Nico belum berbicara sepatah kata pun. Ia hanya berjalan dengan tenang sementara Sandra memegang lengannya dengan erat. Karena kaki Sandra terlalu pendek, dia harus sedikit berlari untuk mengimbangi langkah kaki Nico. Meskipun dia lelah, tapi dia masih tersenyum bahagia.
"Dengar, jangan ulangi perbuatanmu di parkiran tadi. Mengerti?" ujar Nico, masih merasa trauma dengan sorot mata orang-orang yang melihatnya dengan tatapan jijik.
"Iya iya maaf... habisnya aku kira akan dipecat" gadis itu hanya tertawa kecil.
Sandra mencoba melihat wajah bosnya yang masih merah karena malu. Sangat lucu. Dan ia pun sama sekali tidak marah ataupun berteriak ke arahnya seperti yang dulu selalu dilakukannya. Dia tidak pernah berperilaku sebaik ini.
Menghadapi gadis yang suka sekali menggodanya itu, Nico hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa daya. Tanpa sadar ia pun tersenyum. Tangannya meraih gagang pintu dan membukanya dengan pelan.
Ketika melihat ke dalam rumah, Sandra mengusap kedua matanya. Dia terkejut tidak berani melangkah lebih jauh dari pintu dan berdiri seperti orang bodoh. Saat itu juga, Sandra benar-benar berpikir bahwa ia telah memasuki pintu yang salah.
Lantainya bersih, dan udaranya berbau desinfektan. Jelas sudah dibersihkan terlebih dahulu dengan sangat telaten. Tak hanya itu, beberapa perabot baru ditambahkan ke dalam rumah. Beberapa barang lama Sandra pun sudah dibersihkan dan terlihat seperti baru.
Di atas meja makan, terdapat vas dengan rangkaian bunga segar dan dikelilingi oleh hidangan lezat yang menggugah selera. Wajah Sandra berubah menjadi begitu rakus sampai meneteskan air liur, dan matanya tidak pernah lepas dari meja makan.
Nico tertawa. Ia cukup puas dengan hasil kerja pelayan yang dikirim oleh Pak Bram untuk membersihkan rumah ini. Sama sekali tidak menyesal melakukan ini semua untuk Sandra. Lihat saja, mata gadis ini berbinar-binar melihat aneka jenis makanan di meja makan. Sepertinya ia sudah lama tidak menyantap makanan bintang lima yang dilihatnya saat ini.
Beberapa saat mengagumi semua hal yang berubah dari kamar apartemennya, Sandra tersadar dari lamunannya. Dia memandangi punggung Nico yang berjalan masuk mendahuluinya. Gadis itu begitu bingung.
Bukankah Nico baru saja mengatakan bahwa ia tidak akan memecatnya? Lalu kenapa seakan-akan bosnya bertindak seakan-akan tidak membutuhkan jasanya lagi? Kalau memang sejak awal Nico mampu melakukan semua ini hanya dengan menjentikkan jari, maka keberadaan Sandra sebenarnya tidak diperlukan, bukan begitu?
Sandra merasa makanan mewah yang dilihatnya bagaikan makan malam terakhir yang dihidangkan untuk orang yang akan dihukum mati. Mengingat sikap buruk yang dulu sering ditunjukkan bosnya, tidak mengejutkan jika bosnya itu berniat memanjakannya terlebih dahulu sebelum kemudian menyingkirkannya dengan mudah.
"Kenapa diam saja? Ayo makan" Nico sudah lebih dulu duduk di meja makan, dengan heran melihat Sandra yang masih berdiri kaku di depan pintu.
Gadis itu kemudian mengangguk. Ia dengan cepat mengganti sandalnya dan duduk berhadapan dengan Nico. Dia terlihat begitu waspada, sebisa mungkin tidak mengatakan apapun yang bisa membuatnya dalam masalah. Tidak ingin memberikan alasan kuat untuk bosnya agar bisa memecatnya dengan mudah.
"Makanlah", ujar Nico sebelum menyuapkan sesendok daging sapi ke mulutnya sendiri.
Hidangan ini lezat hanya dengan melihatnya. Sandra ingin memakannya, tapi ia masih ragu-ragu.
"Kenapa, takut kalau makanan ini sudah diracuni?" Nico terkekeh.
Bagaimana mungkin dia tidak bisa menebak pikiran gadis kecil itu?
Sandra menggelengkan kepalanya dengan cepat: "Bos, jika kamu tidak puas dengan keterampilan memasak, caraku membersihkan rumah, atau apapun itu, kamu bisa bilang langsung. Aku pasti akan memperbaikinya...jangan malah..."
Keraguan muncul dalam benak Sandra. Ia lalu menunduk tidak berani menyelesaikan kalimatnya.
"Jangan apa?" Nico kembali bertanya dengan tidak sabar.
"Jangan mengingatkanku dengan cara begini. Ini membuatku merasa sedih dan tidak berguna" Sandra mengangkat kepalanya dan menatap bosnya dengan mata berkaca-kaca.
Saat ini, dia seperti kucing peliharaan yang akan ditinggalkan oleh pemiliknya. Sangat menyedihkan.
Mendengar perkataan Sandra, tentu saja Nico terkejut. Ia langsung meletakkan sendoknya ke atas meja.
"Kamu ini bicara apa. Aku kan sudah bilang tidak akan memecatmu."
"Tapi…" Sandra masih ragu.
"Sudah jangan berpikiran yang tidak-tidak, ayo makan" Nico mengambil sendok dan garpu dan meletakkannya ke tangan gadis di hadapannya. Tak lupa ia tersenyum agar tidak membuat Sandra merasa tidak nyaman. Gadis ini selalu sangat imut.
"Jadi, ini semua tidak ada hubungannya dengan pemecatan atau sejenisnya?" Sandra tersenyum menyadari kebodohannya sendiri. Entah darimana firasatnya itu berasal. Mungkin ia masih belum terbiasa dengan perubahan sikap bosnya yang berbeda 180 derajat.
Sandra akhirnya memberanikan diri untuk makan. Setelah satu gigitan, dia menjadi lepas kendali. Semua makanan di atas meja perlahan-lahan lenyap berpindah ke dalam perut gadis mungil itu. Sudah lama sekali sejak dia tidak makan makanan mewah.
Setelah makan, Sandra berinisiatif untuk berlari ke dapur membuat teh untuk bosnya. Nico meminum teh yang dibuat oleh gadis itu dengan elegan. Saat ini, dia sangat menikmatinya. Seakan-akan semua yang ada di dunia, tidak sebaik secangkir teh buatan Sandra.
"Tidak buruk." Nico menyesap beberapa teguk dan memberikan evaluasi yang tinggi.
"Benar kan? Enak kan hehe", Sandra tersenyum riang. "Kalau ingin meminumnya kapan pun, tinggal bilang saja padaku. Aku akan selalu siap membuatkannya untukmu"
Kalimat ini terdengar seperti janji yang dibuat oleh seorang gadis kecil, Nico ingin menanggapinya dengan serius.
"Selalu siap kapan pun?" Nico bertanya balik: "Apakah kamu berencana untuk tidak pernah berpisah dariku?"
Wajah Sandra memerah. Ia pun memikirkan kembali kalimat yang tadi diucapkannya. Memangnya salah dia berjanji seperti tadi? Kalau masalah tidak ingin berpisah...
"Aku…"
Tentu saja ia belum bisa menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan pria itu.
Kalimat 'tidak pernah terpisah' sangat ambigu dan membuat jantung Sandra berdebar-debar. Terutama ketika Nico mengatakannya dengan menatap Sandra dengan saksama, seakan-akan tidak ingin melewatkan reaksi yang mungkin ditunjukkan gadis itu.
"Kenapa, malu? " Nico begitu pandai menebak yang ada di pikiran Sandra. Ia terus memojokkan gadis itu, melontarkan berbagai pertanyaan yang membuat pipi Sandra semakin merah. Dengan senyum nakal di bibirnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Sandra. Mempersempit jarak diantara mereka, menatap gadis itu dengan tatapan lembut penuh tanya.
Jarak yang begitu dekat sudah cukup untuk membaca pikiran satu sama lain dengan jelas. Entah sudah semerah apa wajah Sandra saat ini. Mungkin tidak jauh berbeda dengan beberapa apel merah yang terhidang di meja makan. Detak jantungnya pun menjadi sangat cepat. Bahkan bibirnya terasa sangat kering. Dia tanpa sadar menjilat lidahnya. Reaksinya membuat Nico tak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir mungil gadis itu.
"Ke..Kenapa memangnya kalau aku ingin terus bersamamu? Takut menjadi miskin ya karena harus terus membayarku setiap jamnya?" Sandra tersenyum sambil menepuk pundak Nico. Mencoba mengusir rasa canggungnya. Ia kemudian berbalik, bergegas ke kamar mandi, dan duduk di toilet. Gadis itu memegang pipinya yang terasa panas, kemudian meletakkan tangannya di dada. Kenapa dia masih berdebar-debar? Sandra menggelengkan kepalanya dengan panik, tidak ingin membiarkan dirinya dikuasai oleh perasaan aneh terhadap bosnya itu.
Melihat Sandra melarikan diri dengan putus asa, Nico kembali menegakkan duduknya dengan keheranan. Dia berpikir, apakah dirinya sangat menakutkan sampai membuat seorang gadis lari terbirit-birit