webnovel

Sepi yang Melanda

Apartemen 909 itu nampak sangat sepi, meski ada seseorang di dalam, tapi ruangan itu seperti berhantu. Alyx duduk di samping jendela, memeluk lututnya. Dia belum meninggalkan tempatnya, sejak semalam. Tak ada cahaya sedikitpun di ruangan itu. Dia tidak menyalahkan lampu atau pun membuka jendela untuk membiarkan cahaya masuk.

"Michi…" sesekali dia menyebut nama kucing kesayangannya. Dia sudah bersamanya lama, bahkan sebelum dia tingal di apartemen ini. Baginya Michi adalah sahabat terbaiknya. Dan sekarang dia telah kehilangan Michi.

Telepon pintar Alyx berbunyi, membuatnya mengangkat kepala. Cahaya dari smartphone, membuatnya menyipitkan mata. Dia mencoba meraihnya dengan kaki.

Alyx memandang sebentar, melihat nama yang muncul di layar. "Nick…" dia memutuskan untuk menerima panggilan dari Nick, sudah sejak kemarin Nick mencoba menghubunginya. "Ada apa?"

"Kau dimana? Kau membuatku khawatir. Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu. Ini penting."

Tidak tahukah Nick, kalau hati Alyx sedang benar-benar hancur. Alyx meletakkan telepon di sampingnya. Membiarkan Nick mengoceh di seberang sana. Tidak lama, panggilan terputus. Mungkin saja Nick sudah merasa bosan untuk berbicara sendiri. Sementara Alyx kembali memeluk lututnya.

*

Dua hari berlalu, Alyx nampak, mungkin sudah terlihat, lebih baik. Dia membuka jendela, merapikan kamarnya, dan membuat sarapan. Alyx menyantap sarapannya dalam diam. Setelah makan, dia menyalakan TV, menonton berita yang semakin hari semakin menyeramkan. Saat merasa bosan dengan tontonannya, dia mengambil handphonenya. Dan segera menghubungi Nick.

Sejak hari itu, Nick tidak lagi menghubunginya. Jadi, lebih baik kalau Alyx yang menelponnya lebih dulu. Beberapa kali tersambung, tapi tidak ada yang menjawab panggilannya. Dan saat percobaan terakhir, seseorang menerima panggilan Alyx.

"Bos," suara Katie terdengar.

"Katie, kenapa kau…" kalimat Alyx terhenti, meminta lawan bicara untuk meneruskan kata-katanya.

Katie terdengar bingung. "Aku mendengar ini berbunyi dan segera mengangkatnya. Tapi bos, direktur tidak di sini, hanya handphonenya yang berada di kantor."

"Lalu kemana dia?" tanya Alyx yang ikut bingung.

"Kemarin dia tidak di sini, tapi entah kenapa HP ini ada di sini," Katie jelas bertanya-tanya, tapi yang diberitahunya itu juga tidak tahu sepertinya.

"Benarkah?" Alyx menggaruk dahi, dia berpikir sudah mengabaikan Nick dan giliran temannya itu yang tidak memberinya sedikit pun kabar. "Baiklah, aku akan ke sana dan mengambil ponselnya," dia memberi indo kedatangannya yang diikuti dengan gumaman Katie.

*

Setelah mengambil ponsel Nick dari kantor, Alyx sudah berada di kediaman besar keluarga Nick. Pagar tinggi menjulang, beberapa penjaga membuat seseorang tidak bisa masuk dengan mudah ke dalam tanpa keterangan yang jelas.

"Apa Nick di dalam?" tanya Alyx, dia sudah sejak tadi membiarkan orang-orang tahu tentang keberadaannya, sampai akhirnya dia harus memberanikan lebih dulu menyapa.

"Kau siapa dan ada perlu apa?" Tanya salah satu dari mereka.

"Ah," Alyx menganga beberapa saat, "aku penagih hutang. Aku ingin dia mengembalikan pinjamannya," Alyx berkata dengan wajah serius.

"Apa?" seru si penjaga. "Memang berapa?"

"Iya. Dua pound," jawab Alyx asal.

"Dua pound? Dua katamu," si penjaga tertawa, terdengar merendakan.

"Kenapa? Apa kau ingin membayarnya?" Alyx mengeryit, cuaca juga sedang terik, tapi dia malah memuat lelucon tidak aneh di luar sini.

"Biar aku yang membayarnya kalau begitu, itu sedikit sekali," penjaga itu bergumam. "Hanya dua pound, kau datang ke tempat ini," desisnya.

"Alyx…" seruan terdengar dari arah halaman rumah Nick.

Alyx berbalik dan mendapati Charlie salah seorang butler yang mengenal dirinya.

Penjaga yang baru saja merogoh sakunya kebingungan.

"Kenapa kau tidak membuka pintu untuknya?" tanya Charlie.

"Ah? Baik," si penjaga gelagapan dan segera membuka gerbang.

Charlie membawa Alyx masuk, merasa Alyx pastinya sudah cukup kesal ditahan di sana lama-lama.

"Tapi, apa tidak masalah kalau aku masuk, Charlie? Sepertinya penjagaan bertambah ketat di sini. Apa ada masalah?" Alyx seketika tersadar.

Charlie tersenyum dan berbalik menyuruh penjaga yang tadi. "Bisakah kau menghubungi Tuan katakan padanya kalau…" belum menyelesaikan kalimatnya, penjaga itu sudah masuk ke ruang jaganya.

"Tuan, ada seseorang yang mencarimu, dia ingin menagih hutang, dua pound," katanya polos pada Nick.

Nick seketika tertawa. Dia tahu kalau itu adalah teman baiknya. "Biarkan dia masuk."

Kepala penjaga gerbang melongo di jendela. "Ah, OK."

"Ayo." Charlie mengajak Alyx berjalan. Melewati halaman yang begitu luas. "Dia tidak ingin menerima tamu, katanya, tapi sepertinya dia tidak bisa menolak kedatanganmu."

Alyx tersenyum, meski ekspresinya kembali serius. "Lalu apa yang terjadi?"

"Kurasa dia akan menceritakan semuanya," Charlie mengangkat bahu, nampak tak ingin berbicara terlalu jauh. "Baiklah, silahkan masuk." dia membuka pintu untuk kediaman Nick.

"Terima kasih, Charlie." Sebelum masuk, Alyx berbalik melihat kediaman utama dimana orangtua Nick tinggal. Dia sudah beberapa kali di sini, selalu saat Nick harus ditangkap--diminta pulang oleh orangtuanya.

"Apa aku benar-benar memiliki hutang?" kalimat ini yang menyapa Alyx saat masuk.

"Tentu, kau selalu memintaku membayar sandwich untukmu. Lalu, apa yang terjadi?" tanya Alyx langsung.

"Aku hampir diculik," seru Nick tanpa membuat basa-basi.

"Apa? Orangtuamu?" kening Alyx bersatu.

"Bukan. Sekelompok orang berpakaian lengkap menghadang jalanku. Untungnya orang suruhan ibu segera datang," Nick memutar bola mata, dia menyandarkan kepala di bahu sofa.

"Siapa mereka? Apa kau pikir dia benar-benar ingin menculikmu? Kau yakin? Maksudku, apa bagusmu?"

Nick mencibir. "Apa maksudmu? Kudengar ini semua karena ayah. Aku juga tidak tahu maksud ibu. Tapi… entahlah," dia terlihat tidak mengerti apa yang terjadi.

"Entahlah apa?" Alyx bernada protes. "Kau membuatku bingung, kau cerita saat kau sudah mengerti masalah ini," gerutunya tapi malah mendapati Nick yang masih terdiam. "Well, sepertinya kau baik-baik saja. Aku akan pulang sekarang," katanya da meletakkan telepon genggam Nick di depan mejanya.

Nick mengangguk kecil. "Aku akan segera menghubungimu saat aku mengerti. Tapi, Alyx, kau tidak perlu menemui seseorang yang bernama Benjamin."

"Benjamin?" Kenapa sekarang kita membahas orang ini, pikir Alyx, tapi dia lalu menggerakkan kepala. "Oh, iya, sepertinya Katie memang pernah menyebut nama orang itu. Kenapa memang?"

"Dia tidak akan pernah berhenti saat mendapatkan yang diinginkannya."

"Memang apa yang diinginkannya?"

"Entahlah."

"Kenapa kau selalu mengatakan entahlah? Memang apa yang kalian bicarakan?" Sekarang Alyx sudah benar-benar kesal, tapi memutuskan kembali duduk untu sesaat mendengar cerita Nick.

Nick pun menggerakkan tangan, menyuruh Alyx untuk tetap tenang. "Dia menyuruhku mencari tahu sesuatu. Menyuruhku membahas mengenai hal ini. Dan dia selalu mengatakan mengenai SOS ini, itu," dia mencoba menjelaskan, meski hanya berakhir dengan helaan nafas.

Alyx mendengarkan dengan penuh perhatian. "SOS?"

Nick mengangguk. "Dia sangat bersemangat mengenai ini, aku sudah mencari mengenai SOS di go*gle, tapi bukan itu yang dimaksudnya."

"Lalu apa?"

"Mungkin seperti organisasi," Nick tertawa sinis, meski lebih terdengar seperti dengusan. "Entahlah," gumamnya menekan pelipisnya, "yang jelas kau tidak perlu menemuinya."

"Ah, okay," Alyx berusaha mengiyakan. "Kalau dia tidak menghubungi AM magazine lagi, maka aku tentu tidak akan menemuinya, tapi kalau dia menghubungiku langsung, aku akan pergi."

"Terserah kau. Aku sudah melarangmu."

*

Chapitre suivant