Penyelidikan yang dilakukan tidak hanya mengandalkan hasil laporan yang mereka terima dari ketua tim. Untuk benar-benar memahami situasinya, mereka harus mendatangi TKP secara langsung. Memeriksa sendiri dengan teliti. Barangkali saja ada yang terlewat, barangkali saja ada petunjuk tersembunyi.
Iwata dan Haikal bertugas melakukan penyelidikan ulang kasus pertama. Keduanya mendatangi TKP penyekapan, berkeliling, dan memerhatikan tanda yang ditingalkan tim identifikasi saat melakukan olah TKP. Seharusnya tidak ada yang berubah. Garis polisi masih terpasang di luar, menandakan orang asing tidak diperkenankan masuk. TKP seharusnya masih steril.
Tempat penyekapan adalah gudang penyimpanan yang sebelumnya terbakar. Letaknya dalam gang, paling ujung. Pembangunan ulang masih dilanjutkan sampai tahun lalu, tapi terhenti karena satu alasan. Biaya salah satunya.
Di halaman depan terdapat jejak ban mobil yang dalam laporan dinyatakan cocok dengan mobil milik korban. Selain itu tidak ada jejak apa pun lagi yang tertinggal. Seteliti apa pun memerhatikan atau selama apa pun mereka mencari, tetap tidak ditemukan ada hal lainnya.
Haikal masuk lebih dulu ke dalam gudang.
Gudang adalah ruangan lapang dengan atap tinggi. Lantai dalam ruangan dipenuhi debu setinggi kira-kira 1 senti. Peralatan-peralatan yang digunakan untuk melanjutkan pembangunan ditumpuk di sudut ruangan. Laba-laba terlalu bebas membuat sarang menandakan tidak ada orang yang pernah menyentuh tempat itu sebelumnya.
Ada! Tali. Telihat masih baru karena tidak terkontaminasi debu ataupun jaring laba-laba.
Jejak-jejak yang tertinggal dalam ruangan dapat terdeteksi dengan jelas karena debu pada lantai terhapus di beberapa bagian. Dari jejak-jejak itu Haikal bisa membayangkan apa yang sedang terjadi atau apa yang dilakukan oleh korban selama disekap.
Tempat yang paling banyak kehilangan debu di atas lantai adalah awalnya. Haikal yakin sebelumnya korban berada di tempat itu dalam waktu lama, dalam keadaan terikat.
Ada jejak memanjang yang menandakan korban menyeret tubuhnya meninggalkan tempat yang menurutnya menjadi titik awal, menuju ke tempat lain di sudut ruangan. Dari keadaannya yang terikat di tangan dan kaki, korban hanya bisa bergerak dengan menggunakan tumit dan bokongnya, perlahan.
Korban melihat benda tajam di antara tumpukan barang-barang di sudut ruangan. Benda itulah yang digunakan untuk memotong tali yang mengikat tangannya. Dari bentuk potongan dan sayatan pada tali yang tidak beraturan, Haikal memperkirakan tangan korbannya diikat ke belakang. Seperti kebanyakan orang ketika disekap.
Tidak bisa melihat saat tangannya begerak memotong tali, membuat korban melakukannya dengan perlahan dan berhati-hati. Beberapa kali memotong di tempat yang berbeda membuat bekas sayatan pada tali tidak tetap hanya menetap di satu tempat.
Haikal berhenti membayangkan usaha korban untuk memutuskan tali yang mengikat tangan dan kaki korban. Kini fokusnya untuk menemukan benda yang digunakan untuk memotong. Ia memerhatikan tempat di sekitar tali, tumpukan barang, dan seluruh ruangan. Nihil. Tidak ditemukan benda itu di mana pun dalam TKP.
Haikal kembali memeriksa berkas laporan di tangan kanannya dan menemukan benda berupa sekop kecil berbahan stainless dalam daftar barang korban.
Berusaha memposisikan diri dengan kondisi korban saat itu, Haikal bisa mengerti kenapa korban membawa benda itu dalam sakunya. Sebagai alat untuk membela diri. Sekop itu akan korban gunakan untuk membalas pelaku seandainya ia diserang lagi.
Sayangnya, meski ia diserang lagi seperti prediksinya, korban tidak bisa menggunakan sekop yang dibawanya untuk membela diri.
"Menemukan sesuatu?" Iwata yang puas melihat-lihat sekeliling bangunan bertanya.
"Hanya ada satu pasang jejak sepatu. Sisanya jejak dari para petugas saat olah TKP," jawab Haikal "Bukannya itu sedikit aneh?" tambahnya mengerutkan kening.
"Mau dengar kemungkinan yang saya pikirkan?"
Haikal hanya menaikkan sebelah alisnya. Iwata berjalan ke luar ruangan dan Haikal mengekor.
"Pelaku dan korban datang bersama dengan kendaraan milik korban," Iwata memulai.
"Itu tertulis dalam laporan," Haikal memotong. "Karena tidak ada jejak kendaraan lain di halaman gudang, penyelidik menyimpulkan seperti itu."
"Oke. Kalau begitu dimulai dari yang tidak tertulis dalam laporan," Iwata menghela nafas. Ia mengajak Haikal memutar, menuju ke belakang gudang. "Pelaku tidak membawa korban masuk dari pintu depan, melainkan dari pintu belakang."
"Eh?!"
"Tanah di sekitar bangunan keras dan kering, jadi tidak akan meninggalkan jejak apa pun," Iwata memulai lagi. "Itu alasan yang paling tepat kenapa hanya ada jejak korban yang tertinggal dalam ruangan."
Haikal berjongkok, memerhatikan tekstur tanah dan bagian-bagian di sekitar pintu belakang. Ada patahan ranting. Petunjuk awal yang Iwata temukan untuk merangkai kemungkinan-kemungkinan yang ada di pikirannya. Kemudian menyatukannya dengan bagian lain yang ia lihat.
"Pintu bagian belakang jika dilihat dari dalam tersamarkan karena sama dengan warna dindingnya sehingga korban tidak sadar dan begitu ikatan terlepas ia lari menuju pintu depan untuk membebaskan diri," lanjut Iwata.
"Hahh.. saya melewatkan bagian penting lagi," Haikal menepuk jidatnya.
"Pertanyaannya adalah... kenapa pelaku begitu berhati-hati dengan jejak pijakannya. Apakah karena dia tipe orang yang teliti atau..."
"Jejak pijakan yang ditinggalkan bisa membuat identitasnya terungkap," Haikal melanjutkan. "Sepertinya kasus ini memang lebih rumit dari kelihatannya."
Setelah cukup mengamati dan mencari-cari, keduanya beralih ke TKP kecelakaan. Berbeda dengan TKP penyekapan yang masih steril, tempat kejadian kecelakaan sudah tidak lagi meninggalkan jejak. Kecelakaan terjadi di dalam kota, meski tidak tepat di pusat kota dan bukan jalan utama, tapi lalu lalang kendaraan selalu memenuhi jalan di jam-jam tertentu. Ditambah lagi kecelakaan sudah berjeda seminggu yang lalu.
Meski tidak banyak membantu, setidaknya mereka sudah melihat kondisi TKP secara langsung.
Tidak ada yang tersisa sekalipun serpihan pecahan kaca mobil. Satu-satunya hal yang membuktikan pernah terjadi kecelakaan di tempat itu hanya keterangan dari orang-orang sekitar.
"Saya mau menemui sebentar salah seorang saksi yang membuat pernyataan saat itu," kata Haikal kemudian berlalu.
Iwata keluar dari mobil beberapa menit kemudian. Ia hanya mondar-mandir di TKP kecelakaan sembari menunggu Haikal kembali.
Memang tidak ada lagi jejak kecelakaan yang masih tersisa. Iwata memeriksa ke semak-semak, tidak ingin ada tempat yang terlewatkan dari pengamatannya. Tetap tidak ada apa pun. Itu artinya tukang sapu jalan sudah melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Dengan sangat bersih.
Haikal kembali sepuluh menit kemudian.
"Sebelumnya seorang saksi bilang truk penabrak terparkir rapi di sana," Haikal menunjuk di arah kejauhan, di sebuah tanah kosong. Jarak dari TKP penyekapan kira-kira 250 meter. "Saksi itu sama sekali tidak melihat seseorang masuk atau keluar dari truk. Dia juga bilang tidak merasa ada yang mencurigakan sebelumnya."
Iwata membolak-balik laporan yang dari tadi dia bawa.
"Kendaraan curian di parkir selama kira-kira satu jam di tempat umum? Bukannya pelakunya terlalu percaya diri?" Haikal berkata lagi.
Iwata hanya mengangguk. Sebagian fokusnya masih digunakan untuk berpikir. "Ayo, kita masih harus mengajukan pertanyaan ke keluarga dan orang terakhir yang bersama korban!"
Korban pertama bernama Tri Agus, 20 tahun. Seorang mahasiswa fakultas teknik sipil di salah satu PTN terfavorit. Terakhir kali terlihat berkumpul dengan teman-temannya dari fakultas yang sama untuk mengerjakan tugas kelompok yang deadlinenya jatuh pada esok hari.
Tri Agus bersama tiga temannya berkumpul di sebuah kafe dari pukul 14.30-16.20.
Menurut keterangan tiga temannya yang lain, tidak ada hal aneh yang terjadi pada Tri Agus selama mereka mengerjakan tugas bersama. Tidak itu menerima telepon atau pesan tidak dikenal. Tidak juga gerak-gerik yang menandakan korban sedang gelisah karena mencemaskan sesuatu.
Seperti biasanya Tri Agus tidak banyak bicara. Dia adalah tipe orang yang tidak terlalu mempedulikan hal yang menurutnya tidak begitu penting. Sifat tak acuh yang sudah berada di level akut itu bisa jadi sangat menyebalkan bagi orang-orang di sekitarnya.
Begitu tugas kelompok selesai, mereka berpisah dengan Tri Agus. Ayu pulang ke rumah, sementara Rizki dan Wahyu menghabiskan sisa sore itu dengan berkeliling mol.
Dari ketiga teman sekelompoknya, tidak satu pun yang dekat dengan Tri di kelas. Hanya karena mereka terpilih dalam satu kelompok sehingga mereka menghabiskan waktu bersama hari itu. Tri Agus bukan tipe yang dibenci sebenarnya. Hanya saja mereka merasa bukan teman yang bisa bergaul baik dengan tipe orang seperti Tri.
Seperti halnya keterangan yang diberikan teman-teman Tri, keterangan yang diberikan keluarga Tri juga tidak banyak membantu. Karena masih dalam suasana berkabung, keluarga justru lebih banyak menangis dan terisak dibanding menjawab pertanyaan yang diajukan.
Hari itu ketika Tri tidak juga pulang ke rumah, sang ibu sudah merasa resah. Malam semakin gelap dan tetap tidak ada kabar dari anak laki-laki satu-satunya sementara ponselnya juga tidak aktif.
Ibu terjaga sepanjang malam, sementara ayah keluar untuk mencari kabar.
Mereka tahu Tri tidak seperti anak laki-laki seusianya yang kebanyakan terbiasa pulang larut atau tidak pulang sama sekali karena menginap di rumah teman. Tri hanya memiliki 1, 2 orang teman dekat. Layaknya seorang introfert atau hikikimori Tri lebih senang mengurung diri di rumah dibanding menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya di luar.
Tri Agus adalah anak satu-satunya dengan limpahan kasih sayang sekaligus limpahan fasilitas. Karena anak satu-satunya itu jugalah yang membuat harapan tinggi orang tuanya dibebankan sepenuhnya pada Tri.
Menurut keterangan ayah, Tri tidak pernah melakukan hal-hal yang mengecewakan selama ini. Nilai-nilai pelajaran Tri selalu baik. Sopan santun dan tata krama yang diajarkan pada Tri sejak kecil juga selalu diterapkannya. Satu-satunya yang membuat ayah dan ibu khawatir adalah sikap Tri yang terlalu pendiam dan tidak bergaul.
"Apa ada alasan tertentu kenapa Tri terlalu bersikap pendiam dan tidak bergaul ?" tanya Haikal.
Ayah Tri menggeleng. "Itu tiba-tiba. Tapi tidak ada masalah apa-apa dengan sikapnya bahkan sampai saat ini."
Setelah merasa cukup mengajukan pertanyaan, Iwata dan Haikal berterima kasih dan pamit pulang.
"Anak yang baik dan penurut di depan orang tuanya tapi tak acuh dan menyebalkan menurut teman-temannya. Menurutmu bagaimana?" Haikal bertanya pada Iwata saat mereka berjalan menuju kendaraan dinas yang terparkir di pinggir jalan.
"Entahlah," Iwata mengangkat kedua bahunya. "Mungkin dia ingin sesekali bebas bersikap saat di luar."
"Bisa jadi," Haikal menganggu sependapat "Beban menjadi anak satu-satunya yang memikul harapan besar kedua orang tuanya itu merepotkan. Jika ingin tetap menjadi anak baik dan penurut seharusnya dia tak acuh. Tapi dia terlalu cuek dan menjaga jarak untuk bergaul. Tapi jika ingin bebas bersikap seharusnya dia perlu banyak teman untuk diajak senang-senang."
"Siapa yang tahu apa yang dia pikirkan."
"Sekarang kita ke mana?" Haikal kembali mengajukan pertanyaan.
"Makan siang, aku lapar." Sebelum Haikal menghidupkan mesin mobil, ponsel Iwata berdering. "Tunggu, Sakhi menelepon! Siapa tahu dia mau mengajak makan siang."
Haikal hanya mendesis. Patnernya satu itu benar-benar tidak setia kawan.
Sakhi adalah calon yang Iwata sebut-sebut akan dinikahinya bulan depan. Beberapa hal pun sudah mulai dipersiapan untuk menyambut hari paling bahagia bagi kedua pasangan itu. Hari di mana mereka akan menjadi pasangan yang halal. Saat ijab kabul diucapkan dan kata 'sah' diteriakkan oleh para saksi.
Keduanya saling mengenal setahun lalu. Tepat saat pembentukan tim khusus pertama dan kasus pembunuhan berantai dengan menggunakan racun dari tanaman Wolfsbane terjadi.
"Ayo, kita ke kafe!" kata Iwata setelah panggilan berakhir. "Sakhi bilang dia membuat menu baru lagi. Kita diundang sebagai tamu kehormatan untuk mencicip."
"Tamu kehormatan?" Haikal terkekeh mendengar sebutan yang Iwata ucapkan untuk mereka berdua.
Sakhi bekerja di sebuah kafe yang terkenal dengan keanekaragaman minumanya yang unik.
Sebenarnya Sakhi menderita Congenital Analgesia. Penyakit akibat terganggunya jaringan syaraf antara panca indra dan otak sementara orang tetap dalam keadaan sadar sehingga tidak lagi bisa merasakan sakit. Meski tidak bisa merasakan, Sakhi justru bekerja di tempat yang menuntutnya jeli dalam menilai rasa.
Sakhi memang tidak selalu mengambil jabatan sebagai juru masak, tapi ia akan turun ke dapur ketika juru masak tidak masuk atau saat harus menciptakan menu baru.
Bagi Sakhi, memasak merupakan perpaduan angka-angka. Saat semua indra perasanya tidak lagi bisa diandalkan, ia menggunakan takaran dengan perbandingan angka-angka yang sudah tersimpan rapi dalam otaknya untuk menciptakan rasa yang disebut enak dalam lidah orang lain.
"Sebenarnya saya tertarik ingin berpasangan dengan anak baru itu sebelum komandan menentukan kelompok kerja." Haikal membuka pembicaraan ketika mereka telah berada dalam perjalanan menuju kafe.
"Kenapa?" Iwata merasa inti dari kalimat Haikal adalah dia tidak suka dipasangkan dengannya.
"Kenapa apanya?" Haikal balas bersunggut. "Saya bilang begitu karena saya penasaran dengan kemampuan si anak baru. Saya ingin melihat sendiri bagaimana cara dia berkerja dan berada di jalur mana cara berpikirnya."
"Alasan!" Mendengar satu kata yang Iwata ucapkan, Haikal mengerutkan keningnya semakin dalam. "Akhir-akhir ini kamu sering menganggap saya sebagai saingan. Kenapa? Apa karena kamu masih belum bisa menerima saya akan menikah dengan sakhi ?"
"Apa?!" Haikal meninggikan suaranya berang. Menurutnya tuduhan Iwata sama sekali tidak berdasar. Sebagai seorang penyidik seharusnya Iwata tahu tidak bisa sembarang melemparkan tuduhan kepada seseorang tanpa bukti.
Tuduhan Iwata benar-benar membuat Haikal geram sampai ingin menjitak kepala orang di sampingnya itu. Tapi kemudian ia hanya menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya.
"Jadi benar?" Iwata bertanya lagi.
"Bukan!!!" Haikal semakin meninggikan suaranya, semakin berang.
***