webnovel

Bab 10

Keesokan harinya, setelah shalat subuh Nadine memilih untuk menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Meski bi Mirna sudah melarangnya, tetapi Nadine tetap memaksa. Ia ingin melupakan kejadian semalam, ia berharap jika itu hanya mimpi. Namun kenyataannya, itu semua benar adanya. Nadine tidak menyangka jika Devian bisa melakukan hal seperti itu.

Setelah di dalam rumah selesai, kini Nadine beralih ke halaman belakang, dan juga tepi kolam. Saat ini Nadine tengah membersihkan halaman belakang rumah. Terik matahari terasa membakar kulit, tetesan peluh pun membasahi wajah dan tubuhnya. Namun Nadine sama sekali tidak memperdulikannya, ia tetap melanjutkan aktivitasnya.

Tiba-tiba saja tubuh Nadine terasa begitu lemas, kepalanya juga terasa berputar-putar. Wanita berjilbab itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, ia memegangi kepalanya dan merasakan jika hidungnya kembali mengeluarkan cairan merah. Bi Mirna yang melihatnya bergegas keluar dan menghampiri Nadine.

"Astaghfirullah, Nyonya kenapa," ujar bi Mirna dengan raut wajah khawatir.

"Aku nggak apa-apa kok, Bi." Nadine menggelengkan kepalanya, mencoba untuk menahan rasa sakit di kepalanya.

"Sebentar ya, Nyonya bibi ambilkan minum dulu." Bi Mirna beranjak ke dalam untuk mengatasi air minum.

Lima menit kemudian bi Mirna kembali dengan membawa segelas air putih. Dengan tergopoh-gopoh bi Mira berjalan menghampiri majukan, sementara Nadine masih pada posisinya, duduk di tanah dengan memegangi kepalanya. Bi Mirna menyodorkan air minum tersebut, tak lupa ia juga membawa tisu untuk membersihkan darah yang keluar dari hidung Nadine.

"Minum dulu, Nyonya," ucap bi Mirna. Dengan segera Nadine meminum minuman tersebut.

"Terima kasih ya, Bi." Nadine menyerahkan gelas tersebut setelah ia meminumnya.

"Nyonya apa perlu .... "

"Tidak usah, Bi. Aku nggak apa-apa kok, aku baik-baik saja." Nadine memotong ucapan bi Mirna.

Bi Mirna terdiam, setelah itu ia membantu majikannya untuk bangun. "Baik, Nyonya. Mari saya bantu."

Setelah itu Nadine memutuskan untuk beristirahat, tubuhnya benar-benar sudah tidak dapat untuk dipaksakan lagi. Tubuhnya yang sekarang tidak seperti dulu, yang sanggup bertahan lama untuk melakukan aktivitas apapun. Dengan telaten bi Mirna membantu majikannya itu berjalan masuk ke dalam, bahkan memapahnya sampai ke dalam kamar.

"Kalau, Nyonya perlu sesuatu. Panggil bibi saja ya," ujar bi Mirna.

"Iya, Bi. Terima kasih ya, Bi." Nadine tersenyum.

Setelah itu bi Mirna beranjak keluar dari kamar majikannya. Bi Mirna akan menyelesaikannya pekerjaan rumah yang masih belum rampung. Sementara Nadine memilih untuk merebahkan tubuhnya, wanita berjilbab itu merasa jika tubuhnya terasa sangat lemas.

***

Di lain tempat, Devian tengah duduk di sofa. Pria berkemeja biru muda itu masih terpikirkan atas kejadian sebelum ia pergi ke Jepang. Jujur, Devian merasa penasaran dengan pria yang mengangkat teleponnya waktu itu. Mungkinkah jika istrinya bermain api di belakangnya, tetapi rasanya itu tidak mungkin. Devian sangat kenal bagaimana Nadine, bagaimana kepribadian sang istri.

"Nadine, mungkinkah itu benar. Apa benar jika kamu .... " Devian menggantung ucapannya. Ia mengusap wajahnya dengan sedikit kasar.

Jujur, Devian sudah rindu dengan sang istri. Ingin rasanya ia menelpon dan mendengar suara Nadine. Namun egonya lebih besar, egonya sudah terlanjur menguasai hati dan pikirannya. Devian mengacak-acak rambutnya frustasi, ia tidak rela jika ada pria lain yang mendekati istrinya. Nadine adalah miliknya, tidak seorangpun yang boleh memilikinya.

"Nadine, kamu adalah milikku, tidak seorangpun yang boleh memilikimu selain aku." Devian mengepalkan tangannya, pandangan matanya lurus ke depan.

Tiba-tiba saja pintu apartemennya terbuka, terlihat seorang wanita cantik dan juga seksi berjalan masuk. Wanita itu tak lain adalah Alexa, entah apa yang ia lakukan di Jepang. Mungkinkah mereka berdua membuat janji dan bertemu di luar negeri, atau Alexa sendiri yang sengaja menyusul Devian. Lalu tentang foto yang Nadine terima, apakah foto itu nyata. Semua itu masih menjadi tanda tanya besar.

"Sayang, kamu yakin mau kembali ke Indonesia besok?" tanya Alexa. Wanita dengan balutan dress mini berwarna hitam itu berjalan menghampiri Debian dengan segelas bir di tangannya.

Devian menoleh dan tersenyum. "Iya, utusanku di sini sudah selesai. Jadi aku harus kembali ke Indonesia."

Alexa menghembuskan napasnya, terlihat raut wajahnya kecewa. "Baiklah, aku tidak akan melarang."

"Terima kasih." Devian tersenyum.

"Sama-sama, Sayang." Alexa duduk di pangkuan Devian dan menyodorkan minuman yang ia bawa.

"Apa ini?" tanya Devian.

"Minum saja, nggak apa-apa kok," ujar Alexa dengan tersenyum.

Tanpa ragu-ragu Devian meneguk minuman tersebut, Alexa tersenyum saat minuman yang ia bawa tandas diminum oleh pria yang sangat dicintainya. Selepas itu, Devian merasa pusing, pria berkemeja biru muda itu memegangi kepalanya. Sementara Alexa tersenyum puas, wanita seksi itu meletakkan gelas yang telah kosong itu di atas meja. Dan sesaat kemudian, Devian tak sadarkan diri.

"Sebelum kamu kembali, aku harus melakukan ini terlebih dahulu." Alexa tersenyum licik. Setelah itu ia memulai rencananya.

***

Hari telah berganti, tepat pukul sembilan pagi pesawat lepas landas dari bandara Internasional Haneda Tokyo menuju bandara Indonesia Soekarno-Hatta Jakarta. Di dalam pesawat, Devian terus memikirkan dengan apa yang terjadi pada sang istri. Mungkinkah dugaannya benar, atau salah. Devian benar-benar merasa bimbang, ia berharap semoga Nadine tidak menghianatinya.

"Sayang, kamu kenapa? Kok diem terus." Alexa menatap pria yang duduk di sebelahnya.

"Ah, nggak apa-apa kok," elaknya, tidak mungkin Devian mengatakan yang sejujurnya.

"Ya sudah." Alexa tersenyum, setelahnya ia memilih untuk melihat ke luar sana.

Sementara itu, di rumah Nadine tengah sibuk dengan pekerjaannya. Sebenarnya bi Mirna sudah melarang Nadine untuk mengerjakan tugas rumah, tetapi wanita berjilbab itu menolak. Nadine juga merasa tidak enak jika harus duduk saja, mungkin karena sudah terbiasa bekerja itu yang menyebabkan ia tidak suka hanya duduk berdiam tak melakukan apa-apa.

"Permisi, Nyonya. Ada tamu yang mencari, Nyonya," ucap bi Mirna.

"Siapa, Bi?" tanya Nadine.

"Laki-laki sama perempuan," jawab bi Mirna.

Nadine terdiam sejenak. "Ya sudah, sebentar lagi aku ke depan."

"Baik, Nyonya." Bi Mirna beranjak dari hadapan Nadine. Sementara itu wanita berjilbab biru muda itu beranjak dari aktivitasnya.

Setibanya di ruang tamu, terlihat seorang wanita dan pria tengah duduk di sofa. Nadine sedikit terkejut saat melihat mereka, tak pernah terpikirkan olehnya jika mereka akan datang. Mereka adalah Rama dan Ayu, Nadine tidak menyangka jika akan kembali bertemu dengan pria yang pernah mengisi hatinya. Sementara Ayu adalah sahabat saat masih kuliah.

"Rama, Ayu." Nadine tersenyum seraya berjalan menghampiri mereka berdua.

"Hay Dine, gimana kabar kamu." Ayu menyapa Nadine, tak lupa kedua wanita itu saling cipika-cipiki.

Setelah itu, Nadine duduk di samping Ayu. "Alhamdulillah baik, kamu sendiri bagaimana. Sudah lama kita tidak bertemu."

"Iya, maaf ya waktu kamu nikah aku nggak bisa datang." Ayu menggenggam tangan Nadine.

"Iya, tidak apa-apa kok," ujar Nadine tersenyum.

"Ehem." Deheman Rama membuat dua wanita cantik itu mengalihkan pandangannya.

"Hehe, sorry ya, Ram. Maklum udah lama nggak ketemu," ujar Ayu dengan tersenyum.

"Iya, nggak apa-apa kok." Rama membalas senyuman Ayu.

"Oya, kalian mau minum apa biar .... "

"Nggak usah repot-repot, soalnya kita hanya sebentar," potong Rama dengan cepat.

"Iya, kami cuma mau ngasih undangan ini. Reuni kampus kita, kamu datang ya sama suamimu. Dia juga lulusan dari kampus kita kan, hanya beda tahun saja." Ayu menyerahkan dua undangan reuni kampus pada Nadine.

"Oh, iya." Nadine menerima undangan tersebut, terlihat jelas jika raut wajah Nadine berubah.

"Nadine, kamu baik-baik saja kan?" tanya Rama.

"Ah, iya. Insya Allah aku sama mas Devian datang," ujar Nadine dengan tersenyum.

"Harus dong, ya udah kita pamit ya. Masih banyak yang belum kita sebar, jangan lupa datang ya." Ayu bangkit dan diikuti oleh Rama. Setelah itu mereka berpamitan.

"Iya, kalian hati-hati ya." Nadine mengantar mereka berdua sampai ke teras rumah.

Rama dan Ayu segera masuk ke dalam mobil, setelah itu perlahan mobil tersebut melaju meninggalkan halaman rumah mewah milik Devian. Setelah mobil menghilang dari pandangan mata, Nadine memutuskan untuk masuk ke dalam. Wanita berjilbab itu kembali duduk di sofa. Nadine mengambil dua undangan tersebut.

"Mungkinkah aku bisa datang dengan mas Devian, sedangkan hubungan kami saja seperti ini. Apa mungkin mas Devian mau pergi bersamaku," gumam Nadine.

Setelah itu Nadine beranjak dari ruang tamu, ia melangkahkan kakinya menaiki anak tangga untuk menuju ke kamar. Nadine mengambil ponselnya, ia berniat ingin menghubungi nomor Devian. Namun setelah ia coba ternyata gagal, nomor Devian tidak bisa dihubungi. Ada rasa khawatir dalam hatinya, terlebih saat mengingat foto yang ia dapat dari nomor tak dikenal.

***

Matahari telah berada di ufuk barat, senja pun telah tiba. Sore ini Nadine memilih untuk berdiam diri di kamar. Pikirkannya kembali kacau setelah usahanya gagal untuk menghubungi nomor Devian. Kepalanya kembali terasa sakit akibat terlalu banyak pikiran. Bukan itu saja, tubuhnya yang lemah juga kembali terasa lemas. Alhasil Nadine memilih untuk merebahkannya tubuhnya.

Selang beberapa menit, tiba-tiba pintu kamar Nadine terbuka. Nampak seorang pria berkemeja putih berjalan menghampirinya, pria itu tak lain adalah Devian. Entah kapan dia sampai di rumah, Nadine benar-benar tidak tahu jika suaminya sudah kembali. Devian berjalan menghampiri sang istri dengan tatapan yang sulit diartikan. Nadine menatap heran ke arah sang suami.

"Mas Devian sudah pulang." Nadine bangkit dan beranjak dari ranjang.

"Siapa pria yang mengangkat telepon dariku waktu itu, sebelum aku pergi ke Jepang." Pertanyaan yang Devian lontarkan berhasil membuat Nadine diam seribu bahasa.

Nadine menghentikan langkahnya, ia mengalihkan pandangannya, mencoba mencerna pertanyaan dari suaminya itu. Sementara Devian kini berdiri di hadapan Nadine dengan tatapan yang mematikan. Pria berkemeja putih itu memperhatikan sang istri yang terlihat gugup. Dari raut wajahnya sudah terlihat jika Nadine tengah gugup dan juga gelisah.

"Kenapa diam, apa hubunganmu dengan pria itu! Atau ... dia selingkuhanmu!" teriak Devian. Seketika Nadine terperanjat mendengar teriakkan suaminya.

"Astaghfirullah, Mas jangan asal menuduh jika tidak ada buktinya. Demi Allah aku tidak pernah melakukan .... "

"Lalu siapa pria itu." Devian memotong ucapan Nadine.

"Dia Rama, Mas. Sahabat .... "

"Ada hubungan apa kamu dengannya," potong Devian dengan cepat.

"Kami hanya berteman, tidak ada .... " Nadine menghentikan ucapannya, ia memegangi kepalanya yang terasa semakin berdenyut.

Nadine memejamkan matanya sejenak, setelah itu ia memundurkan langkahnya. Nadine menjatuhkan bobotnya di atas ranjang dengan hati-hati. Kedua tangan terangkat dan memegangi kepalanya yang terasa sakit. Sementara Devian masih terdiam melihat sang istri seperti itu. Bahkan terlihat jika Devian tengah menahan emosinya.

"Nadine jawab .... " ucapan Devian terhenti saat melihat cairan merah menetes dari hidung Nadine.

Dengan raut wajah khawatir Devian mendekatkan istrinya dan memegangi kedua bahu Nadine. "Nadine kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan."

"Sakit." Nadine kembali memejamkan matanya menahan sakit yang luar biasa.

"Nadine kenapa .... "

"Obat, tolong ambilkan aku obat, Mas." Nadine memotong ucapan suaminya.

"Obat apa?" tanya Devian dengan penuh kepanikan.

"Di laci." Nadine menunjuk laci yang berada di samping ranjang.

Dengan segera Devian membuka laci yang Nadine tunjukkan. Terdapat satu botol obat di laci tersebut, dengan sedikit ragu Devian mengambil obat itu. Pria berkemeja putih itu melangkahkan kakinya mendekati sang istri, ia terus memperhatikan botol obat yang dipegangnya. Sementara Nadine masih memegangi kepalanya, keringat dingin mulai menetes.

"Nadine, obat apa ini." Devian menyodorkan obat tersebut. Sementara Nadine langsung merebut obat itu tanpa memperdulikan pertanyaan dari sang suami.

Dengan tangan bergetar Nadine membuka tutup botol itu, lalu mengambil dua butir obat dan langsung meminumnya. Selepas itu, Nadine meletakkan botol obat tersebut di atas ranjang. Napasnya mulai teratur, tidak seperti tadi. Namun pandangan matanya terlihat seperti kabur, Nadine memberanikan diri untuk menatap wajah tampan suaminya.

"Terima kasih, Mas," ucap Nadine.

Devian duduk di samping Nadine, lalu mengambil tisu untuk membersihkan darah yang keluar dari hidung istrinya. "Sekarang katakan, obat apa itu dan kamu sakit apa."

"Aku baik-baik saja kok, Mas." Nadine mencoba tersenyum meski rasa sakitnya belum reda.

Devian menggelengkan kepalanya. "Tidak, sekarang kita ke RS, aku mau tahu kamu sakit apa."

"Tidak perlu, Mas. Tolong peluk aku, aku capek, tubuhku lemas." Nadine mencegah Devian saat hendak bangkit dari duduknya.

Devian menatap wajah sang istri yang pucat, matanya berkaca-kaca serta butiran peluh yang membasahi keningnya. Tanpa berkata apa-apa lagi Devian merengkuh tubuh lemah Nadine. Pria berkemeja putih itu mengusap kepala istrinya yang terbalut jilbab. Sementara Nadine menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya. Nyaman itu yang Nadine rasakan.

"Nyaman, terima kasih, Mas." Setelah mengatakan hal itu, mata Nadine tertutup dan seketika tangan kanannya jatuh ke pangkuan Devian.

Detik itu juga rasa panik singgah di hati Devian, ia melepas dekapannya dan mendapati sang istri sudah tak sadarkan diri. Devian menepuk-nepuk pipi Nadine, ia mencoba untuk menyadarkan kembali istrinya itu. Namun usahanya sia-sia, mata Nadine tetap tertutup. Devian semakin panik saat melihat cairan merah kembali menetes dari hidung Nadine.

Chapitre suivant