi mengembalikan uang itu hanya dalam hitungan hari?

Dewi dengan penuh kasih sayang menarik wanita tua itu ke pelukannya. "Bu, selama ini, anak-anak pergi ke gunung dan mengambil banyak barang untuk dijual. Setelah ini, kami akan menabung agar kami bisa membangun rumah baru. ".

Dewi tidak merinci apa yang dia temukan dan ambil di gunung. Nenek Ijah juga tidak bertanya terlalu banyak, "Wi, kamu benar-benar diberkati dengan anak-anak itu. Simpanlah uang itu dan gunakan untuk tambahan membangun rumah. "

Wanita tua itu memikirkan rumah putrinya dan mengkhawatirkan mereka. Kapan mereka bisa membangun rumah?

Dewi mendorong uang itu kembali. "Bu, ibusimpan uangnya, ya. Aku dan Restu akan bekerja lebih keras untuk menghasilkan lebih banyak uang. Jangan terlalu memikirkan kami. "

Ibu dan putrinya tersenyum itu bijak ketika mereka memikirkan keempat anak itu. Mereka anak-anak yang baik, bijaksana, dan bisa mengerti kondisi keluarga.

Chapitre suivant