webnovel

Cerita Shobir

Teet_teet_ teeet_,"bel berbunyi dari kantor, semua santriwan kembali ke pondoknya masing-masing, begitu juga dengan santriwati kembali ke asramanya mempersiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan Sholat Zhuhur berjamaah.

   Setelah melaksanakan Sholat Zuhur, semua santri mengganti pakaian sekolah mereka dengan pakaian sehari-hari karena tidak ada lagi jam pelajaran yang akan diikuti.

   Hari Kamis dan sabtu para santri hanya belajar sampai zhuhur saja, tapi kalau Hari Senin, Selasa dan Rabu semua santri pulang sampai waktu ashar karena harus mengikuti mata pelajaran umum, seperti Biologi, Fisika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan lain sebagainya.

   Selesai melaksanakan Sholat Ashar para santri melanjutkan pekerjaan rutin mereka, seperti memasak dan mandi, kemudian berangkat ke masjid melaksanakan Sholat Maghrib berjamaah.

   Selesai melaksanakan Sholat Maghrib berjamaah, para santri tidak langsung kembali ke pondok, mereka mengikuti pelajaran Akhlak yang disampaikan oleh Ustadz Syamsuddin.

   Dengan cara penyampaiannya yang asik, disertai dengan humor membuat daya tarik bagi semua santri untuk senantiasa mengikutinya bab demi bab.

   Ustadz Syamsuddin memang sosok yang hobi dan pandai berceramah karena itu dia sangat pandai menarik perhatian jamaahnya agar tidak mengantuk mendengarkan dan mengikuti materi-materi ceramah yang disampaikannya.

   Tak terasa waktu Sholat Isya pun tiba, salah seorang santri mengumandangkan azan, setelah melaksanakan Sholat Sunat Qobliyah Isya, semua santri mengatur shaf (barisan), dengan tertib.

   Kali ini Sholat Isya diimami Ahmad, dengan bacaan yang penuh penghayatan, sekali-kali terdengar suara isak tangis dari jamaah manakala bertemu dengan ayat-ayat yang bercerita tentang azab.

   Sholat Isya pun berakhir dengan penuh khidmat.

   Setelah berdzikir dan berdoa bersama, para santri kembali ke pondok mereka masing-masing untuk memurajaah (mengulang) pelajaran yang diterima siang tadi.

   Batas mengulang pelajaran wajibnya sampai jam 22:00 WIB, akan tetapi banyak juga diantara santri yang belajar sampai jam 24:00 malam.

   Para guru berkeliling ke lokasi pondok untuk memantau santri yang belajar.

Semua santri diharuskan membuka jendela mereka agar tau mana santri yang belajar maupun tidak.

   Suara santri bergemuruh dan saling bersahutan menghafalkan pelajaran-pelajarannya.

   Tak lama kemudian suara itu hening dan berganti dengan suara jangkrik, karena semua santri sudah terbaring dengan sejuta mimpi di atas tikar yang terbuat dari daun pandan yang di anyam.

   Ditengah malam yang sunyi, dingin dan mencekam, ditambah lagi dengan suara kodok yang bersahut-sahutan meminta hujan turun membasahi bumi.

   Seperti biasanya Shobir tidak pernah meninggalkan sholat tahajjud, sayup-sayup antara bangun dan tidur Ahmad mendengar suara tangisan kecil dari sesosok tubuh yang lagi menengadahkan tangannya ke atas dengan penuh ke khusu'an.

   Ahmad terbangun dari tidurnya dan duduk di samping temannya itu.

   Sesaat kemudian kedua pemuda itu memperbaiki posisi duduknya dan bersandar ke dinding pondok yang disinari sebuah lampu minyak.

   " Kenapa antum menangis ketika berdoa dan bermunajat ke hadhirat-Nya?,"apakah antum ada masalah?, "ataukah antum lagi sakit?,"tanya Ahmad, ingin tau.

   Dengan menghela nafas panjang, Shobir memulai ceritanya.

   " Saya adalah orang yang sangat tidak beruntung di atas dunia ini,"kenapa antum mengatakan demikian?,"jawab Ahmad,"sambil menyandarkan punggungnya ke bantal penuh penasaran.

   "Saya pernah mengenal seorang gadis pada suatu acara pasar malam, namanya Nur Laila, seorang wanita yang cantik, berkulit sawo matang, tinggi semampai, anak seorang Guru Agama di SMP 8...Kampung kita,"jelas Shobir.

   Komunikasi diantara kami pun lancar, karena sudah merasa nyambung, kami pun mengganti status dari pertemanan menjadi hubungan sosial, ketika itu saya masih kelas dua di sini.

   Pada suatu malam, saya menerima sebuah surat yang diantar tukang Pos, saya buka surat yang beramplopkan " Air Mail,"saya buka dengan penuh hati-hati, takut kalau nantinya sobek.

   Di dalamnya ada sebuah pantun pendek.

"Sungguh enak buah jambu.

"Apalagi buah ketimun.

"Semua orang bermalam minggu.

"Cuma saya yang melamun.

   Di bawah pantun itu ada sebaris tulisan yang menantang adrenalin saya.

"Bang, kalau liburan datanglah ke rumah, biar saya kenalkan dengan Papa.

   "Saya bingung, rasanya belum belum siap untuk bertemu dengan papanya yang terkesan galak itu," ucap Shobir melanjutkan ceritanya.

   Namun, saya juga tidak mau membuat dia kecewa dan terluka untuk tidak memenuhi permintaannya.

   Tibalah saatnya liburan bulan puasa, saya pun pulang ke kampung kita, beberapa hari kemudian saya pergi ke rumahnya untuk bertemu dengan Papanya, sebagai bukti bahwa saya serius kepada putrinya.

   Dengan berjalan kaki, saya menempuh perjalanan 3 KM, butuh waktu 45 Menit bagiku untuk sampai ke rumahnya.

   Setibanya saya di rumah itu, rupanya Laila sudah berdiri di depan pagar rumahnya menanti kedatangan saya, seakan-akan bertanya kepada setiap orang yang lalu di hadapannya, tentang apakah kekasih hati akan datang malam ini menemuinya, apalagi sekarang kan sudah liburan sekolah.

   Dari jauh, ia memberikan senyum terindahnya karena melihat saya datang untuk menghampirinya. Dengan tekanan nafas yang tak beraturan, disertai banyaknya keringat yang bercucuran di badan saya mendekatinya.

   Sebuah senyuman kembali di lemparkan nya kepada saya yang menunjukkan betapa bahagianya dia melihat kedatangan saya.

   Seperti halnya gundur yang merindukan bulan, rona kecantikannya semakin memancar mengalahkan sinar rembulan malam itu.

   "Silahkan masuk bang,"sapanya lembut sambil membuka pagar yang melintang di depan rumahnya.

Tanpa bosan-bosannya dia terus memandangi saya, sehingga saya salah tingkah dibuatnya.

   Untuk menghilangkan rasa grogi, acap kali saya memperbaiki kopiah.

" Assalamu'alaikum," saya mengucap salam.

   "Wa'alaikumsalam," terdengar balasan dari dalam rumah menjawab salam saya.

   Tak lama kemudian keluarlah seorang Bapak berkumis tebal, berperawakan gemuk, kira-kira usianya sudah berkepala 5, dia memandangi saya mulai dari kepala sampai ujung kaki.

   "Kamu siapa," tanyanya.

"Saya teman Laila, anak Bapak,"

jawabku sambil mengulurkan tangan untuk menyalaminya.

Alangkah terkejutnya saya ketika dia meneruskan tangan saya yang datang kepadanya.

   "Ada hubungan apa kamu dengan anak saya?," ucap Bapak itu melanjutkan pertanyaannya.

Saya menoleh ke belakang seolah-olah minta persetujuan gadis cantik itu untuk menjawabnya, gadis itu pun menganggukkan kepala seakan-akan dia setuju dengan apapun jawaban yang akan saya berikan.

   "Saya sudah lama berteman dengan anak Bapak, saya sudah merasa nyaman dengannya dan dia juga sudah merasa nyaman dengan saya Pak," Sambil menundukkan kepala saya memberanikan diri untuk mengutarakannya.

   "Apa marga (suku) mu?,"

katanya, sambil menampakkan raut wajah atas ketidaksukaan nya kepada saya.

"Lubis Pak,"jawab saya.

" Laila..., masuk!, dengan suara yang sedikit menghardik dia menyuruh anak gadisnya untuk masuk ke dalam rumah.

   "Tidak Papa,"sahut Laila.

" Masuk Laila,"paksanya dengan menarik tangan anaknya agar masuk meninggalkan saya sendirian.

   Kemudian matanya berpindah kepada saya,"tunggu apa lagi kamu,"keluar dari rumah saya.

Ucapnya sambil mendorong dada saya agar keluar dari pekarangan rumahnya.

   Perasaan letih berjalan ke rumahnya belum hilang, tanpa memberikan segelas air pun untuk menghilangkan dahaga, Bapak itu mengusir saya dari rumahnya, sepertinya dia tidak sudi memberikan kesempatan kepada saya untuk mendapatkan ridhonya.

   "Saya tetap berdiri di depan pagar rumahnya, sambil menatap dan berharap Laila akan datang menemui saya, dalam masa 20,15,10 bahkan 5 menit pun itu sudah sangat berharga sekali bagi saya.

   Pikiran saya benar, tak berapa saat kemudian keluarlah Laila dan berjalan ke arah saya dengan kepala yang di tundukkan serta mata yang berkaca-kaca dia tetap tersenyum memberikan sebuah amplop kepada saya.

   "Jaga dirimu baik-baik ya bang,"hati-hati di jalan.

Gadis itu langsung pergi meninggalkan saya dan masuk kembali ke rumahnya.

Perasaan sedih dan terluka menghampiri saya.

   Langit terasa runtuh, tidak ada rasanya tempat untuk berpijak di bumi ini lagi, saya pun pulang ke rumah.

   Sesampainya di rumah, setelah selesai Sholat Isya, saya membuka amplop yang diberikan Laila kepada saya, rupanya sebuah photo dan selembar surat.

             Segenggam Harapan

Bahagia rasanya melihat kedatangan mu, ibarat seorang Musafir di padang pasir yang tandus, sedang kehausan mencari setetes air untuk dapat melepaskan dahaganya.

   Karena sudah lama ia menyusuri jalan berdebu dan bebatuan, mendaki dan turun bukit, tatkala dia mendengar bunyi desir air musafir itu pun berlari ke arahnya, akan tetapi yang ditemukannya adalah fatamorgana.

   Kemudian musafir itu memutar arah, melihat ke kanan dan ke kiri, mana tau ada orang yang lalu untuk bisa mendapatkan seteguk air hanya untuk bertahan hidup.

   Namun segenggam harapan itu sirna tatkala dia melihat tidak ada orang di sana, hanya debu yang berterbangan dihembuskan kuatnya angin.

   Begitulah keadaan saya menanti kedatanganmu, selama dua tahun saya menunggu.

   Setiap kali senja kuning menampakkan ronanya, saya sudah berada di depan rumah dengan berdiri di depan pagar, pas ditempat kamu berdiri sekarang di sana.

   Setiap kali ada orang lalu, saya berharap itu adalah kamu yang bersiap melangkahkan kaki menuju rumah menanya kabar saya agak satu, dua menit pun cukuplah rasanya kalau tidak bisa berlama-lama untuk mengobati perasaan rindu yang semakin menggelora.

   Kekasihku....

Saya minta maaf atas apa yang dilakukan Papa saya tadi terhadapmu, mungkin kamu sakit hati ataupun gusar.

   Kekasihku....

Wajahmu masih kelihatan tampan seperti dulu, senyummu masih kelihatan manis, tatapan matamu masih memancarkan kasih sayang, yang membuat saya tetap gigih berjuang untuk sembuh dari penyakit kanker yang sudah lama menggerogoti tubuh saya.

   Saya berharap kelak bisa bersandar di bahu mu sebagai orang yang pernah saya cintai sekali seumur hidupku kalaupun itu tidak bisa di dunia mungkin di alam yang lain setelah dunia ini.

   Kasihku....

Dalam amplop itu, saya sertakan sebuah photo tercantikku sebagai pengobat rindumu dan sebagai teman ketika kamu sedang sendirian dan kesedihan bawalah ia kemana engkau pergi.

   Semakin gelap saja rasanya dunia ini bagiku, semakin lemas saja rasanya seluruh persendianku, semakin sering almarhumah mama melambaikan tangannya kepadaku untuk datang ke pelukannya.

   Kasih....

Saya tidak tau kenapa tangan saya ini dengan lancarnya menulis kata demi kata dan banyak bercerita tentang alam lain dari dunia ini, penaku dengan lancarnya menari-nari mengikuti irama tanganku.

Mungkinkah masa ku telah dekat ya Allah....

   Kekasihku....

Seandainya itu terjadi, kamu jangan sedih, karena saya tak mau melihat senyumanmu hilang, tatapan matamu pudar, saya hanya satu hal, agar ketika kamu pulang, taburilah di atas makamku bunga sedap malam dan seringlah ke rumah melihat Papa saya yang tinggal sendirian, kirimkan

lah kepada saya sepotong atau dua potong doa dari lisanmu yang penuh cinta.

     Dari bunga mu, Nur Laila.

Tak berapa hari sesudah kepulangan saya ke pesantren, berderinglah telephon di kantor dari orang tua saya yang mengabarkan bahwa Laila sudah dipanggil Sang Pemberi Kehidupan.

   Ayah Guru memanggil saya ke kantor untuk memberitakan kabar duka itu, terasa hancur perasaan saya ketika itu, rasanya bumi berguncang, saya pingsan tak sadarkan diri.

Kemudian Shobir mengambil sebuah kitab, di sampulnya ada photo seorang gadis yang tersenyum, bertuliskan, "Pengharapan yang Suci".

   Tak tahan mendengar curhatan Shobir, Ahmad ikut meneteskan air mata.

Kedua pemuda itu larut dalam kesedihan.

   Tiba-tiba terdengarlah suara azan dari masjid, yang mengakhiri ceritanya itu, keduanya lalu bergegas untuk berangkat ke masjid melaksanakan Sholat Subuh berjamaah.

*****

Sudah lama rasanya tidak melihat Latifah, tidak tau kabarnya sejak mengutarakan isi hati dua minggu yang lalu,"gumam Ahmad dalam hati.

Apakah dia sehat-sehat saja?, ataukah dia lagi sakit?, atau dia lagi marah kepada saya,"bermacam pertanyaan mengisi pikiran anak muda itu.

Lalu ia mengarahkan pandangannya keluar jendela pondoknya, tanpa sengaja ia melihat sepasang burung balam lagi bercengkrama di atas ranting sebuah pohon,"entah apa yang mereka ceritakan.?

Tak lama setelah itu burung betina mengibaskan sayapnya lalu terbang meninggalkan Sang jantan sendirian, beberapa saat kemudian, burung jantan pun mengejar dan menyusul kemana betinanya pergi.

Dari burung itu timbul inisiatif laki-laki itu untuk menjumpai wanita yang menjadi pautan hatinya, agar tau vonis apakah yang diterimanya.

Pemuda itu lalu beranjak dari pondoknya, dengan langkah kaki yang setengah berlari, dia sudah berada di dinding kelas tempat Latifah biasa mengulang pelajaran ketika libur sekolah.

Pemuda itu mengambil sebuah batu dan mengetukkan nya ke dinding seperti yang biasa dilakukannya.

Kalau ada balasan ketukan dari dalam, berarti ada orang di dalamnya.

Sudah 10 menit Ahmad berdiri menjadikan dinding sebagai sandaran tubuhnya, namun belum ada juga balasan.

Kemudian anak muda itu mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Latifah, dengan perasaan putus asa dia memutar balikkan tubuhnya, dan mulai melangkahkan kakinya.

"Ahmad...."

Dia mendengar suara yang begitu lembut memanggil namanya.

Mendengar panggilan itu, Ahmad mendekat dan menempelkan pipinya ke dinding yang terbuat dari batu bata itu.

"Kau kah itu Latifah,?" tanya anak muda itu sambil menyentuh sebuah bunga yang berada di dekatnya.

"Ia..., Ahmad," ini saya.

Kemana saudara selama ini,?"sudah lama saya menantikan surat-surat dari saudara, surat yang sangat indah isinya dan merasuk ke lubuk hati yang terdalam bagi setiap orang yang membacanya.

"Saya takut Latifah, bila mana kamu marah kepada saya ketika mengutarakan isi hati terhadapmu tempo hari,"jawab Ahmad.

Kedua muda-mudi itu pun terdiam, hanya terdengar kicauan burung yang lagi melompat dan berpindah tempat dari dahan yang satu ke dahan yang lain.

Ditambah dengan suara gesekan pohon karet yang ditembus angin sehingga menambah syahdu suasana pertemuan di antara ke dua anak Adam yang lagi dilanda rindu itu.

"Ahmad...," saya tidak menyalahkan mu, dan surat-surat mu, saya hanya seorang wanita yang diciptakan Allah dengan perasaan yang lembut, dan saya adalah makhluk yang dhoif, lemah, dan tidak berdaya.

Seorang wanita yang harus menjaga murah dan harga diri keluarganya, saya takut kalau nanti menjadi wanita yang harus menunggu kedatangan kekasihnya di halaman rumahnya dengan menangis, mengumpat, dan kerap kali menyalahkan dirinya sebab harga dirinya sudah direnggut orang yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan cinta.

Saya khawatir bunga yang mulai mekar harus layu dan tidak jadi berkembang dengan indahnya.

"Saudari...., cintaku berdasar Allah SWT, bukan cinta yang tumbuh dari nafsu angkara murka, yang tidak mempertimbangkan baik dan buruknya.

Saya mencintaimu bukan untuk sehari, sebulan, setahun atau seumur hidupku, akan tetapi cintaku sampai dunia dan akhirat.

Saya ingin mendapatkan anak keturunan yang sholeh dan sholehah dari wanita sholehah sepertimu Latifah...," Pinta Ahmad dengan suara sedikit agak tertekan.

Apakah cinta itu suatu dosa,?"apakah saya tidak boleh bahagia dengan mencintaimu,?setelah sekian lama tidak pernah merasakan kebahagiaan,?

Apakah kamu tidak sudi untuk mengobati sayap ku yang patah karena menghempas karang kehidupan, ketika lajang seperti saya ini hendak terbang tinggi dengan ke dua sayap menggapai cita-cita saya Latifah,?

Latifah...,"sebegitu beratnya cobaan hidup yang saya alami, untuk makan sehari-hari pun saya susah, terlahir ke dunia ini dari ke dua orang tua yang miskin, bahkan di pergaulan dengan teman-teman sebaya pun ketika di kampung saya dikucilkan dan di katai orang sebagai anak seorang pembantu.

Saya tidak pernah meminta kepada orang agar dikasihani maupun dimuliakan, tetapi saya mohon kepadamu agar sudi kiranya engkau memberikan setetes air ke tanaman yang sedang gersang, agar ia bisa hidup lagi, ketulusan cinta Ifah, ketulusan cinta...,"kata Ahmad sambil berurai air mata.

Setiap kata yang diucapkan Ahmad rupanya merasuk ke relung hati yang sangat dalam, sehingga Latifah tidak kuasa menyembunyikan isak tangisnya.

"Ahmad....

Sejujurnya saya tidak dapat membohongi perasaan saya, bahwa saya juga cinta kepadamu," kata Latifah dengan suara yang terbata-bata.

"Benarkah ungkapan mu itu wahai Latifah,? Kamu mau menerima saya sebagai kekasihmu,? Kamu tidak bohong kan Latifah,?

Sambil tersenyum Ahmad semakin mendekatkan telinganya ke dinding, seakan-akan seorang atlit yang mendapatkan sebuah medali emas, ia ingin sering-sering mendengarkan namanya disebut dan dipanggil untuk naik ke atas pentas.

" Ia..., saya mencintai mu Ahmad,"ulang Latifah dengan suara yang begitu lembut.

Air mata kesedihan di antara ke dua anak muda itu pun berubah menjadi air mata kebahagiaan.

            🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫

               🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫

Chapitre suivant