Happy Reading
"Om Adi!" teriak Imelda pada pria yang duduk di kursi roda dalam kondisi tak sadarkan diri. Dalam kepanikan dan juga rasa takut yang menguasai dirinya, Imelda terus memanggil nama Adi Prayoga. Wanita itu tak ingin hal buruk menimpa calon mertuanya itu. "Dokter Kevin. Cepat bawa pasien ke ruang medis!" perintah Imelda pada dokter keluarga Prayoga. Untung villa itu memiliki fasilitas medis yang cukup lengkap dengan sebuah ruang operasi yang cukup memadai. Dalam keadaan darurat, seringkali Kevin membawa para anak buah Prayoga yang terluka untuk mendapatkan perawatan di sana. "Cepat pasang infus! Aku akan memeriksa luka pasien." Imelda langsung menggunting pakai Adi dan memastikan luka jahitannya kemarin tidak terinfeksi. "Sial! Lukanya mengalami pendarahan. Dokter Kevin, kita harus menghentikan pendarahannya dulu sebelum membahayakan nyawa pasien," ucap Imelda dengan wajah panik. Kedua dokter spesialis itu saling membantu untuk menghentikan pendarahan pada luka bekas operasi. Setelah semua sudah terkendali, Imelda dapat menghela nafasnya dengan lega. "Terima kasih, Dokter Kevin. Tanpa Anda di sini, aku tak tahu dengan apa yang bisa terjadi," ucap wanita itu dengan sangat tulus disertai sebuah senyuman di wajah cantiknya.
"Saya yang seharusnya mengatakan hal itu, Dokter Imelda. Tak bisa ku bayangkan jika tanpa Dokter Imelda di sini," sahut Kevin dengan tatapan lega karena telah berhasil menangani keadaan darurat itu dengan sangat cepat dengan seorang dokter idolanya.
Imelda membiarkan Kevin yang berjaga dan mengawasi Adi Prayoga di ruang medis. Wanita itu menghampiri Brian yang sedang duduk bersama Davin di sebuah kursi tak jauh dari ruangan tempat Adi berada. "Keadaan Om Adi sudah stabil kita harus segera memindahkannya ke rumah sakit," cetus Imelda sambil duduk di samping calon suaminya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Prayoga? Bagaimana kondisinya bisa separah itu?" cemas Davin Mahendra pada seorang pria yang dulu pernah cukup dekat dengannya.
Brian langsung menatap Davin yang terlihat cukup mencemaskan ayahnya. Padahal setahunya, pria itu bekerja mati-matian untuk bisa menangkap ayahnya. Namun yang dilihatnya sekarang sangatlah berbeda, bahkan sangat bertolak belakang. Bukan kebencian yang terlihat dalam sorot mata Davin Mahendra, melainkan rasa kepedulian yang begitu besar terhadap keluarga Prayoga. "Ada seorang sniper bayaran yang sengaja dikirim seseorang untuk membunuh Papa. Sayangnya, kami tak bisa menangkap sniper bayaran itu. Kami hanya bisa menduga-duga, siapa yang ingin melukai seorang Adi Prayoga," jelas Brian pada pria yang sebentar lagi akan menjadi mertuanya.
Davin terlihat terdiam lalu seperti sedang memikirkan sesuatu yang cukup berat. Pria itu tak mengatakan apapun untuk merespon perkataan Brian terhadapnya.
Imelda yang melihat ekspresi Davin, mulai mencurigai ayahnya. Ada perasaan aneh yang terlihat sangat jelas di wajah agen BIN itu. Wanita itu pun melemparkan tatapan tajam dan juga penuh tanda tanya pada ayahnya sendiri. "Apa Papa yang mengirimkan sniper itu?" selidik Imelda pada sang ayah.
"Kamu pikir Papa sudah gila! Kalaupun aku ingin menghabisi Prayoga ... akan ku lakukan dengan tanganku sendiri. Aku tidak akan rela jika ada orang lain yang mengambil nyawa Prayoga, harus aku sendiri yang menghabisinya," tegas Davin dengan suara yang dingin dan terdengar sangat mengerikan.
Brian yang mendengar ucapan Davin hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Mendadak nyalinya menciut, dia tak menyangka jika pria yang sebentar lagi menjadi mertuanya adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Setelah hal itu terucap dari mulut Davin, Brian dan Imelda saling menatap satu sama lain. Mereka berdua terlalu bingung untuk mengekspresikan perasaannya sendiri. "Kami menduga jika itu adalah ulah mafia Rusia. Karena sebelumnya, Papa sempat membatalkan kerjasama secara sepihak. Sepertinya mereka begitu murka dan terlalu bernafsu untuk menghabisi nyawa Papa." Tanpa sadar Brian mengatakan hal itu pada ayah Imelda. Seolah pria itu telah menghipnotisnya dan membuatnya mengatakan sesuatu yang tak ingin dikatakannya.
"Bodoh! Kenapa kamu mengatakan hal itu pada Papa? Bagaimana jika Papa membawa anak buahnya dan langsung menangkap kalian semua," sahut Imelda sambil menatap calon suaminya yang mendadak pucat setelah Imelda memperingatkan dirinya.
Davin justru terkekeh melihat kepanikan pasangan di depannya. Dia tak menyangka jika Imelda tidak berpikir dengan benar. Padahal biasanya dia selalu memikirkan sesuatu yang hebat. "Apa kamu sedang kehilangan akal sehatmu, Sayang?" sindirnya pada anak perempuan kesayangannya. "Kamu pikir Papa bisa langsung menangkap penjahat tanpa menunjukkan bukti-bukti," lanjutnya dengan senyuman sinis yang terlukis di wajahnya. "Apa kamu tidak sadar, justru Papa telah melakukan tindakan yang sangat berbahaya?" Davin menghentikan ucapannya dan bangkit dari tempat duduknya, memandangi sekeliling rumah itu. "Papa yang masuk ke sarang musuh tetapi sedikit pun kamu tak mengkhawatirkan aku," protes Davin pada anaknya.
"Bukankah Papa juga membawa beberapa anak buah kesini?" tanya Imelda sangat penasaran.
Davin langsung tertawa mendengar pertanyaan dari anaknya sendiri. "Aku hanya membawa Alex dan juga Marco saja. Kalau kamu mau, periksa saja mobil yang ku bawa itu. Beberapa orang yang bersamaku tadi adalah para bodyguard dari istana Prayoga. Bahkan kamu sama sekali tidak takut jika papamu akan terbunuh di tempat ini," terang Davin dengan tatapan yang terlalu sulit diartikan.
Imelda langsung berlari menuju tempat di mana mobil yang dibawa oleh ayahnya terparkir. Begitu membuka pintunya, wanita itu hanya melihat Alex yang duduk di belakang kemudi. Sedangkan Marco menatap layar monitor di depannya. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Imelda dengan sebuah teriakan kekesalan.
"Imelda!" Marco menatap wanita cantik yang selalu memancarkan aura dingin di wajahnya. "Aku hanya membantu Bos untuk melumpuhkan CCTV selama kita berangkat dan meninggalkan tempat ini," jelas seorang pria yang terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Imelda di mobil itu.
"Dan kamu, Alex! Untuk apa kamu duduk di belakang kemudi?" tanya wanita yang selalu dingin pada setiap pria yang dijumpainya itu.
Alex menghela nafasnya begitu dalam. Pria itu paling malas jika harus berurusan dengan wanita keras kepala seperti Imelda. Alex sangat mengenal anak dari atasannya itu. Wanita itu bisa saja berubah sangat berbahaya sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, Alex mencoba untuk memikirkan sebuah alasan yang tidak memicu kemarahan Imelda Mahendra. "Sebenarnya ... Bos melarangku mengikutinya sampai ke tempat ini. Namun aku terus saja memaksa dan hanya dijadikan seorang sopir bagi Davin Mahendra. Aku hanya tak ingin jika Bos terluka karena mendatangi markas musuh," terang Alex dengan hati yang berdebar-debar. Dia berharap Imelda bisa menerima sebuah alasan yang baru saja diucapkannya. Karena kemarahan seorang Imelda Mahendra bisa lebih menakutkan dibandingkan dengan kemarahan Davin Mahendra yang bahkan memiliki posisi yang patut diperhitungkan.