webnovel

Masalah yang mulai berdatangan

Semilar angin hujan menerpa wajah Kirana. Manik hitamnya menatap hujan yang semakin deras. Kain tebal menyelimuti tubuh mungilnya, menghalang hawa dingin untuk tidak menyentuh kulitnya. Dalam kegelapan tanpa sinar lampu, dirinya menangis bersama hujan. Terkadang ia mengeluh sakit diarea kakinya yang terdapat luka memar.

Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan Kirana membuat Pak Arul menjadi cemas dengan keadaan Kirana. Tangan keriput nya tak lelah mengetuk pintu kamar kirana berulang kali, berharap kirana membukakan pintu kamarnya.

Sudah hampir sejam pak Arul mengetuk pintu kirana. Namun, pintu tak kunjung dibuka. Apalagi Pak Arul tak sengaja melihat beberapa luka lebam saat Kirana melintas di hadapan nya. Jari-jari kurusnya mengetuk di atas layar ponselnya. Memberi kabar pada seseorang agar lekas datang kerumah.

" Kirana, Ayo makan bareng kakek " kata Pak Arul masih setia mengetuk pintu kamar Kirana.

Menyerah, Pak Arul memutuskan untuk menunggu kedatangan Abbiyya yang baru saja ia kabarkan tentang keadaan Kirana saat Ini. Berharap dengan kehadiran Abbiyya, Kirana mau membukakan pintu kamar.

Tiit

Tiiitt

Suara klakson mobil mengejutkan Pak Arul yang tengah melamun di atas sofa ruang tamu. Lekas-lekas ia melangkahkan kakinya dengan mantap menuju pintu rumah, membukanya lebar-lebar dan mempersilahkan Abbiyya yang ternyata bersama dengan pria berbaju loreng masuk ke dalam rumah.

Abbiyya tak mengucapkan salam seperti biasanya, ia terlalu khawatir dengan keadaan anaknya saat ini.

Tangan nya mengetuk-ngetuk pintu kamar Kirana, sesekali ia berteriak memanggil Kirana yang masih didalam kamar.

" Kenapa Kirana bisa seperti ini,kek? " tanya Abbiyya.

" Kakek juga tidak tahu. Saat pulang sekolah kirana langsung masuk kedalam kamar, bahkan dia tidak memberi salam kepada kakek "

" Biarkan saya yang membukakan pintu kamar Kirana " kata Nathan.

Abbiyya dan Pak Arul menyetujui perkataan Nathan. Lagi pula mereka berdua tak bisa mendobrak pintu, hanya Nathan lah yang saat ini bisa mendobrak pintu kamar menggunakan tubuh nya yang penuh dengan otot-ototnya. Abbiyya sedikit iri dengan bentuk tubuh Nathan yang terbentuk sempurna, berbeda dengan dirinya.

Satu dobrakkan, pintu masih tertutup rapat. Dua dobrakkan, pintu mulai melonggar, dan dobrakkan ketiga pintu terbuka lebar. Mereka lekas-lekas masuk kedalam untuk melihat keadaan Kirana saat ini. Gelap, hal pertama yang mereka lihat saat memasuki kamar Kirana. Tangan Abbiyya meraba dinding kamar Kirana sekedar mencari Saklar lampu.

Menemukan keberadaan Saklar Lampu, jarinya pun menekannya hingga cahaya terang kini menerangi kamar Kirana.

Gundukkan selimut di tengah kasur menjadi pusat perhatian mereka bertiga. Pak Arul lekas-lekas menyibakkan selimut Kirana dan menemukan Kirana yang tengah menangis tanpa suara. Abbiyya khawatir dengan keadaan anaknya. Apalagi ia menemukan beberapa luka lebam di tubuh Kirana. Apa Kirana mendapatkan bullyan seperti kata Nathan?.

" Kirana, kenapa kamu tidak menceritakan masalah mu disekolah sama papa? " tanya Abbiyya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca ingin menangis.

Nathan yang berada tepat di belakang Abbiyya, menepuk-nepuk bahu Abbiyya yang begetar menahan tangisan. Berharap jika tepukkan nya bisa menguatkan sahabatnya saat ini.

Kirana memeluk tubuh Abbiyya, menangis dengan kencangnya dalam pelukkan Abbiyya.

Kirana ingin menceritakan semuanya kepada sang papa tercinta. Namun, ia takut. Sangat ketakutan hingga tak mampu menceritakan masalahnya kepada Abbiyya.

" Maafkan Kirana, Papa " gumam Kirana.

Pak Arul tak bisa berbuat apa-apa. Dirinya mempercayai Abbiyya saat ini, dirinya yakin pasti Abbiyya bisa menenangkan Kirana. Karena Kirana saat ini membutuhkan Abbiyya.

Nathan dan Pak Arul memutuskan untuk keluar, meninggalkan Abbiyya berduaan dengan Kirana.

" Terima kasih, nak Nathan. Sudah mau memberitahu masalah Kirana kepada kami " kata Pak Arul.

Nathan menganggukan kepalanya,

" Saya kebetulan melihat kelakuan teman-teman kirana yang sudah keterlaluan. Bapak tenang saja, saya sudah melaporkan kejadian tersebut kepada ibu saya yang kebetulan juga seorang guru di sekolah Kirana . Ibu saya pasti akan menindak lanjutkan masalah ini " kata Nathan.

***

Dewa eka Prayoga kini tengah menatap Satria Prayoga yang tengah rebahan diatas sofa depan tv yang menayangkan kartun kuning kotak dengan bintang laut berwarna pink. Sekaleng biskuit kini di nikmati oleh Satria, kipas angin begitu kencang meniupkan anginnya serta secangkir teh dingin berada di atas meja mini dekat sofa.

Kedutan kecil muncul di jidat Dewa saat ini. Kesal dengan tingkah kakak nya sendiri yang datang lalu memberi perintah kepada ART untuk menyiapkan semua ini.

Ingatkan Dewa saat ini jika sebenarnya rumah ini miliknya secara sah. Hasil jerih payahnya membangun cafe hingga bisa membangun rumah sendiri.

" Kenapa kau tidak pergi keasrama mu saja, sialan?" kata Dewa yang kini melempar selimut kewajah tampan Satria.

Satria menyingkirkan selimut yang memiliki aroma mawar tersebut kesembarang tempat. Mata bak elang itu menatap sengit kearah sang adik.

Aliran listrik entah mengapa menjadi latar belakang mereka saat ini.

" Bisakah Kak Dewa dan Kak Satria tidak bertengkar? Aku ingin belajar " kata gadis remaja tomboy yang baru saja keluar dari sarang—kamar—nyamannya.

" Tidak Bisa "

Bah, kompak sekali kedua kakaknya tersebut. Membuat Hafi Prayoga merasa jengah melihat kedua kakaknya. Ngusir mereka berdua dosa gak ya?. Tapi seketika pertanyaan konyolnya sirna saat ingat jika ia tengah berada di rumah kak dewa. Bukan rumah ibu dan bapak mereka.

Kalau bukan karena kedua orangtua nya menyuruh dirinya untuk menemani sang kakak sudah pasti ia akan menolak. Mana bisa ia hidup tenang bersama dengan ka Dewa ditambah kehadiran kak Satria saat ini.

" Oii, Gadis jadi-jadian. Ku dengar Kirana dibully di sekolah nya? " perkataan Satria tentu mengejutkan Hafi sedangkan Dewa justru memasang ekpresi kebingungan.

Dewa mana tau masalah sekolah adik perempuan nya itu. Hanya kak Satria yang selalu memantau Hafi, sedangkan dirinya—Dewa—hanya bertugas memberi uang jajan serta memberi makan kepada Hafi.

" Yang benar? " tanya Hafi, ia mendudukkan dirinya di samping Satria sambil memakan biskuit yang tersedia di atas meja mini dekat sofa.

Satria menganggukan kepalanya,

" Lah aku malah diberi tahu sama Nathan barusan di rumah sakit, Saat menjenguk Intan. Aku baru tau loh kalau Kirana itu satu sekolah sama kamu dan juga ternyata Abbiyya itu papa nya Kirana " kata Satria.

" Kak Abbiyya sudah nikah? " tanya Dewa yang juga tengah duduk di atas sofa.

" Belum lah kak, Kirana cuma anak angkat " jawab Hafi.

"Eh, kamu tau banyak rupanya tentang Kirana " kata Satria.

" Ha~ banyak yang tidak menyukai Kirana. Bahkan teman-teman ku pun tak suka sama kirana. Entah kenapa, aku pun juga tak tahu lah. Padahal Kirana masih SMP, sedangkan aku dan teman-teman ku sudah SMA. Satu gedung tentu sangat mudah mencari info mengenai kirana. " jawab Hafi.

Satria menganggukan kepalanya. "Jadi sekolah mu itu satu gedung dengan anak SMP dan anak SD?  kok kakak baru tau sih? " heran Dewa.

" Kak Satria, kenapa gak ceritain semua nya sih pada ku? " lanjut Dewa sambil memasang ekpresi ngambek.

Satria menyentil jidat Dewa, walau hanya sentilan biasa namun bagi Dewa sentilan kakaknya itu bagaikan tinjuan Saitama. Benar-benar menyakitkan hingga masih terasa nyut-nyutan nya.

" Tugas mu cuma kasih adik kesayangan ku ini uang jajan " kata Satria sambil merangkul Hafi yang cuek, Hafi lebih tertarik menonton Tv di hadapan nya yang memperlihatkan si konyol kotak kuning dengan bintang merah muda itu.

Dewa melipat kedua tangannya, menatap sengit kearah Satria. " Enak aja, Hafi itu adik kesayangan ku. Lagi pula aku yang merawat Hafi bukan kau " tunjuk Dewa dengan kobaran api membara di sekitarnya.

" Mana bisa gitu, aku yang ngurus semua keperluan sekolah Hafi " kata Satria yang juga tak mau kalah.

Hafi hanya bisa menghela nafas lelah melihat tingkah kedua kakaknya yang bagaikan tokoh kartun yang sering ia tonton, Tom & Jerry. Hafi tak mau lagi menghentikan pertengkaran kedua kakaknya,  biarlah mereka berdamai dengan sendirinya.

***

Sebuah rangkulan kuat mengejut Hafi Prayoga dari lamunannya. Ia menoleh menatap sang pelaku yang ternyata teman sebangku di sekolah. Gadis berambut pirang dengan wajah yang begitu imut, namanya penne Lianti atau biasa ia panggil pen-pen. Penne suka sekali menggonta-ganti warna rambutnya, katanya kegiatan itu sangat menyenangkan.

Tapi, bagi Hafi itu justru menghamburkan uang. Hafi lebih suka menghamburkan uangnya untuk kesenangan perut dari pada dihamburkan untuk fashion.

Jari telunjuk Penne menyentuh bibir Hafi pelan, " kamu kenapa sih? " tanya Penne dengan ekpresi wajah penasaran.  Tak biasanya Hafi memiliki sikap pendiam, Hafi selalu jahil kesemua orang. Bahkan hampir seluruh gedung sekolah menjadi korban kejahilannya, yah... Hampir karena ada beberapa yang tidak mendapatkan jahilan nya.

" Ku dengar Kirana gak masuk sekolah loh, aku tadi gak sengaja mendengar perkataan teman sekelasnya. Yah.. Walaupun SMA ada di lantai atas gedung, tapi kan SMP ada di lantai 3,otomatis kita bisa mendengar info mengenai anak-anak SMP juga bukan? " kata Penne.

Lift terbuka lebar, mereka berdua pun masuk kedalam menuju kelas mereka. Memencet nomor tujuan mereka sebelum pintu lift tertutup rapat.

Hafi bersandar di dinding Lift, matanya menatap layar diatasnya yang memperlihatkan sebuah nomor.

" Ngomong-ngomong, kenapa Kirana jadi bahan bullyan? " gumam Hafi pelan. Namun sayangnya Penne memiliki indra pendengar yang tajam.

" Ha? Masa kamu gak tahu. Dia itu anak pungutan, lagian rumornya Kirana itu sebenarnya anak teroris " kata Penne.

" yak. Bagaimana bisa kamu mempercayai rumor seperti itu? " Tanya Hafi.

Pukulan maut mendarat di atas kepalanya, membuat Penne meringis kesakitan dibuatnya. " Kenapa kau memukulku, dasar gadis bar-bar! " teriak Penne.

" Pen-pen sayang~  jangan terlalu percaya sama rumor itu "

" Ha?  Kenapa kamu jadi peduli ama Kirana sih? "

" Ha~ coba kamu bayangkan, bagaimana jika kamu ada di posisi Kirana? Di fitnah seperti itu tentu sangat tidak menyenangkan. " kata Hafi.

Seketika Penne terdiam. Benar perkataan Hafi, kalau dirinya berada dalam situasi Kirana pasti dirinya akan merasa tertekan, marah dan sedih. Penne jadi sadar, perkataan nya dapat menyakiti orang yang ia bicarakan.

Pintu lift terbuka lebar, mereka berdua pun keluar dari dalam lift menuju kelas mereka. Sepanjang perjalanan, Penne hanya tertunduk tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hafi tak ingin ikut campur, biarlah penne merenungi kesalahannya. Lagi pula,Penne sangat aktif dalam hal membully Kirana.

Pelajaran Bu Herli berlangsung, namun Penne yang biasa aktif dalam mata pelajaran PKN justru hanya diam. Membuat teman-teman sekelasnya merasa khawatir dengan keadaan Penne.

Setelah bel berbunyi yang menandakan waktu istirahat, mereka langsung mengerumuni Penne. Bertanya-tanya, ada apakah dengan Penne? .

" Aku pergi dulu, pen-pen.... " kata Hafi tanpa menoleh menatap Penne yang kini menatap Hafi. Ia bersiul menuju pintu keluar masuk kelas menuju kantin.

" Kalian bertengkar? " tanya Aan penasaran. Habisnya tak biasanya Penne memisahkan diri dengan Hafi. Biasanya mereka akan selalu bersama kemana pun. Bahkan ke toilet.

" Apa kau dipukuli sama preman bar-bar itu? Dasar Hafi itu... " Geram Wati.

Penne menggeleng kepalanya cepat, berharap jika wati tidak salah paham akan masalah mereka berdua. Lagi pula penne ingin merenungkan kesalahannya saja. Hanya itu, tidak lebih.

***

Sudah seminggu Kirana tidak masuk sekolah. Membuat teman-teman sekelas kirana mulai khawatir. Apakah mereka memukul kirana terlalu keras hingga kirana jatuh sakit? Atau kirana mulai takut dengan mereka?. Kalau sampai mereka semua di adu maka sudah pasti penjara akan senang hati menerima mereka.

" TIDAK!! AKU ANAK BAIK!! " teriak Maria saat ini. Ia memukul meja nya dengan sangat kesal. Kesal akan perbuatannya terhadap Kirana. Seharusnya ia tau jika Kirana tidak suka dibully. Andai otaknya lekas-lekas waras.

Dinda Nesia menatap teman sebangkunya dengan tatapan heran. Dinda bisa di bilang satu-satunya orang yang tidak membully Kirana, kata mama tercinta membully itu perbuatan yang sangat buruk. Jadi, sebagai anak yang berbakti Dinda mengikuti semua perkataan mama nya.

Nampaknya, mengikuti perkataan sang mama membuahkan hasil. Buktinya, ia tak terpuruk sama sekali. Berbeda dengan teman-teman nya yang hari ini mengeluarkan aura yang begitu suram.

" Ano~, Kalian gak ngerjakan tugas bu Dewi, ya? Sebentar lagi waktu istirahat loh~" kata Dinda dengan senyuman kucingnya.

Semua mata tertuju padanya, memelototi Dinda seakan-akan Dinda adalah kucing pengganggu.

Sedangkan Dinda hanya cuek bebek, sambil memakan roti bakar yang ia bawa dari rumah.

" Uh, bukannya cari solusi.. Lu malah enak-enakan " Omel Prilly dengan bibir yang ia majukan macam bebek betina kebelet kawin.

" Iya, nih. Dinda gak best friend banget sih " Kata Ren, sang ketua kelas sambil sesekali memperbaiki letak kacamatanya.

Srekkk!

Pintu kelas mereka tiba-tiba digeser dengan kuat. Rupanya Kirana terlambat masuk sekolah. Semua penghuni kelas tiba-tiba saja menjadi tegang, kecuali Dinda yang santuy,  bahkan dengan seenaknya Dinda mengusir Maria, menyuruh Kirana untuk duduk dengannya.

" Dinda, kamprett "

Sedangkan Dinda hanya menjulurkan lidahnya kearah Maria, lagi pula buat apa dirinya takut dengan manusia kelinci?. " Bagaimana dengan lukamu Kirana? Apa pengobatan nya manjur? " tanya Dinda.

Kirana memberi dua jempol tangan kepada Dinda membuat Dinda tersenyum senang.

" Terima kasih, Dinda. Kau datang kerumahku hanya untuk memberikan ramuan turun-temurun nenek mu. Kata papa, ramuan buatan nenek mu benar-benar mantap " jawab Kirana.

" Bagus, nanti kusuruh nenek ku jualan tuh ramuan ~ "

" Eh, nanti nenek mu kumat loh encoknya " kata Kirana dengan nada khawatir.

Dinda berdiri di atas meja, jaket yang ia kenakan kini ia ikat ke pinggang rampingnya. Entah mengapa, mereka semua bisa melihat Dinda yang berdiri di sebuah batu dengan ombak yang menerpa kearah Dinda. jangan lupa, suara desiran ombak yang entah datang dari mana.

" Nenek ku, kuat. Tahan banting, tak muda encok dan juga AWET MUDA! " teriak Dinda dengan lantangnya.

' sedeng nih anak ' batin mereka serempak.

Tiba-tiba saja, mereka semua mengerumuni Kirana membuat Kirana dibuat terheran-heran. Ren, sang ketua kelas menyerahkan sebuah buku bersampul coklat kepada Kirana. Kirana menerimanya, rupanya itu buku kesayangannya yang sempat hilang.

" Maaf kirana, aku gak sengaja ngebaca isi buku mu itu. Kamu benar-benar anak yang hebat, ya. Mempunyai cita-cita menjadi seorang tentara dan juga membahagiakan papa mu " kata Ren dengan kepala tertunduk.

" Kirana, kami semua minta maaf. Kami baru sadar jika kau pasti sangat tertekan mendapatkan bullyan dari kami " gumam Maria sambil memainkan Kuku-kuku nya.

" KIRANA!!!  KAMI MINTA MAAF!! " teriak mereka serempak, membuat Kirana terkejut dibuatnya.

Air mata menetes dengan pelan, mata kirana memerah karena terharu melihat teman-temannya yang meminta maaf. Kirana pikir jika ia akan selalu dibully hingga kelulusan. Namun, nyatanya mereka sudah sadar. Sepertinya doanya telah terkabul.

Senyuman menawan terlukis di wajah Kirana, " Uhm...  Aku memaafkan Kalian semua " jawab Kirana. Sangat cantik, apalagi dengan latar cahaya matahati yang masuk disela-sela jendela kelas. Membuat mereka semua semakin terpana.

" KIRANA-CHAN!!! " teriakkan kebahagiaan dari Dinda membuat mereka semua tertawa. Nampaknya, sifat asli Dinda kumat lagi.

Hafi Prayoga, melihat semua kejadian barusan dengan kedua matanya sendiri. Bersandar didekat jendela kelas sambil mendengar kan canda tawa teman-teman Kirana.  Ia sudah berhasil untuk menyadarkan teman-teman Kirana.

" Hafi "

"Eh, pen-pen sayang~ ngapain kamu di sini?—"

" — loh, yang lain juga ada disini " kata Hafi.

Penne dan teman sekelas nya tersenyum kearah Hafi, mereka langsung memeluk tubuh Hafi tanpa aba-aba membuat Hafi sedikit kehilangan keseimbangan.

" Hafi, kami mau minta maaf pada Kirana " Kata Wati, di ikuti anggukan yang lainnya.

Hafi tersenyum senang, sepertinya air yang dibacakan oleh dirinya saat malam jumat kemarin manjur. Mengingat betapa tidak elitnya saat dirinya berperan macam dukun membuat Hafi sedikit geli sendiri.

Bahkan pukulan dikeningnya masih terasa hingga sekarang. Yah, Ka Satria mengomelinya sepanjang hari karena tingkahnya layaknya dukun gadungan. Mau maksiat, ya!.

" KIRANA!! " teriak Penne yang kini memeluk Kirana. Mereka semua sontak terkejut melihat kehadiran kakak kelas. Apalagi kakak kelas SMA.

" Maafkan gadis cantik ini yang suka membully mu, entah mengapa selama seminggu ini aku mendapat bisikan aneh ditelingaku. AKU PENGEN INSAF! " kata Panne yang menangis bombay.

" KAMI JUGA DEK KIRANA, PENGEN INSAF! " teriak kakak-kakak SMA.

Kirana jadi bingung, bagaimana cara nya menenangkan kakak sekolahnya? Meredakan tangisan teman sekelasnya saja sudah dibuat sakit kepala.

***

Satria Prayoga tertawa terbahak-bahak melihat video yang baru saja dikirim oleh adik kesayangannya—Hafi Prayoga—. Ternyata kalau tukang bully insaf lebay banget, ya?. Membuat Intan Pratama dan Gunthur Admiral Nathan yang baru saja selesai latihan menembak dibuat terheran-heran. Apalagi melihat Alvar Armando, Aryan Ducan dan Herman Junaid yang sedikit menjauhi Satria. Takut Satria kesurupan arwah gentayangan katanya.

Intan duduk di sebelah Herman sambil memperhatikan tingkah Satria yang kembali tertawa saat memutar video kiriman Hafi kembali. Gila, Satria kalau sudah bahagia kaya gini mengerikan. Apa pun yang ada disekitarnya menjadi korban keganasan Satria. Seperti meja kayu yang mereka gunakan untuk makan siang.

Beberapa kali Aryan  Mengeluh sendiri karena kuah sayur kesukaannya berhamburan akibat ulah Satria. Padahal itukan makan siang buatan ayank beb nya, calon istri yang akan menemaninya.

" Woy, lu kenapa ketawa? " Tanya Intan dengan tamparan mautnya di bahu kokoh Satria.

" Oh, teman-teman Kirana udah insaf ngebully. Sudah dapat bisikkan pencerahan, katanya. " jawab Satria yang kini menyimpan ponselnya disaku celana.

" Ngeri ya anak zaman sekarang— " kata Alvar yang baru saja mengunyah nasi, " —berani ngebully macam mereka yang berkuasa saja " lanjut Alvar  Lalu kembali menyuap nasi kemulut nya.

" Ngeri lagi jari-jari netizen, sampai-sampai keponakkan tetangga ku langsung masuk kerumah sakit jiwa akibat stress " kata Herman.

" Serius? " tanya Satria.

" Serius, aku. Bahkan banyak artis-artis yang bunuh diri gara-gara jari Netizen yang suka ngetik kalimat pedas. " lanjut Herman.

" Itu sebabnya aku benci banget ama Sosial Media " kata Nathan yang kini juga bergabung dengan mereka. Bekal yang ia bawa siang hari ini adalah nasi putih, ikan goreng, dan sayur tempe kacang oseng buatan sang ibunda tercinta. Pokoknya, bagi Nathan. Masakkan emak yang paling mantap.

" Thur-thur... Lu kalau bikin akun sosmed udah jadi terkenal kamu. Muka tampan macam kau nih pasti laris lah.. " kata Aryan.

" Kau pikir akau ini barang? " tanya Nathan sambil merangkul Aryan, aura yang ia keluarkan kurang bersahabat. Bahkan pelototan nya begitu mengerikan membuat Aryan jadi Kicep di buatnya.

" Hehehehe.. Gak lah, bang! " jawab Aryan.

" Thur, kayanya kita dapat misi baru lagi deh. Tadi denger-denger nama regu kita disebut terus sama atasan. " kata Herman.

" Oh jelas, regu kita kan yang paling TOP. kekompakkan kita dalam menjalankan misi harus dikasih penghargaan ini.. " kata Aryan.

" Owalah, misi lagi toh... Gak bisa apa istirahat sebentar aja. Aku kan pengen kelonan ama bini " gumam  Alvar.

" Dasar, otak kelonan " kompak sekali mereka. Membuat Alvar merengut kesal. Mereka semua tidak tau rasanya menjadi pengantin baru.

***

Navy Abbiyya menatap Navy Kirana bersama dengan Dinda Nesia yang duduk di atas sofa ruang kerjanya. Ia baru saja selesai dengan jadwal Operasi.

Mug karakter tersaji dihadapan Kirana dan juga Dinda serta beberapa cemilan yang di keluarkan Abbiyya dari dalam lemari simpanan nya. Abbiyya menamainya lemari doraemon karena semua cemilan kesukaan nya ia simpan di dalam sana. Aman dari tangan nakal teman-temannya.

" Terima kasih, om " Kata Dinda lalu memakan biskut rasa coklat tersebut dengan lahapnya.

Abbiyya hanya membalasnya dengan senyuman menawan nya. Ia kini duduk berhadapan dengan Kirana dan juga Dinda. Kaki kanannya ia silang, kedua tangannya ia lipat ke depan dada nya. Manik hitamnya meneliti ekpresi wajah Kirana yang nampak bahagia.

"Apa ada hal yang menyenangkan di sekolah?" tanya Abbiyya kepada Kirana dan juga Dinda.

Kirana yang memang memiliki sifat malu-malu hanya menganggukan kepalanya, sedangkan Dinda dengan semangatnya menceritakan semua kejadian disekolah.

Rupanya Kirana sangat senang teman-temannya tidak lagi membullynya membuat Abbiyya merasa bersyukur.

Ah! Abbiyya juga harus berterima kasih kepada Dinda karena mau berteman dengan anaknya.

Dinda Nesia, dia anak dari Ahmad Maulidin, sahabatnya waktu SMA. walau mereka beda kelas dan jurusan, di mana Ahmad Maulidin berada di jurusan IPS dan sifat sedikit bar-bar. Berbeda dengan dirinya yang berada di Jurusan IPA dan murid teladan.

Tapi, Abbiyya kagum dengan sahabatnya itu. Dia mampu membangun perusahaan Zee —perusahaan industri pertahanan ( senjata)—  mulai dari nol. Saat tahu Dinda Nesia adalah anak kandung sahabatnya membuat Abbiyya sangat senang. Ya, walau dirinya sempat kesal karena sahabat nya merahasiakan pernikahan nya.

" KIRANA-CHAN, NANTI KITA KEKANTIN YUK. AKU MAU MAKAN LAGI SOALNYA" kata Dinda dengan nada yang begitu nyaring. Kebiasaan Dinda kalau sedang lapar.

" Baiklah " jawab Kirana ramah.

" Chan? " beo Abbiyya, Dinda sering memanggil Kirana dengan embel-embel Chan.

Saat ia bertanya dengan sahabatnya, rupanya istri sahabatnya itu keturunan orang jepang. Pantas Abbiyya sering mendengar kalimat asing dari mulut Dinda.

" Beritahu ibu kantin jika aku yang akan membayar makanan kalian. Jadi, makanlah secukupnya jangan berlebihan karena berlebihan itu—"

" —tidak baik! " lanjut Kirana dan juga Dinda penuh semangat.

" Good,Girls! " gumam Abbiyya sambil mengelus surai Kirana dan juga Dinda bergantian.

Kirana dan Dinda kini berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju kantin. Abbiyya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah dua gadis yang akan menginjak remaja tersebut.

" Kirana sama siapa, tuh? " tanya Emma yang kini berdiri di belakang Abbiyya. Sangat jelas jika Emma tengah penasaran akan sosok gadis kecil yang menemani Kirana.

Abbiyya sempat kaget melihat Dr Emma yang tiba-tiba ada di belakang nya. Bukan hanya Emma saja, bahkan Dr Tio pun juga ada di belakang nya.

" Astaga, kalian berdua kaya gak ada kerjaan aja " Omel Abbiyya kepada Tio dan juga Emma. " dia teman Kirana, namanya Dinda Nesia anak sahabatku waktu SMA " lanjut Abbiyya menjawab pertanyaan Emma.

"Tunggu, Kaya pernah dengar nama tuh anak " gumam Tio sambil mengerutkan Dahinya. Seketika lampu yang ada diotaknya bersinar terang, " Oh, anak Ahmad Maulidin ya? Aku tahu itu " kata Tio.

" Idih, tahu dari mana? " tanya Emma yang kini menatap Tio.

Tio menghela nafas berat, nampaknya rekannya ini jarang sekali nonton televisi. Jelas-jelas wajah Dinda Nesia selalu ada di layar televisi bersama dengan wajah ayah kandung Dinda Nesia. Selain itu, Dinda Nesia kan punya band dan posisinya sebagai gitaris band tersebut.

Semua orang pasti tau kepopuleran Dinda Nesia. " Mending kamu nonton televisi deh mulai dari sekarang " kata Tio sambil menepuk-nepuk bahu Emma.

" DIA ARTIS? "teriak Emma dan juga Abbiyya barengan. Mata mereka melotot kearah Tio yang justru menepuk jidat.

Yang benar saja, bahkan Abbiyya baru menyadari jika Dinda Nesia Artis cilik? Pikir Tio.

" Wah, kayanya aku akan menjual tanda tangan Dinda deh " gumam Abbiyya dengan senyuman jahatnya, jangan lupa matanya yang kini menyipit.

" JANGAN PINDAH PROFESI! " teriak Emma dan Tio menyadarkan Abbiyya.

Sedangkan Abbiyya justru terkekeh geli melihat ekpresi tak rela dari Emma dan Tio.

Bagaimana pun Juga, Emma dan Tio sudah menjadi sahabatnya juga. Berjuang bersama-sama saat Rumah Sakit Swasta Harapan dibuka secara resmi hingga sekarang.

" Uluh... Tenang saja, aku akan tetap menjadi dokter " kata Abbiyya sambil memeluk Tio dan juga Emma bersamaan.

Tio tentu saja protes dengan tindakkan Abbiyya yang memeluk nya secara tiba-tiba. Apalagi perawat yang melihat mereka bertiga ada yang mengabadikan momen tersebut. Sedangkan Emma malah senang dipeluk oleh Abbiyya. Lagi pula hitung-hitung sebagai obat penambah stamina nya.

" Cieee... "

" Oh, Dr Rizki. Mau ku peluk juga?

Sini!. " kata Abbiyya yang langsung menarik Rizki bergabung dengan mereka untuk sesi berpelukkan.

Para perawat yang melihat tingkah mereka berempat hanya bisa tertawa kesenangan. Yups, mereka berempat bisa di bilang dokter paling populer di Rumah Sakit Swasta Harapan.

"Bagus ini, harus di upload dong di instagram" kata salah satu perawat pemegang akun Rumah Sakit Swasta Harapan, bisa dibilang admin nya.

Beberapa hari kemudian, foto mereka berempat langsung jadi trending topik. Bahkan acara gosip pun juga membahas keakraban keempat dokter tersebut. Rumah Sakit Swasta Harapan jadi semakin terkenal akibat ulah mereka. Persahabatan yang membawa untung.

***

" Kapten, sepertinya di zaman sekarang masih ada bajak laut " kata Bear—Aryan Ducan—yang mengawasi pergerakkan kapal besar yang jauh darinya menggunakan teleskop.

Snack—Satria Prayoga— yang juga mengawasi pergerakkan kapal musuh menganggukan kepalanya setuju dengan perkataan Bear. Kapal itu memiliki lambang ular hitam dengan tulisan emas KC.

" King Cobra " gumam Snack saat mengenal lambang tersebut.

" Wah, sekarang mereka juga berbuat ulah di sini ya? Apa belum puas membuat ulah di kota? " kata Butterfly—Intan Pratama— melalui benda kecil—alat komunikasi— di telinga mereka masing-masing.

" Bear, kau bisa melumpuhkan dua penjaga yang memperbudak para warga kan? " tanya Kapten—Gunthur Admiral Nathan—dengan nada tegasnya. Manik hitam nya menatap tajam kapal yang tengah ia awasi saat ini.

Bear yang tidak setim dengan Kapten menjawab "Ya!" dengan tegas. Bear dan juga Snack mulai mempersiapkan  senjata yang sudah dimodifikasi dengan alat peredam suara.

" Kau sudah siap? " tanya Snack kepada Bear yang kini berada di belakangnya. Mereka berbaur dengan rimbunnya semak-semak.

Bear menjawab pertanyaan Snack dengan anggukan kepala. Mereka pun menutup separuh wajah mereka menggunakan masker hitam serta kaca mata hitam.

"1...2...3...Go! "

Dor!

Dor!

Dua tembakkan mengenai area dada Pelaku perbudakan. Mereka berdua segera menghampiri jasad dua pria tersebut dan menyeretnya kedalam semak-semak. Snack meminta para warga untuk tetap tenang, jangan panik!.

Bear mulai menyuruh para warga untuk menuju semak-semak yang sudah dijaga oleh prajurit dengan kode name Tiger dan juga Butterfly. Sedangkan Snack mengawasi pergerakkan musuh yang kemungkinan tidak menyadari kehadiran mereka berdua.

" Jalan lurus kedepan, di sana bapak akan bertemu dengan regu lainnya. Ingat pak! Tetap tenang. Percayalah pada kami! Jika bapak tidak tenang maka bapak sudah mengacaukan rencana kami. " kata Tiger—Herman Junaid—

" Semuanya sudah beres " kata Butterfly saat sudah memastikan jika tidak ada lagi warga yang tertinggal.

" Musuh sudah menyadari! " pemberitahuan dari alat komunikasi membuat mereka bersiaga. Benar saja, beberapa pria berbaju hitam kini mulai mencari-cari nelayan yang mereka perbudak menjadi alat penghasil ikan.

Salah satu pria berkepala botak berteriak pada anak buahnya yang berada di kapal untuk memberi tahukan kepada pasukkan Cobra—pembunuh bayaran—. Tak lama, ada sekitar 20 orang berseragam hitam dengan wajah penuh luka keluar dari kapal. Salah satu dari mereka membawa anjing pelacak.

" Kapten, Ada Anjing pelacak " gumam Tiger memberi laporan kepada Kapten mereka.

Kapten hanya diam, memfokuskan bidikkannya kearah anjing pelacak tersebut.

" ini tidak akan menyakitkan mu. Hanya akan membuatmu tertidur sementara " gumam Kapten lalu melepaskan peluru—obat bius—nya.

Anjing pelacak tersebut tiba-tiba saja tumbang, membuat mereka semua semakin siaga. Manik hitam mereka menatap sekitar mereka dengan waspada. Masing-masing membawa senapan, senjata mereka untuk bertempur.

Bear tiba-tiba saja turun dari jembatan tanpa suara, menyelam kedalam air. Sedangkan Snack tetap dibalik kotak kayu diatas jembatan, mengarahkan moncong senapan serbu kearah musuh.

" Bagi menjadi empat regu!" Perintah atasan kepada bawahannya. Mereka pun akhirnya berpencar, mencari pelaku pembebasan para nelayan.

" Mereka mulai bergerak " lapor Snack.

' snack & Bear, lumpuhkan orang-orang yang ada di atas kapal. Biar kami yang mengurus pasukkan Cobra ' Perintah sang Kapten dengan nada tegasnya.

Snack menyelam kedalam air, sama seperti yang dilakukan Bear barusan. Sepertinya Bear sudah terlebih dahulu menyusup ke dalam kapal.

' Butterfly, mohon bantuannya '

" Baik, kapten! " gumam Butterfly, ia memasang masker hitam untuk menutupi wajah nya, serta kaca mata hitamnya.

Salah satu Pasukkan Cobra ia seret dengan cara mengunci leher pria tersebut. Menyuntikkan sesuatu ketubuh pria tersebut dengan cepat tanpa melakukan perlawanan yang berarti. Setelah itu, Butterfly mengambil alat komunikasi pria tersebut dan menggunakannya untuk mendengar intruksi Pemimpin mereka.

Butterfly bersandar di salah satu pohon, memfokuskan dirinya untuk mendengar pembicaraan musuh mereka. Frog—Alvar Armando—baru saja datang ketempat Alvar Armando, di tugaskan oleh Kapten untuk menjaga Butterfly dari serangan musuh.

" Bagaimana? " tanya Frog penasaran.

" Mereka menuju kearah kapten, mereka sudah mengetahui keberadaan kapten! " gumam Butterfly dengan tatapan horor.

" Tidak, ini — "

"—Jebakkan " ucap pria berjas hitam rapi yang kini menodongkan senjatanya kearah Frog dan juga Butterfly.

Mereka berdua digiring memasuki kapal musuh, sebuah ruangan kosong kini menjadi tempat mereka berdua. Dikurung di sana, menunggu nasib mereka. Intan—Butterfly— dan Alvar Armando—Frog— diikat saling membelakangi.

Intan menghela nafas lelah, senjata mereka dan alat komunikasi mereka sudah dirampas. Bahkan mereka berdua tidak tau bagaimana nasib rekan-rekan lainnya.

Sementara itu, Snack masih mengendap-endap di ruang mesin kapal. Ia sesekali bersembunyi saat beberapa orang mulai memeriksa mesin kapal. Indra pendengar nya tak sengaja mendengar jika dua rekannya telah tertangkap dan kini dikurung di salah satu ruang kapal yang ia tumpangi.

" Sial, dimana Bear? " gumam Snack sedikit kesal dengan rekannya tersebut.

" Aku dibelakang mu " jawab Bear membuat Snack menoleh kebelakang.

Ia menyentil jidat Bear cukup keras hingga membuat bear meringis tanpa suara. Sial, jitakkan Snack bukan main-main.

" Dasar, tak berperi ke senioran " Omel Bear pelan.

" Kita harus menyelamatkan Butterfly dan juga Frog. Mereka di sekap di salah satu ruangan yang ada dikapal " kata Snack sambil menyalakan sebuah alat berbentuk jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Sebuah benda kecil mirip nyamuk keluar dari jam tersebut, terbang menyusuri lorong kapal.

Jam tersebut memperlihatkan seisi ruang kapal. Rupanya benda kecil itu adalah Drone mini ciptaan perusahaan Zee Membantu mereka untuk memata-matai musuh.

" Baiklah, mereka ada di ruang paling atas. Kita harus menaiki beberapa tangga karena jika kita menaiki lift Otomatis kita terekam CCTV " Kata Snack memulai mengatur strategi.

Bear menganggukan kepalanya pelan, menyetujui rencana seniornya.

Mereka pun mulai menaiki tangga secara perlahan, memastikan jika tidak ada musuh di sekitar mereka. Setiap musuh yang berjaga di lorong kapal mereka lumpuhkan secara diam-diam. Bergerak seperti ninja!.

Jglek!

" Kalian—" perkataan Frog terhenti saat melihat seseorang di belakang Bear dan juga Snack. Rupanya, orang yang menangkap dirinya dan juga Butterfly lah yang kini berada bersama mereka.

"—Hallo! " Sapa pria tersebut sambil mengarahkan senapan nya kearah mereka berempat. Tak hanya itu, yang paling mengejutkan adalah sekelompok wanita yang juga menodongkan senapan kearah mereka berempat.

" Mereka punya pasukkan wanita " gumam Butterfly tak percaya.

Dor!  Satu Wanita jatuh diatas lantai dengan darah yang mengalir dari keningnya.

Dor!  Dor!  Dua wanita jatuh akibat tembakkan di kaki mereka.

" Siapa di sana? " Teriak salah satu Wanita berpakaian serba tertutup. Mungkin dialah sang pemimpin pasukkan wanita tersebut.

Rupanya Gunthur Admiral Nathan—Kapten— dan Herman Junaid—Tiger— pelaku Penembakan.

2 melawan 11 wanita? Rasanya tidak adil bagi Tiger, namun adil bagi sang kapten.

Mereka berdua berlari kearah musuh, menghindari hujan tembakkan dengan cepat. 

" Sial, akan ku akhiri semua ini " Teriak Kapten lalu membalas tembakkan mereka.

Tiger Melakukan gerakkan Guillotine choke Untuk mengunci pergerakan pria yang kemungkinan kapten kapal tersebut. Menjatuhkan nya di atas lantai dingin. Manik hitam nya melirik sekilas kearah sang kapten yang sudah melumpuhkan 11 Wanita tersebut hanya dalam waktu 1 Menit.

" Kita harus cepat keluar dari sini " perintah Nathan yang kini melepaskan tali menggunakan pisau lipat yang selalu ia bawa. " Tempat ini sudah di penuhi bom " lanjut Nathan dengan ekpresi wajah dingin.

Suara ledakkan begitu nyaring terdengar. Membuat para warga yang berada dalam truk terkejut mendengar nya, bahkan para tentara pun juga ikut terkejut. Sumber suara sudah dipastikan berasal dari kapal musuh.

" Kapten " panggil salah satu prajurit melalui alat komunikasi. Berharap panggilannya di respon oleh Gunthur Admiral Nathan. Namun, sayangnya panggilan nya tak direspon sama sekali.

" Kirim bala bantuan!! " Teriak salah satu prajurit.

Mereka pun langsung pergi menghampiri sumber ledakkan tersebut. Berharap jika rekan-rekan mereka masih bisa diselamatkan.

Chapitre suivant