webnovel

Berdua Denganmu

"Seblak di sini enak, Paman! Pemilik kedainya adalah orang Garut asli. Rasanya benar-benar enak! Ada seblak telur dan isian lain."

Alana mengajak Angga untuk memesan makanan.

"Paman, Mau memilih sendiri atau … ?"

"Samakan saja seperti punyamu.", jawabnya singkat

" ... Sama?" tanyanya memastikan.

"Iya. Kenapa?" jawab Angga balik dengan kaku.

"aku tidak suka bakso ikan."

Angga mengangkat bahu. "Aku juga tidak akan makan itu."

"... aku tidak suka pakai aci."

"Aku juga."

Yaampun! Apakah dia sedang bercanda sekarang? batin Alana gemas.

Alana tidak ingin bertanya lagi apa yang dia ingin makan karena Angga terlihat tidak peduli. Apapun yang dia makan pasti Angga makan. Mungkin dia sudah kenyang, batin Alana sarkas.

"Mbak, seblak telurnya dua yang pedes pake banget, ya?" bisik Alana ke wanita pemilik kedai di depannya.

Bukankah tadi Angga berkata ingin makan makanan yang sama dengannya? Huh. Alana tidak sabar melihat bibir itu bengkak dan memerah karena kepedasan.

"Punyaku sedikit pedas saja", ucap Angga tiba-tiba dengan santainya. Alana tidak tahu kapan Angga sudah ada di sebelahnya dan duduk manis menatap lurus ke depan.

"..."

Alana merasa gugup dan bingung karenanya.

"Kenapa?", tanya Angga.

Alana kemudian menjawab dengan cepat dan hati-hati. "Tidak, tidak! Paman ... Pernah makan seblak?"

"Rasanya tidak pedas, bukan?", jawabnya bingung.

"..."

Pertanyaan Angga tadi membuat Alana terheran-heran. Apa baginya seblak itu tidak pedas? Memang enak, ya?, batinnya.

Keduanya duduk di kursi. Alana terdiam berusaha tidak mempedulikan Angga karena masih kesal.

"Kau sering datang ke sini?" tanya Angga.

Alana memang sering pergi ke sini bersama Jessica. Tempat ini adalah warung seblak favorit mereka berdua. Selain itu, di sepanjang jalan juga banyak yang menjual berbagai macam makanan dan minuman.

"Di sepanjang jalan ini semua makanan ada dan dekat dengan kampus juga. Jadi, aku sering makan di sini. Paman ... sebenarnya belum pernah makan di kedai kecil seperti ini ya?

Angga memandang ke gang ramai dengan lalu-lalang orang di luar jendela. "Aku pernah ke sini, tapi sudah lama sekali." jawab Angga sambil menerawang.

Alana terkejut mendengar pengakuan itu.

" Kenapa? Apa karena Paman tidak mau lagi datang ke tempat seperti ini?", tanyanya penasaran.

"Ah. Maksudku … Jessica pernah berkata kalau Paman sangat suka kebersihan dan tempat ini memang tidak bisa dibilang bersih, sih. Selain itu banyak orang, ramai …"

"Kalau kau tahu aku suka kebersihan, mengapa membawaku kemari. Hm?"

"..."

Alana terdiam mendengar jawaban itu. Dia sekarang malu, mengalihkan tatapannya dari Angga dan memikirkan jawaban yang tepat. Hingga seblak pesanan mereka datang.

"Makanlah". ucap Angga memecah kecanggungan di antara mereka. Dia tidak ingin repot-repot menunggu jawaban Alana hanya karena pertanyaan sepele tadi.

Alana sedikit malu, berpikir bahwa Angga tahu apa yang sedang dia pikirkan. Kemudian, menyeringai pada Angga dan inisiatif mengambil sendok dan menyerahkannya kepada Angga.

"Paman, kedai ini sebenarnya cukup bagus. Lihatlah cat hijaunya yang menyejukkan mata dan tempatnya yang bersih. Itu artinya kebersihan makanannya juga dijaga, bukan?."

Angga melihat logo toko dengan baso aci bulat-bulat, dan kemudian beralih menatap Alana di depannya. Ia memperhatikan dua pipi gembul di wajah mungilnya. Mereka terlihat mirip, kecil dan bulat, batinnya agak geli.

Angga mengambil sendoknya dengan diam.

Seblak dengan isian telur dan dengan level pedas mematikan, itu favorit Alana. Dia sudah terbiasa makan makanan pedas. Uap panas yang mengepul dari atas piringnya dan aroma khas rempah seblak membuatnya meneteskan air liurnya. Begitu menggungah seleranya.

Ketika Angga melihat Alana makan, dia juga ikut memakan seblaknya.

"Berapa usiamu?" tanya Angga toba-tiba.

"Um ... sembilan belas!", jawab Alana dengan jujur kemudian memakan kerupuk seblaknya.

Sembilan belas ... Berarti dia satu tahun lebih muda dari Jessica, batin Angga.

"Kau tidak berencana melanjutkan pendidikanmu di Bandung saja?" Angga bertanya dengan santai.

Alana menggelengkan kepalanya buru-buru dan menelan makanan di mulutnya. "Ah! Tidak, Paman. Aku di Jakarta saja!"

Tangan Angga berhenti menyendok dan mendongak menatap Alana, "Kenapa?"

"Bandung terlalu ramai, terkadang macet juga seperti di Jakarta. Lagipula saingannya juga banyak dan persaingan di sana sangat ketat."

"... Lalu kenapa datang ke Bandung untuk mengikuti ujian?"

"Itu karena ..." Karena Reynaldi terus-menerus memaksanya. Alana sangat takut dan tidak pede pada waktu itu!

"Karena apa?" tanya Angga lagi.

"Itu … iseng saja. Hanya iseng. Hehe."

Gadis itu terlihat gugup saat membicarakannya. Angga tahu ada yang disembunyikan gadis itu. Namun, dia lebih memilih untuk tidak membicarakannya lagi dan hanya diam.

"Paman, apakah kau pernah ke Bandung?" tanya Alana mengganti topik pembicaraan mereka.

"Pernah hanya untuk bisnis."

"Jika Paman nanti mampir ke Bandung, aku akan menjadi pemandu wisatamu! "

Alana berkata dan bernostalgia tentang kota itu.

Anga tidak menjawab dan berkata, "Apa yang ingin kau lakukan di masa depan?"

"Um ... mungkin aku akan menjadi guru tari dan mengajari anak-anak menari, atau melamar di sebuah perusahaan sebagai penulis. Oh! Ibuku memiliki toko bunga kecil, hanya sebuah bisnis keluarga, dan tidak buruk juga jika aku mengambil alih untuk mengelolanya ..."

Angga melirik Alana yang terlihat sudah cukup puas dengan cita-citanya. Namun, dia tidak setuju dengan itu. Baginya Alana tidak cukup berambisi.

"Itu semua adalah cita-cita dari seorang mahasiswa yang pintar dan berprestasi?"

Alana tidak menganggap cita-citanya buruk, tetapi ketika Angga berkata demikian, dia tidak dapat menahan diri untuk menggodanya. "Hm … Kalau begitu, setelah lulus nanti. Paman akan menerimaku di perusahaanmu? Biarkan aku menjadi karyawan dan merasakan rasanya bekerja di perusahaan top, ya, Paman? Boleh, kan?" godanya.

"Aku bisa mempertimbangkannya. Asalkan kau memberikanku satu hal."

Alana mengerutkan bibirnya dan bergumam, "Paman. kau benar-benar semuanya sendiri. Haruskah ada imbalannya juga?"

"Apa katamu?"

"Aku berkata, Paman, kau baik sekali! Karena dapat meluangkan waktumu untuk makan malam denganku disaat dirimu sibuk seperti saat ini!"

Setelah berbicara seperti itu, Alana menundukkan wajahnya dan kembali memakan seblaknya dengan tenang..

Mulut kecil merah dan panas kerena kepedasan itu seperti menggodanya. Membuat Angga berpikir yang tidak-tidak. Bisa-bisa Angga kehilangan akal sehatnya lagi.

Angga membuka botol air mineralnya dan meminumnya.

Alana ...

Mendengungkan nama gadis itu di hatinya saja membuatnya nyaman dan menghangat.

Malam dimana gadis itu mabuk, apa yang mereka lalukan seperti sebuah mimpi saja …

Dia tidak menyangkan akan terjadi sesuatu hal di antara mereka pada malam itu.

Setelah makan seblak Alana sepertinya belum kenyang, jadi dia membawa Angga untuk membeli makanan ringan di sepanjang jalan. Mereka membeli teh boba, kemudian mengantri untuk membeli permen gula.

"Paman kan orang Jakarta. Sering makan ini?", tanya Alana.

"...Tidak."

"Oh, iya lupa, Jessica bilang Paman tinggal di Inggris sepanjang tahun lalu. Kerak telur di sini beda dari yang lain! Lebih gurih dan enak, Paman!"

Sambil meminum bobanya, Alana berdiri berjinjit dan menyaksikan pria tua itu yang dengan terampil menggulung adonan merah gulali dan membentuknya menjadi berbagai macam bentuk.

Alana mengambil permen yang baru jadi dan mencoba menyuapkannya ke mulut Angga, "Cobalah satu, Paman. Awas lengek kena bajumu."

Angga melihat permen berbentuk ayam yang disodorkan di depan mulutnya. Ada sedikit remaham gulali gula di tangan kecil itu. Dia menundukkan kepalanya sedikit, memegang tangannya, dan bibir tipisnya mengusap ujung jarinya ...

Chapitre suivant