Dia masih memiliki selera yang sama dengan pakaiannya, jaket hitam. Setelah sekilas melihat penampilannya, aku menatap wajahnya yang berkerut tidak senang.
Aku bergeming saat dia melangkah mendekat, lalu tiba di depanku. Sial, entah bagaimana dia lebih tinggi dariku. Dia sudah bertemu denganku sebelumnya, jadi tidak aneh jika dia merasa kesal.
"Wajahmu berubah," ucapnya.
Aku tidak menyangka kata-kata pertama yang dia ucapkan padaku adalah tentang wajah. Apa dia merasakan persaingan? Tidak, aku akan merubah wajahku segera menjadi sedikit lebih jelek, karena mendapatkan perhatian berlebihan itu mengerikan.
"Ya, sudah lama. Aku pikir hampir semua bagian ingatanmu tentangku terhapus," jawabku dengan tenang sambil mengulurkan tangan seolah kebiasaan dalam perkenalan.
Alisnya naik dan berkerut saat melihat sikapku. Dia lalu menjawab.
"Tidak peduli meskipun kau menghapus semuanya, aku akan mengingatmu kembali, Kim Dokja."
Dia tiba-tiba tersenyum sesaat, merinding tiba-tiba datang dari punggungku.
"Begitukah, karena novel itu?"
Keheningan canggung mengisi suasana, dia pasti sadar bahwa pertanyaanku terasa kosong tanpa emosi terkait. Aku berusaha memunculkan emosi apapun yang kubisa. Namun, itu justru menyebabkan mereka tercengang. Rasanya seperti seorang aktor yang harus berakting menangis, sayangnya aku bukan aktor yang handal, jika itu tipuan, mungkin bisa kulakukan.
Aku menarik tanganku yang meraih ke depan, lalu menyatakan, "Tanyakan apapun yang kau mau, aku akan menjawabnya jika itu bukan rahasia besar."
Dia mengangguk lalu melewatiku untuk duduk. Jung Heewon melihat bolak-balik antara dia dan aku dengan kebingungan terpampang di wajahnya yang cantik, rambutnya yang berubah platinum menambah pesonanya. Sepertinya dia sedikit tidak nyaman dengan perhatian yang kutunjukkan, dia buru-buru duduk di samping Uriel.
Lalu, Lee Gilyoung yang memakai topi menunduk mengikuti Jung Heewon. Sementara, Shin Yoosung menatapku dengan ekspresi aneh sebelum ikut duduk, kenapa dia?
Sesi tanya jawab dimulai setelah aku bergabung.
"Kenapa kau menghapus ingatan kami?" tanya Jung Heewon.
Aku memikirkan kata-kata yang tepat sesaat lalu membalas.
"Bagian dari perjanjian."
Mereka takkan mengerti. Jadi, aku sedikit menambahkan penjelasan.
"Jika aku tidak menghapus ingatan kalian, kalian akan hidup sambil membawa perasaan tersiksa."
Jung Heewon menggeleng.
"Itu lebih baik daripada perasaan kosong yang tidak bisa diisi dengan apapun."
Sungguh? Apakah semuanya merasakannya? Perasaan kosong, seperti ketika aku berkeliaran di setiap Time Fall.... Tidak, seharusnya mereka bahagia.
"Sesuatu yang tidak kau ingat, tidak akan membuatmu sedih," jawabku.
Dia membuka dan menutup mulutnya tanpa suara. Aku menoleh ke teman pertamaku sebagai 'Kim Dokja', Yoo Jonghyuk.
Kami berkontak mata, aku bisa melihat bahwa dia sedang berusaha memunculkan ingatannya tentangku.
"Kau menganggap kami apa?"tanyanya.
Mataku bergetar saat mendengar pertanyaan itu.
"Tentu saja, kalian adalah teman—"
Dia menyela sebelum kalimatku selesai.
"Teman? Benarkah? Kau mempermainkan kami, apa tujuanmu sebenarnya?"
Aku tidak bisa menjawab, rasanya aku bisa mendengar tawa 'dia' dari suatu tempat.
—(Kenapa kau melakukannya sampai sejauh ini? Seorang Penjelajah yang sebelumnya tak memiliki emosi menjadi sangat emosional. Namun, bukankah mereka takkan memahamimu?)
Aku pikir 'dia' sedikit kurang ajar, 'dia' menggunakan ruang perpustakaan untuk mengirim pesan itu ke kepalaku. Apakah Master Of Abyss mengizinkannya masuk, meskipun aku sudah menarik izinnya?
Yoo Jonghyuk masih menunggu jawabanku dengan tenang, bukankah dia menjadi sedikit kalem sekarang? Sebelumnya, dia akan membentak atau menanyakannya sekali lagi.
"Tujuanku adalah membuat semua temanku bahagia."
Matanya menyipit berbahaya.
"Begitukah? —lalu, bagaimana dengan dirimu sendiri?"
Apa? Kenapa dia menanyakan itu?
Dari sudut mata, aku bisa melihat Uriel yang duduk di sudut gelisah. Dia tahu tentangku berkat Secretive Plotter, dan pria ini mungkin juga berbagi ingatan dengan Secretive Plotter.
"Aku senang dan bahagia saat ini," kataku sambil mengangkat bahu dan tersenyum seolah itu sudah jelas.
"Itu tidak benar, mulai sekarang kau harus mendengarkan kami."
Aku terkejut karena dia tampak memutuskan sesuatu. Apa itu?
"Meskipun itu hanya cerita yang ditulis, aku mempercayainya, dan aku akan berusaha mengingatmu lagi, Ahjussi... Bukankah aku memanggilmu seperti itu sebelumnya?"
Shin Yoosung yang imut dengan malu-malu bertanya. Aku terkekeh.
"Benar, terimakasih."
"Aku, entah kenapa perasaan kosongku tiba-tiba terisi, sebelumnya aku memanggilmu Hyung, bukan? Aku akan memanggilmu Hyung mulai sekarang."
Lee Gilyoung melepas topinya saat mengatakan itu dengan ekspresi menyegarkan, dia tidak jadi menangis.
Pertemuan yang menurutku terlalu tenang ini hanya berlangsung singkat, mereka sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku mengerti dan bersikap seolah itu tidak apa-apa, saat semuanya pergi selain Yoo Jonghyuk dan Uriel.
Yang satu menatapku dengan serius, sementara satunya melirik aku dan dia dengan gelisah.
"Perjanjian macam apa yang membuatmu tidak memiliki emosi? Kau sungguh baik-baik saja? Situasi kami lebih baik darimu, kau mengingat semua tapi tak merasakan apapun dari kenangan itu. Ke mana semua emosimu pergi?"
Yoo Jonghyuk tiba-tiba melemparkan bom pertanyaan. Dia sudah menjadi Yoo Jonghyuk yang berbeda dari yang kutahu, jika aku masih memiliki skill 'Omniscient Reader' Viewpoints', aku akan membaca pikirannya saat ini. Sayangnya, 'dia' mengambil itu bersamaan dengan emosiku.
Aku mengusap wajahku dengan tangan kanan sebentar, lalu menghela napas.
"Apakah kau benar-benar ingin tahu? Kau tidak benar-benar mengingatku, kan? Ada batas pada seberapa banyak yang bisa diceritakan dalam satu novel," kataku dengan suara riang.
"Ya, itu benar. Namun, perasaan menceritakan lebih banyak daripada tulisan."
Jawabannya membuatku tercengang, dia bukan siapapun, dia adalah Yoo Jonghyuk yang sangat jarang membicarakan tentang 'perasaan', apakah dia berubah gara-gara aku? Benarkah?
Uriel yang tidak tahan pada pembicaraan aneh kami akhirnya ikut membuka mulut.
"Jadi, apakah tidak apa-apa terus memanggilmu Kim Dokja?"
Yoo Jonghyuk mengerutkan kening pada pertanyaan Uriel. Sayangnya, pertanyaan itu tidak cocok dengan suasana.
"Apa maksudmu? Dia bukan Kim Dokja?"
Aku berdehem.
"Aku Kim Dokja mulai sekarang," kataku sambil berharap bahwa 'dia' tidak akan menuntut apapun lagi dari menggunakan namanya.
"Apakah kau bukan Kim Dokja sebelumnya?"
Ah, pria ini menangkap maksudku dengan benar, aku kadang-kadang berharap dia sedikit bodoh.
"Bisa dikatakan begitu," jawabku dengan tidak jelas.
"Aku mengerti, datanglah ke kantorku jika kau mau," ucapnya sambil berdiri.
Ekspresinya menunjukkan kekecewaan, dia sekarang bersikap seperti orang asing padaku. Yah, tidak apa-apa, lagipula aku duluan yang bersikap seperti itu padanya, dia orang yang membalas sesuatu dengan benar. Dasar pria pendendam.
Saat aku memikirkan ini, dia sudah melangkah keluar, sebelum tiba-tiba menoleh singkat dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. Kemudian, hanya ada Uriel dan aku sama seperti semula.
***