webnovel

Berpangku Tangan

"Oke, ibu akan menggoreng beberapa potong. Kita tidak bisa menggoreng semuanya dan memakannya. KIta harus menyisakannya untuk nanti. Ibu akan memasaknya menjadi acar agar kita bisa lebih tahan lama.

Selama mereka bisa makan daging hari ini, mereka sudah cukup senang. Mereka tidak peduli bisa makan banyak atau sedikit. Yang penting ada saja mereka sudah bersyukur.

Sesampainya di rumah, Eka sudah menyalakan api. Ia melihat saudara-saudaranya membawa daging.

Rena teringat apa yang diumumkan kepala tim produksi, "Bu, pada jam satu siang, aku akan mengingat pertemuan itu."

"Oke, ibu tahu".

Tiga anak yang tidak bisa membantu memasak daging sedang duduk di kang dan mencium aroma masakan. "Sangat harum" Rano mencium aromanya dengan ekspresi seperti orang mabuk.

Ketika makanan sudah siap, Restu pulang dengan membawa meja makan, "Wi, menurutmu bagaimana dengan meja makan kita?"

Restu menunjukan meja makan baru kepada keluarganya. Sebuah meja makan yang sudah dicat mengkilap, nampak baru dan nyaman dipandang.

"Ini saja sudah lebih dari cukup, akhirnya kita memiliki meja makan di rumah, kita akan menggunakannya untuk makan siang hari ini."

Dengan furnitur baru, mood Dewi sangat baik. Sebelumnya, ia hanya makan di lantai, seolah hasil kerjanya hanya cukup untuk makan.

Ketika keluarga sedang bersiap untuk makan, pintu luar dibuka. "Kakak, aku bisa mencium aroma lezat dari rumahmu." Broto, yang belum pernah memasuki rumah mereka, muncul saat ini.

"To, numben kamu kesini. Datang dan duduklah. Apakah kamu sudah makan?".

Broto menatap hidangan dengan menu daging di atas meja, dan tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah, "Aku datang untuk memberitahumu soal udangan dari tim produksi hari ini, Kalian akan pergi?."

Setelah berbicara, Broto tidak langsung pulang. Ia masih saja menatap piring hingga matanya hampir jatuh.

Dewi tahu apa yang terjadi. Itu sama setiap saat. Ketika daging dibagi, nenek tidak pernah langsung memasak jatahnya. Nenek akan meminta jatah daging matang dari anak-anaknya. Hal sama juga dilakukan saudaranya, Broto hari ini. "To, makanlah di sini hari ini."

Dewi baru akan mengambilkan sendok untuk Broto. Tapi, Broto justru sudah mempersiapkannya, seolah ia memang datang ke rumah Restu untuk numpang mengisi perut.

Semua orang tahu, dan Dewi tak bisa berbuat banyak. Keluarga itu duduk untuk makan lagi, tetapi ketika anak-anak akan mengambil lauk, piring sajian daging sudah bersih. Broto telah memakan semuanya. Dewi memang tidak menggoreng daging banyak.

Dewi memandang suaminya dengan enggan. Sementara anak-anak hanya diam dan mengambil sayuran sebagai lauk makan mereka hari ini. Mereka memang sudah terbiasa dengan kelakuan pamannya.

Tapi Mona tidak bisa melihat ini begitu saja. Ia sangat menyayangkan pamannya tidak punya sopan santun. "Paman, tidak ada daging tersisa di piring. Jika paman bersikap begini, kami tidak akan membagi daging dengan paman tahun depan. "

Broto tidak menyangka keponakan kecil itu akan berbicara lebih dulu, dan berkata sambil tersenyum, "Nak, paman merasa bersalah sudah menghabiskan daging kalian. Paman akan membelikan daging untuk kalian ketika nanti paman sudah kaya."

Tanpa mengembalikan daging yang masih sisa di piringnya, Broto buru-buru makan sayurannya. Lagi pula, menu sayuran keluarga Restu juga enak, jauh lebih enak dari masakan istrinya. Broto makan dengan lahap dan menyeka mulutnya dengan tangan. Setelah puas, ia kembali pulang dan membawa sendok yang ia persiapkan untuk makan di rumah Restu.

Makanan yang awalnya penuh dengan harapan anak-anak untuk mencicipi daging kini hanya tinggal sisa.

"Aku benci paman" kata Rano dengan air mata berlinang.

Dewi menggendong putranya dengan sedih, "Anak baik, besok ibu akan memberimu daging goreng."

Rano menggelengkan kepalanya dengan penuh semangat, dan air mata akhirnya menetes, "Bu, kami tidak ingin makan lagi, kami harus menyimpannya untuk nanti, mungkin adik ayah yang lain akan berada di sini lagi besok."

Dewi memahami keluhan anak itu. Dia tidak bisa mendapatkan daging sebelumnya, jadi pantas jika ia merajuk. Sekarang keluarganya ada di situasi tak hangat, anak-anak masih belum makan sedikit pun daging. Tentu saja mereka sangat kecewa hari ini.

"Anak yang baik, pamanmu mungkin belum bisa berpikir dewasa. Jadi, jangan diambil hati dan jangan terlalu akrab dengan pamanmu", Restu bingung kata-kata apa yang bisa ia gunakan untuk menghibur anak-anak.

Tuduhan anak-anak membuat dia tidak tahu harus berkata apa sebagai seorang ayah. Tapi, di lain sisi ia adalah saudara Broto yang tak mungkin menolak ketika saudaranya datang meminta makanan.

"Oke, anak-anak kita tidak boleh marah dengan kejadian ini. Bagaimana kalau kita memelihara anak ayam saja? Jadi, nanti kita bisa punya banyak telur ayam jika saatnya sudah tiba." Dewi menghibur anak-anak sambil memeluk mereka.

"Bu, benarkah? Keluarga kita bisa beternak ayam? Tentu saja nanti aku dan adik-adikku akan semangat memberi makan ayam setiap hari."

Reno sudah memulihkan suasana hatinya. Ia tidak menangis lagi, tetapi Mona masih terlihat menahan air matanya.

Saat suasana hati anak-anak mulai membaik, tangisan datang dari halaman utama. Saya mendengar suara Samsul dengan hati-hati, "Bu, saudara ipar benar-benar pelit. Keluarganya tidak membuat daging hari ini. Mereka makan acar sayuran. Saya "Ingin makan daging" terdengar suara dari sebelah, dan Dewi menatap suaminya dengan geli, "Restu, pernahkah kamu mendengar itu, inilah perbedaan sikap dalam hidup".

Sebagai kakak ipar, Dewi tidak bisa mengatakan apa-apa, tetapi jika suaminya bersikeras memberikan daging untuk samsul, dia tidak keberatan menyinggung keluarga mereka, bahkan jika ia harus cek-cek demi mempertahankan potongan daging milik anak-anak.

"Restu, sepotong daging tidak berarti apa-apa, tapi suatu hari jika saudaramu menikah dan tidak punya rumah, apa yang akan kamu lakukan jika dia memintamu untuk membangunkan sebuah rumah? Apa yang harus kamu lakukan jika adikmu tidak punya uang untuk membangun rumah yang akan ditinggali? Seharusnya selalu ada batas urusan keluarga masing-masing. Kamu punya 4 anak yang perlu diprioritaskan, paham?. "

Kata-kata Dewi menyentuh hati Wang Restu. Istrinya belum pernah berkata seperti ini sebelumnya. Kata-kata hari ini membuatnya merasa panik. Dia selalu merasa bahwa dia telah melakukan kesalahan dan tak berhak lagi mengambil keputusan.

"Wi, bukannya aku tak paham. Aku ingin tidak memperdulikan mereka, tapi mereka tetap keluarga. Aku tahu kondisi keluarga kita sulit. Jadi, kita tak mungkin membantu mereka."

Rena bertanya dari sisi samping ayahnya, "Ayah, jika kondisi keluarga kita berkecukupan, Ayah mau menuruti semua permintaan mereka?"

Kata-kata anak itu menghentikan Restu, "Hmmmm ..." Restu kehilangan kata-katanya, tidak menjawab untuk waktu yang lama.

"Ayah, pohon itu memiliki akar dan dengan akarnya berusaha mencari sumber air. Jika suatu saat keluarga kita berkecukupan, itu adalah hasil kerja keras keluarga kita dan tidak ada hubungannya dengan mereka. Bahkan, jika mereka tidak bisa makan, sebenarnya itu bukan tanggung jawab kita. Jika mereka ingin hidup enak, mereka harus menemukan caranya sendiri, bekerja keras, dan tidak meminta," kata Eka.

Chapitre suivant