Ketika mereka berbelanja di pasar, Carol menghentikan langkah ketika melihat seorang anak perempuan yang tampaknya berumur sekitar sepuluh tahun, sedang berbelanja bersama ayahnya. Mereka berjalan dari arah depan, saling bergandengan tangan dan mengobrol dengan senyum di wajah mereka.
"Ayah, aku ingin makan bubur labu buatan Ayah," ucap si Anak.
"Baiklah! Pagi ini, kita sarapan bubur labu. Nanti siang, Ayah akan buatkan sup ayam kesukaan Anak Ayah!" sahut ayahnya.
"Jangan!" seru si Anak.
"Kenapa?"
"Ayah kan, hanya bisa membuat bubur labu dengan enak. Minggu lalu Ayah membuat sup juga sayurnya masih keras semua," beber anak itu.
Ayahnya tergelak. "Jangan khawatir, Ayah sudah belajar memasak sayur sup dengan benar dari internet."
Si Anak menggeleng-gelengkan kepala. "Ayah selalu memasak aneh-aneh karena belajar dari internet."
Ayahnya tergelak. "Kali ini benar-benar akan enak," janji ayahnya.
Ketika pasangan ayah dan anak itu melewatinya, Carol seketika teringat papanya. Seminggu setelah Carol kehilangan mamanya, Carol masih enggan makan. Ia makan hanya beberapa suap saja, sebagai syarat agar papanya tak cemas. Namun, ketika papanya mencoba memasak makanan kesukaannya, itu adalah makanan dengan rasa paling tidak enak yang pernah dimakan Carol. Namun, Carol menghabiskan satu piring penuh. Mata Carol terasa panas ketika kembali teringat papanya.
"Kau kenapa tiba-tiba berhenti?" tanya Jun di belakangnya.
Carol berdehem dan mengerjap cepat. "Aku … boleh pinjam ponselmu sebentar?" pinta Carol.
Jun memberikan ponselnya pada Carol. Begitu ponsel Jun berada di tangannya, Carol segera mencari berita terbaru tentang papanya. Namun, belum ada kabar terbaru sejak kondisi papanya dikabarkan kritis. Carol benar-benar ingin pulang dan berada di samping papanya, tapi jika ia nekat pulang sekarang, nyawanya dalam bahaya. Namun, jika ia tidak pulang sekarang, ia takut … tak akan sempat bertemu dengan papanya lagi.
"Carol?" panggil Ricki pelan. "Kau baik-baik saja?"
Carol menunduk dan menghapus air matanya dengan cepat. "Ah, mataku kemasukan debu. Mungkin karena ini di pasar, jadi banyak debu," Carol beralasan sembari mengembalikan ponsel Ricki.
Seandainya … sebentar saja … meski hanya beberapa detik, Carol bisa melihat papanya ….
***
Ketika Carol kembali bersama Ricki dan Jun, gadis itu langsung menatap gadis yang mengaku bernama Cecilia Pratama, yang duduk di sofa berhadapan dengan Troy. Carol kemudian menatap Troy dari atas ke bawah, seolah mengecek kalau-kalau Troy terluka.
"Aku baik-baik saja," ucap Troy untuk menenangkan gadis itu.
Carol tersenyum kecil, lalu duduk di sebelah Troy. Dia mengedik kecil ke arah gadis yang duduk di seberangnya. Namun, belum sempat Troy memperkenalkan gadis itu, dia sudah lebih dulu memperkenalan diri.
"Oh, kenalkan, aku Cecil," ucap gadis itu sembari mengulurkan tangan pada Carol. "Kau …"
"Rose," Troy yang menjawab.
Carol menatap Troy heran, tapi tak mengatakan apa pun dan menyambut uluran tangan Cecil.
"Tapi … kenapa kau tadi datang dan langsung menyerang Troy?" tuntut Carol sembari menarik uluran tangannya.
"Oh, aku … maaf, aku salah paham." Cecil memasang ekspresi penuh penyesalan. "Aku mendengar jika musuhku ada di kampung ini."
"Musuh apa?" tanya Carol heran.
"Orang yang membunuh ayahku," jawab Cecil.
Carol menahan napas. "Kau … ayahmu dibunuh?"
Cecil mengangguk. "Selama tiga tahun, aku terus mencari pembunuh ayahku. Hingga aku mendengar ada keributan di sekitar sini dan datang kemari. Aku juga mendengar kabar musuhku ada di sekitar sini. Dan aku mendengar sempat ada keributan di rumah ini, jadi aku … datang kemari dan menyerangnya." Cecil kemudian menatap Troy. "Maaf."
Carol menoleh pada Troy, tampak merasa bersalah, berpikir mungkin itu karena orang-orang yang dikirim keluarganya. "Troy, maaf, karena aku …"
Troy menggeleng, menghentikan kalimat Carol dengan menggenggam tangannya. "Tidak apa-apa, itu bukan salahmu, Rose."
Carol yang tampak cemas, kini mengerutkan kening heran, tapi tak membantah Troy.
"Omong-omong, mulai hari ini, dia akan tinggal di sini," beritahu Troy.
"Apa?" Jun terdengar tak suka. "Tidak cukup gadis ini yang mengacau, sekarang …" Jun menghentikan protesnya begitu Troy menatapnya tajam.
"Aku perlu bicara dengan kalian," ucap Troy seraya berdiri dan pergi ke dapur.
"Troy, kau yakin tidak apa-apa jika dia tinggal di sini?" tanya Carol yang menyusul Troy lebih dulu. "Bagaimana jika dia mencoba menyakitimu lagi?"
Troy mengangguk. "Dia hanya salah paham, Carol, kau sudah mendengar sendiri darinya tadi. Tapi, aku masih belum cukup memercayainya untuk memberitahukan siapa dirimu sebenarnya padanya. Jadi, untuk sementara, kita gunakan saja namamu yang itu."
Carol mengangguk menurut.
Troy menatap pada Ricki dan Jun bergantian. "Kalian juga, jangan sampai menyebutkan tentang nama Carol di depan gadis itu sampai aku yakin siapa dia sebenarnya," pesannya.
Ricki dan Jun mengangguk.
"Tapi, kenapa kau mengizinkannya tinggal di sini?" tanya Carol.
"Karena kau," jawab Troy. "Kau pasti bosan jika sendirian di rumah, kan?"
Carol mengerjap.
"Terlebih, mulai hari ini, Ricki dan Jun juga akan tinggal di sini," tambah Troy. "Kau bisa menghabiskan waktumu bersama Cecil daripada ribut dengan Jun."
Carol seketika melotot tak rela. "Apa? Kenapa? Kenapa mereka juga harus tinggal di sini?" Carol menuding wajah Ricki. "Dia bahkan punya villa di dekat sini. Jika mereka pulang ke villa itu, aku tidak perlu ribut dengan Jun."
Troy melirik Ricki sekilas. Villa? Yah, benar juga. Meski itu villa Troy yang memang digunakannya untuk markas sementara sejak ada keributan kecil di kampung ini.
"Situasinya mungkin lebih parah dari yang kita pikir," Troy menyebutkan alasan. "Kau lihat sendiri kesalahpahaman yang terjadi tadi."
"Troy, aku benar-benar minta maaf. Karena keluargaku …"
"Tidak," Troy memotong cepat. "Itu bukan salahmu, Carol."
Carol tampak akan mengatakan sesuatu, tapi gadis itu kemudian menunduk. "Aku akan berbicara dengan Cecil dulu, kalau begitu," pamitnya.
Troy mengerutkan kening dengan tatapan mengikuti Carol. "Apa sesuatu terjadi?" tanya Troy sembari menatap Ricki dan Jun bergantian. "Kau bertengkar dengannya lagi?" Troy menatap Jun tajam.
"Kenapa kau terus membelanya dan menyalahkanku?" omel Jun.
"Papanya," Ricki menyebutkan.
Troy mengernyit. "Apa sesuatu terjadi pada papanya?"
"Belum ada kabar perkembangan mengenai kondisi papanya. Kita tidak bisa tahu, kapan papanya akan pergi dengan kondisinya saat ini," urai Ricki. "Carol tadi meminjam ponselku sepertinya untuk mencari tahu kondisi papanya."
Troy menghela napas.
"Jika dia nekat pulang sekarang, dia akan mati," singgung Jun. "Dia baru bisa pulang setelah semua warisan papanya jatuh padanya, kan? Itu berarti, dia baru bisa kembali setelah papanya meninggal."
Troy kembali menatap Carol dan menghela napas.
"Membawanya menemui papanya dalam kondisi seperti ini juga sepertinya sangat berbahaya," cetus Ricki.
"Tapi, kenapa dia selalu tampak setenang itu? Jika aku jadi dia, aku pasti sudah memikirkan segala macam cara untuk menemui papaku, betapa pun berbahayanya itu. Maksudku, ini bisa jadi kesempatan terakhirnya untuk bertemu papanya."
"Karena dia tahu, jika dia nekat membahayakan nyawanya sendiri, pengorbanan papanya hingga mengorbankan nyawanya sendiri demi melindungi Carol, akan sia-sia," ucap Troy.
Namun, saat ini pun Troy tak tahu harus bagaimana. Berada di sini saja gadis itu masih bisa menemui bahaya. Bagaimana jika sampai gadis itu pergi menemui papanya? Gadis itu bisa benar-benar kehilangan nyawa karenanya.
***