webnovel

BAB I : Menyerah

FLORIDA, 17 Desember 2016.

Ana melangkah pelan menuju jendela kamar. Pemandangan malam Florida cukup indah jika dilihat dari tempatnya, sinar rembulan dan cahaya gedung pencakar langit seakan mampu menembus netranya. Ia dapat melihat langit kian menggelap dari biasanya, satu – persatu Ana menelusuri luas langit demi mencari keberadaan bintang.

Desahan kecewa mewakili perasaan Ana ketika melihatnya. Tidak ada satu pun bintang di sana. Hanya ada rembulan tanpa teman, sendirian. Tapi, mengapa rembulan kuat menerangi bumi sebesar ini? Ana jadi penasaran, bagaimana rasanya menjadi sosok yang kuat tanpa bantuan orang lain.

Tatapan Wanita itu berpaling memandang jam dinding, sudah hampir satu jam Ray tidak kembali.

"Kenapa Ray lama banget, ya?" Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket menghilangkan rasa dingin. Ia kembali ke ranjang dan merenungkan diri disana.

Tidak terasa sudah hampir dua bulan, Ana hidup berdampingan dengan Ray. Selama itu, Ana tidak pernah merasakan bahagia sepenuhnya. Padahal, saat Ana menonton sebuah drama, kehidupan pernikahan terlihat sangat indah. Ana tidak pernah melihat sang Istri menderita. Mereka selalu tertawa bersama, menghabiskan waktu liburan kala musim berganti.

Seketika, Ana tersenyum tipis. Lucu sekali. Bodohnya Ana baru sadar jika semua itu hanya scenario yang di rancang sedemikian rupa. Nyatanya kehidupan nyata tak seindah yang terlihat.

Lalu, bagaimana jika Ana menceritakan kehidupannya dengan Cheryl dan Keisha?

Apa yang akan mereka katakan?

Apa mereka akan marah pada Ana?

Apa mereka akan menjauhi Ana sebagaimana kotor dirinya?

Atau mereka akan tetap mendukung Ana?

Memikirkan hal itu, hati Ana berkecamuk. Demi Ray, Ana rela membohongi mereka dan mengatakan Ayahnya sakit. Astaga, bahkan Ana berani mendoakan Ayahnya sakit. Gila. Pengorbanan Ana begitu banyak. Tapi, apa pernah Ray meliriknya? Ana terkekeh pilu, jawabannya tidak.

Ray tetaplah Ray dengan segala sikap angkuhnya. Dia akan bertindak semaunya tanpa memikirkan orang lain.

Ana jadi ingat perkataan ayahnya sebelum pergi ke rumah sang mertua, "Pokoknya Ana, anak Ayah satu-satunya—harus bahagia! Lapor sama Ayah kalau sampai Taehyung nyakitin Irene. Ayah janji bakal pukul kepalanya…"

Penglihatan Ana mendadak buram kala mengingat wajah bahagia sang Ayah. Ana tidak mau senyuman itu hilang, Ana tidak mau Ayahnya kecewa begitu mengetahui anaknya menderita disini.

"Maafin Ana, yah. Ini semua salah Ana…" Lagi dan lagi, Ana menyalahkan diri sendiri. Dia kembali berandai bila semuanya tidak terjadi. Mungkin, Ana akan bersenang di taman dengan Ayahnya atau pergi memancing di akhir pekan.

Tidak, Ana. Jangan seperti ini, kau harus kuat! Jadilah Wanita yang pantang menyerah macam Ibu, kau bisa melewati ini semua. Ana yakin akan ada saatnya Ray bersikap lemah lembut dan berubah secara total.

Ana segera menghapus jejak airmata terlebih dahulu. Kemudian, menarik napas dalam-dalam seakan berusaha menghilangkan semua beban dalam dirinya. Biarkan semuanya berlalu, Ana yakin Ray tidak mungkin bertindak lebih jahat.

Rasa kantuk meyerangnya perlahan. Ana akan tidur sebentar sembari menunggu suaminya datang. Begitu Ana sudah siap menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, ketukan pintu menghentikan gerakannya. Dengan posisi masih setengah berbaring, Ana menyempatkan diri melirik pintu.

"Siapa ya?" Ana berpikir, bila itu Ray mana mungkin dia mengetuk, pasti lelaki itu langsung masuk. "Apa pelayan?"

Tok… tok… tok…

Suara geduran pintu semakin kencang ditengah-tengah Ana berpikir, lantas Ana turun dari ranjang dan berniat membuka pintu. Siapa tahu penting.

Clek!

"Siapa—"

"Selamat malam, nona."

Senyuman khas yang tak pernah Ana lupakan, ya, terlihat menyeramkan dan berhasil membuat tubuh Ana terpaku di tempat. Wanita itu meremas gagang pintu kuat-kuat.

"Senang bisa bertemu denganmu lagi."

Laura tak henti menelusuri Apartement Ray. Rasanya tidak asing dan sudah lama sekali dia tidak berkunjung kesini. Namun semua masih sama, tidak ada yang berubah. Persis seperti yang punya, lelaki itu tetap tampan dan menarik di mata Laura.

"Silahkan duduk," Ray menaruh belanjaannya di meja antara sofa, lelaki itu segera mengambil segelas air mineral sebagai bentuk perhatian pada sang Wanita. "Minum dulu ya,"

"Makasih, Ray." Laura tersenyum mengambil air tersebut.

Suasana hening, mereka duduk saling berhadapan. Sengaja agar Ray bisa melihat dengan leluasa wajah Laura. "Gimana keadaan kamu? Semuanya baik-baik aja?" Tanya Ray. Sudah lama mereka tak bertemu, Ray menjadi sangat gugup bila berdua. Disisi lain, Ray sangat penasaran dengan cerita yang keluar dari bibir Laura.

Entah harus menjawab apa, Laura memilih menunduk setelah menghabiskan setengah gelas air. "Seperti yang kamu lihat," Laura tersenyum miris. "Aku baik."

Ray tahu Laura berbohong.

"Omong-omong, kok bisa kita bertemu? padahal—"

"Mungkin jodoh,"

Laura terkekeh pelan. "Jangan bercanda!"

"Siapa yang bercanda?" Ray mengangkat kedua alisnya, memberikan tatapan serius. Susah payah, Laura menelan saliva ketika mata mereka saling beradu. Lidahnya terasa kelu, tak sanggup berbicara. Pesona Ray memang tidak bisa terbantahkan. Sadar situasi canggung, Ray berdehem kemudian menegakkan tubuhnya dan berpindah posisi di sofa samping Laura.

"Aku mau lihat tangan kamu."

"Uh?" Laura bingung, namun tetap memberikan kedua tangannya pada Taehyung.

"Syukurlah, ngga ada yang luka." Kata Ray berhasil membuat Laura luluh. "Aku khawatir kamu kenapa-kenapa, udah cukup kamu menderita selama ini. Aku tahu nggak muda menerima kepergian orang yang kita sayang, tapi—"

"Kamu…. tahu?" Laura terkejut mendengar pernyataan Ray. Ia mengerti ke arah mana pembicaraan mereka, suami dan anaknya. Kedua bolamata Laura bergerak mengikuti gerakan Ray.

"Apa yang aku nggak tahu tentang kamu? I know all about you, Laura."

Laura membuang wajah guna menahan airmata yang sudah menumpuk di kelopak mata.

"Laura, dengar." Tanpa ragu Ray menarik tangan Wanita itu untuk digenggam. "Aku sama sekali nggak suka lihat my lady menangis, dulu ataupun sekarang—kamu tetap satu-satunya Wanita yang ada dipikiran aku. Mungkin memang kita nggak pernah bertemu lagi, tapi perpisahan kemarin… sama sekali tidak membuat aku lupa tentang kita."

"Kamu masih ingat janji aku sebelum kamu menikah?"

Laura terdiam, mencari memori tersebut. Sampai akhirnya suaranya terucap pelan, "Aku akan menunggu sampai kamu jadi milikku."

Ray tersenyum mengangguk. "Benar, aku akan menepati janji itu." perlahan namun pasti, Ray mengangkat tangannya demi mengusap kepala Laura. "Aku datang sebagai obat dan juga kebahagiaanmu di masa depan. Kmau mau 'kan terima kehadiran aku lagi?"

Tangisannya tak terhenti semenjak dirinya berendam di bath up. Air keran yang menyala sengaja tidak dimatikan, biarkan dirinya tenggelam disini, biarkan tempat ini menjadi saksi bisu kematian Ana.

Ana sudah lelah. Ia ingin pergi darisini, tidak—tapi dari dunia. Ana ingin mengubur dirinya yang sangat, sangat kotor. Ia tidak bisa hidup disaat semuanya sudah hancur. Ya, kehidupan, tubuh, pikiran—semua hancur mematikan Ana secara perlahan.

Lantas, untuk apa Ana hidup, huh?

Untuk apa dia hidup?!

Dadanya begitu sesak, kedua bahu Wanita itu bergetar hebat. Suara tangisan terdengar sangat pilu dari sebelum-sebelumnya, mungkin jika kemarin Ana bisa menahan diri untuk tidak berteriak, tapi sekarang tidak bisa. Ana terus saja berteriak meraung sembari memukul tubuhnya tanpa sehelai benang. Tak lupa, Ana menarik rambut yang menjuntai ke air hingga basah. Ana benci rambutnya.

Ana benci ketika lelaki brengsek itu mencium dan mengatakan bahwa dia menyukai aroma rambut Ana,

Ana benci ketika lelaki brengsek itu mencumbunya seakan Ana Wanita murahan yang bebas dia setubuhi.

Gara-gara lelaki itu Ana benci dirinya. Ana benci setiap inci tubuhnya yang disentuh lelaki itu.

"Kenapa harus aku?! Hikss��� hiks…" Ana bergumam secara tak sadar, pandangannya kosong, mata sembab dan memerah bukan main. "KENAPA HARUS AKU?!" Emosinya memuncak ketika sekelebat kejadian tadi terlintas jelas. Wanita itu tidak tahan, rasanya sakit sekali ketika kita harus dipaksa melayani seseorang.

Ana sudah berusaha menolak, berontak, memecahkan semua barang disana. Tapi, tetap saja. Lelaki itu terlahir bejat! Dia tidak memperdulikan tangisan Ana, dia tidak memperdulikan betapa sakitnya hati Ana.

Tidak ada yang bisa Ana lakukan selain pasrah dan menangis.

Berulang kali, Ana memanggil nama Ray, berharap lelaki itu segera datang dan menemuinya.

Namun…

Kenyataan kembali menampar Ana. Ray tidak mungkin menolong, sedangkan dia sendiri adalah dalang dibalik semua ini. Ya, Rahasia hidupnya bersama Ray terungkap. Coba bayangkan, Ana sudah terluka karena tiba-tiba lelaki asing meniduri Ana secara paksa, lalu setelah dia mendapat kepuasan—lelaki itu membongkar betapa brengseknya Kim Taehyung.

Bisa bayangkan bagaimana hati Ana?

Ana harus menelan semua kepahitan sendiri.

Mampu kah Ana?

Setelah selama setengah jam, Ana mengurung diri di kamar mandi. Wanita itu bangkit, memakai pakaian kembali. Tidak peduli pakaiannya sudah kotor dan lecak, wajah berantakan sehabis menangis. Terpenting sekarang adalah Ana harus pulang ke Apartment Ray.

Dengan sedikit uang di dalam saku, Ana nekad memberhentikkan taksi dan menunjukkan alamat ke tempat suaminya. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.

Tak butuh waktu lama, Ana sampai. Dia segera berlari, meskipun sang supir taksi berteriak bila duitnya kurang. Ana masa bodo. Ia hanya ingin mengemasi barang-barang untuk kembali ke Jakarta. Ana sudah berjanji akan berkata sejujur-jujurnya pada Ibu dan Ayah. Jika mereka marah, Ana sudah siap.

Lebih baik Ana dimarahi kedua orangtuanya, ketimbang disiksa Ray.

Pintu Apartement terbuka, Ana melangkah cepat masuk ke dalam. Namun, sial—Ana harus mundur beberapa langkah dan menyembunyikan dirinya di dinding. Airmata yang mula mengering, kembali jatuh. Buru-buru, Ana menutup mulutnya menahan isakan yang semakin besar. Tidak cukup kah dia memberikan seribu panah pada Ana? Mengapa dia harus memberikannya lagi? Hati Ana sudah cukup nyeri, Ya Tuhan.

Tak mau terluka terlalu dalam, Ana segera berbalik dan keluar Apartement. Bajingan kau Ray Biantara!

Ana berjalan tak tentu arah. Pandangannya kosong menatap lurus jalanan sepi. Mungkin bila ada orang yang melihat, mereka akan menganggap Ana; hantu Wanita yang bergentayangan karena putus asa.

Haha, benar.

Ana sudah putus asa.

Bahkan, setelah Ana berpikir ingin bertemu Ray setelah dari bar, mencoba meminta penjelasan padanya. Tapi yang Ana dapatkan malah seorang lelaki tengah berpeluk mesra bersama Wanita diatas sofa. Tidak, Ana tidak halu. Semua yang Ana lihat itu nyata! Ana melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika sang suami sedang bermesraan dengan orang lain.

Gila 'kan?

Dia bisa senang-senang, sedangkan Ana sengsara!

"Apa salahku, Ya Tuhan?" tubuh Irene merosot ditepi jalan,

"APA SALAHKU?!" Ana berteriak frustasi. Jiwanya meronta, tidak terima akan kenyataan yang Ia dapatkan. Semua tidak adil untuk Ana.

Sudah tidak ada harapan. Cukup sampai disini.

Ana tidak mau tersiksa lagi.

Wanita itu bangkit dari tepi jalan, melirik sekitar.

Sepi.

Langkahnya mendekat ke sisi kanan, dimana terdapat sebuah pagar pembatas jembatan. Dari tempat Ana berdiri, Ia bisa melihat lautan dalam yang begitu tenang.

Ana ingin seperti lautan itu. Begitu damai. Haruskah Ana menyelam kesana?

Wanita itu tersenyum pilu.

Have some idea about my story? Comment it and let me know. Selamat membaca. Terima kritik dan saran ya.

_ladybaeecreators' thoughts
Chapitre suivant