webnovel

Pulang Kampung

Pagi-pagi sekali Ahmad sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus lebih awal dari biasanya.

   Begitu juga dengan Buk Salehah, karena pada hari itu merupakan hari yang istimewa bagi mahasiswa angkatan 2000, mereka akan di wisuda dengan memakai pakaian kebesaran berwarna hitam lengkap dengan toga yang berada di kepala.

   "Sudah siap Buk?" Tanya Ahmad.

    "Sudah nak," jawab Buk Salehah

singkat.

     Ahmad dan Buk Salehah berangkat ke kampus mengenakan mobil

innova.

Tak berapa lama mereka sudah sampai di kampus dan memasuki ruangan yang disediakan untuk para wisudawan dan wisudawati.

   Di dalam ruangan itu sudah banyak mahasiswa yang hadir dan duduk menunggu acara pemindahan toga, sekaligus pengumuman mahasiswa terbaik.

   Kemudian rektor berdiri dan menyebutkan nama mahasiswa satu persatu dengan peringkatnya.

   "Selanjutnya, nomor mahasiswa 217 BP 2000 dengan predikat Cumloude atas nama Ahmad.

Suara dari speaker sangat nyaring dan jelas.

   Anak muda itu langsung mengambil posisi di depan disertai tepuk tangan yang gemuruh dari semua hadirin para peserta wisudawan dan wisudawati, Buk Salehah beranjak dari tempat duduknya untuk mendampingi anaknya berdiri di depan.

   Selesai acara pemindahan toga, Ahmad menyalami dan mencium tangan Ibu angkatnya diiringi air mata bahagia.

   " Terimakasih Buk,"kata anak muda itu dengan sangat tulus.

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepala sembari mengusap kepala Ahmad dengan penuh kasih sayang.

   Semakin hari perusahaan yang dipimpinnya semakin maju karena pengalaman almarhum Pak Nashir yang di turunkannya kepada Ahmad membuat dirinya semakin piawai dalam berbisnis.

   Sehingga pada suatu hari dia berkata kepada Ibu angkatnya,

"Buk, sudah lama rasanya saya tidak pulang kampung, entah bagaimana kabar Ayah dan Emak di sana!

Pekan depan rencana saya akan pulang kampung, gimana menurut Ibu?"tanya Ahmad pelan.

   "Nggak apa nak, Ibu juga akan ikut bersamamu ke kampung, sekalian Ibu ingin mengenal kedua orang tuamu.

   Tepat enam bulan setelah Ahmad jadi sarjana, genap satu tahun pula sesudah kepergian almarhum pengusaha itu, timbullah keinginan di hati anak muda itu untuk melepas rasa rindu kepada kedua orang tua yang sudah lama tidak mendengar hal ihwalnya.

   Selesai Sholat Isya mereka pun berangkat ke daerah Sidempuan yang jaraknya terpaut 10 jam dari Kota Medan, setelah siangnya mereka berziarah ke kuburan Almarhum Pak Nashir.

Serasa tidak sabar pengusaha muda itu untuk berjumpa dengan Ayah dan Emaknya.

   Sekitar pukul 07:30 WIB, mobil innova hitam itu berhenti di depan sebuah rumah yang tidak layak lagi untuk dihuni karena sudah hampir roboh.

   Turunlah seorang anak muda yang berpakaian rapi, memakai sepatu yang berkilat dengan kaca mata hitam yang bertengger di atas hidungnya, sehingga semakin kelihatan ketampanan memancar dari wajah pemuda itu.

   " Ya..., dialah Ahmad, yang pergi dahulu dari kampung memakai sendal jepit dan kain sarung dengan kopiah putih menutupi rambutnya, sekarang sudah memakai sepatu, mengenakan jas hitam lengkap dengan dasinya, bentuk sisir rambutnya yang belah dua menandakan dia sudah berpenampilan kota tidak lagi nampak bahwa dia adalah anak desa.

    Dari pintu sebelah kiri mobil turunlah seorang wanita paruh baya dengan memakai jilbab coklat yang tidak henti-hentinya memandangi rumah buruk berjenjang itu.

   "Ini rumahnya Mad?"Tanya Buk Salehah sambil menunjuk ke arah rumah di samping mereka.

   " Ia Buk, Ayah dan Emak saya tinggal di sini....

Para tetangga berdatangan dan penasaran tentang siapakah gerangan sesosok anak

muda tampan yang keluar dari mobil mewah itu.

   "Ahmad..., kata salah seorang dari mereka sambil menyalami anak muda itu.

   " Olo etek, "

jawabnya ramah.

   Pemuda itu memang tidak pernah dendam dengan orang-orang yang pernah menghina dan mengucilkan keluarganya, itu terlihat bagaimana dia menyambut uluran tangan disertai senyuman setiap kali orang bersalaman dengannya.

   Sangat hati-hati sekali dia menginjakkan kaki menaiki tangga demi tangga yang sudah melapuk.

   "Asslamu'alaikum," ucapnya dengan lembut, namun tidak ada jawaban kecuali suara batuk yang terus menerus kedengaran dari dalam rumah.

   Anak muda itu mendorong pintu rumah, rupanya tidak dikunci, alangkah perih hatinya melihat Ayahnya yang terbaring lemah di atas tempat tidur, rambutnya sudah memutih, matanya sudah cekung, di pipinya sudah banyak nampak kerutan yang menandakan begitu perihnya setiap hari-hari yang di jalannya.

   "Kaukah itu Ah... Mad anakku?" tanyanya dengan nada suara yang tidak beraturan naik turunnya.

   Dengan ucapan yang terbata-bata, anak muda itu tak sanggup untuk menjawab tanya Bapak tua itu karena lidahnya sudah terasa kaku untuk berucap, dia berlari dan langsung memeluk tubuh yang hanya tinggal kulit pembalut tulang, dia kecup kening orang tua itu, dia cium tangannya.

   "Ia... Ayah, ini Ahmad anakmu"

Ayah dan anak itu menumpahkan rasa rindunya dengan tangisan.

   Buk Salehah tidak sanggup menahan perasaan sedihnya melihat pertemuan antara anak dan Ayah yang sudah sekian tahun berpisah sehingga dia pun ikut meneteskan air mata.

   "Mana Emak... Ayah?" tanya Ahmad dengan suara yang hampir tidak terdengar karena sudah habis rasanya suaranya menangis.

   "Pergi mencuci pakaian orang nak, agar bisa membeli segenggam beras untuk makan," sambung Ayahnya.

   Semakin deras air mata menetes membasahi wajah tampannya.

   Tidak berapa lama kemudian datanglah seorang wanita tua bermata cekung dengan handuk yang dililitkan di kepala menandakan bahwa wanita tua itu baru pulang dari mencuci.

   "Ada apa gerangan, kenapa di rumah ramai sekali orang, apakah suamiku....

" Gumamnya dalam hati, pikiran Buk Fatimah sudah lain terhadap suaminya, agar tidak menduga-duga, wanita itupun masuk diantara kerumunan orang banyak.

   Alangkah terkejutnya dia melihat anak semata wayangnya yang sudah bertahun-tahun tidak pulang sedang menangis tersedu-sedu berada di samping suaminya.

   "Ahmad anakku....

Gemetar bibirnya mengucapkan kata itu.

   " Emak....

Jawab Ahmad sambil berlari kecil ke pelukan wanita yang sudah lama menantikan kedatangan anaknya.

   Dirangkulnya dengan erat tubuh puteranya seakan-akan dia takut lepas dari pelukannya, tidak henti-hentinya Buk Fatimah menciumi wajah puteranya membuat orang-orang yang menyaksikannya terharu dalam suasana dan ikut meneteskan air mata.

   Tidak ada kata-kata yang terucap melainkan tetesan air mata, kemudian pemuda itu memperhatikan wajah wanita tua yang berada dalam pelukannya dengan kasih sayang, wajah yang sudah sering disirami air mata karena hinaan dan cacian, dia perhatikan telapak tangan Emaknya sudah bengkak karena penderitaan dan seringnya memegang sabun deterjen yang bermacam merek ketika mencuci pakaian orang lain membuat tangisan anak muda itu semakin lepas.

   "Emak...Perkenalkan ini Buk Salehah, di rumah beliaulah selama ini aku tinggal dan beliaulah yang selama ini menguliahkanku," sambil menunjuk ke Ibu angkatnya itu.

   Kedua wanita paruh baya itu pun berpelukan,

"Terimakasih Buk sudah menjaga anak saya dan menguliahkannya," ucap Buk Fatimah dengan suara yang terkesan berbisik.

   "Ia Buk," jawab Buk Salehah sambil mengusap-usap lembut bahu Buk Fatimah.

   Malam harinya orang tua dan anak nya itu duduk bersama.

   "Kenapa Ayah tidak bisa lagi melihat Emak?"

Wanita itu memandang ke atas sebelum menjawab pertanyaan anaknya.

   "Sebulan setelah Emak antarkan kamu ke tepi jalan untuk merantau ke  Kota Medan, Ayahmu pergi ke pemakaman untuk membersihkan makam keluarga orang yang punya rumah ini nak.

   Sedangkan Emak harus mencuci di rumahnya dan membersihkan rumput di pekarangan halaman rumahnya menggunakan obeng sebagai ganti sewa rumah selama sebulan.

   Ketika Ayahmu sedang mengayunkan cangkulnya, mulut cangkul itu mengenai sebuah batu dan melompat ke matanya, mulai itulah Ayahmu tidak sanggup lagi melihat," sebut Buk Fatimah sambil menghapus butiran air mata dengan kainnya.

   Orang yang menyewakan rumahnya kepada keluarga Ahmad memang terkenal kejam, karena rumah pondok kecil itu tidak boleh sewanya dibayar dengan uang, akan tetapi dengan jasa.

   Selama tiga hari berturut-turut Ayahnya harus membersihkan pekarangan makam keluarganya, sedangkan Emaknya harus mencuci selama tiga hari di rumahnya.

   Yang sangat memperihatinkan sekali, membersihkan rumput pekarangannya tidak boleh dengan cangkul atau semacamnya agar cepat selesai akan tetapi di bersihkannya hanya dengan sebuah obeng supaya orang tua itu berlama-lama bekerja di bawah teriknya matahari, sungguh di luar kemanusiaan....

   Seminggu Ahmad berada di kampung, dia beli rumah mewah untuk Ayah dan Emaknya, dia bawa ayahnya berobat ke rumah sakit dibelinya sawah dan kebun karet untuk Emaknya agar tidak lagi bekerja sebagai buruh cuci di kampung.

               🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫

  

  

  

  

Chapitre suivant