Calvin meletakkan amplop putih itu di meja tepat di hadapan Irene. Irene melirik amplop itu lalu matanya beralih menatap Calvin. Seolah paham bahwa Irene tidak tahu maksud dari amplop putih itu, Calvin pun menjelaskan tanpa duduk.
"Surat perceraian. Tandatangani itu dan datang ke pengadilan lusa. " ucap Calvin dengan wajah datarnya.
"A-apa???" tanya Irene sedikit terkejut.
"Gak usah pura-pura kaget gitu! Gue tahu semua kebusukan lo di belakang gue! Lo benar-benar perempuan gak tahu diri!" ketus Calvin.
Irene mengambil amplop putih itu. Membukanya perlahan. Ia membaca dengan detail isi surat dari pengadilan itu. Perlahan tapi pasti, air matanya lolos begitu saja. Irene secepat mungkin menghapus air matanya.
"A-aku..." gugup Irene yang disanggah Calvin.
"Gak usah banyak bacot! Tanda tangani itu sekarang! Gue gak punya banyak waktu buat orang kayak lo! Perempuan kotor!" emosi Calvin.
"Aku gak ada pena..." lirih Irene.
"Ck! Pakai ini" Calvin menyerahkan pena yang menempel di saku kemejanya. Irene mengambilnya dan dengan gemetar ia menandatangani surat itu. Air matanya kembali lolos dan ia langsung menghapusnya.
'Gue kira lo akan senang tapi kenapa lo malah nangis sih ren? Andai semua ini gak terjadi...' Batin Calvin. Setelah selesai, Irene kembali menyimpan surat itu ke dalam amplop, mengembalikan pena dan amplop itu pada Calvin.
Calvin mengambilnya secepat mungkin dengan tatapan kebencian. Saat Calvin akan segera melangkah meninggalkan cafe itu, Irene memanggilnya.
"Kak!" panggil Irene. Calvin yang telah berbalik badan menghentikan langkahnya sambil memejamkan matanya.
"Maafin Irene ya... Irene udah gak tahu diri selama ini. Maaf karena Irene udah jahat banget sama keluarga kakak. Jujur... Dulu aku juga sempat sayang sama kakak sebelum aku mengenal Alfi. Maafin aku... Aku ngelakuin semua ini karena cinta kak.. Cinta yang aku punya untuk kak Alfi begitu besar. Maafin aku kak... Kakak boleh benci sama aku tapi tolong, jangan benci anak kita. Irsyana gak salah apapun di sini. " Irene berucap sambil terisak. Ia tak tahu mengapa ia bisa sesedih ini padahal waktu itu dia begitu menginginkan perpisahan ini.
Calvin hanya diam mendengarkan setiap kalimat yang ke luar dari mulut Irene. Ia memejamkan matanya. Menahan segala rasa yang mengganggu pikirannya.
"Sekali lagi aku minta maaf kak... Makasih untuk belasan tahunnya... " ucap Irene dan meninggalkan cafe itu.
'Lo tahu gak sih ren? Gue memilih lo dari pada semua perempuan yang coba dekati gue tapi ini balasan lo ke gue? Gue bahkan menjaga hati gue dari godaan semua perempuan di sana demi lo. Tapi lo malah giniin gue. Ya Allah.. gue salah apa sih?? Gue harap ini adalah keputusan yang terbaik untuk kita berdua...' Batin Calvin. Ia lalu beranjak meninggalkan cafe itu.
Irene memasuki taksi dengan air mata yang terus mengalir. Ia terus menghapus jejak air mata di wajahnya.
"Hiks... apa aku sejahat itu?? Kenapa aku bisa buta cuma karena kak Alfi ya Allah?? Maafin Irene hiks..." lirih Irene saat berada di dalam taksi.
Calvin mengemudi mobilnya dengan kecepatan pelan.
Ia menangis saat ini. Sungguh ia tak pernah menyangka bahwa pernikahannya akan gagal. Ia benar-benar mencintai Irene tapi nyatanya Irene tak benar-benar mencintainya.
"Argh!! Kenapa lo jahat sama gue sih ren?!" Calvin memukul stir mobilnya.
"Gue benci sama lo! Gue benci!!! Gue menerima lo dengan sangat tulus tapi lo malah memanfaatkan semua ketulusan gue!! Sialan!!" emosi Calvin.
....
"Mom, ini hasil kelulusan aku." ucap Elven menyerahkan hasil kelulusannya.
Ivi mengambil amplop coklat itu dan membukanya dengan senyuman.
Ia membaca lembaran kertas itu dengan teliti dan senyuman yang tak luntur.
Setelah selesai membaca semuanya, Ivi memeluk Elven.
"I'm proud of you, boy..." ucap Ivi terharu.
Elven mengeratkan pelukan mereka.
"Thank You Mom... This is because of you.." ucap Elven bangga.
"Wah wah... ada acara apa ini kok pelukan Teletubbies ??" tanya Felix yang baru memasuki rumah.
Mereka melerai pelukan dan beralih menatap Felix yang baru tiba.
"Hon, Elven menjadi lulusan terbaik sekabupaten kota... Alhamdulillah kan?" ucap Ivi antusias.
"Boy? Seriously??" tanya Felix dengan senyum bangga.
Elven mengangguk. "Yes Dad.. Alhamdulillah..." balas Elven tak kalah bangga.
Felix langsung menarik Elven ke dalam pelukannya.
"I'm proud of you!! Daddy bangga sekali El... Tetap semangat ya.. Jadilah orang hebat yang bermanfaat." ucap Felix.
"Tentu Dad... Suatu hari nanti, aku akan menjadi orang hebat yang bermanfaat... Do'akan Elven Mom,Dad..." ucap Elven. Lalu ketiganya saling memeluk.
"Andai keluarga kita lengkap saat ini..." lirih Elven.
"In Syaa Allah Revin akan segera berkumpul dengan kita..." ucap Ivi.
"Aamiin... kita harus tetap berdo'a untuk kesembuhan Revin." Felix.
"Yaudah ayo kita sholat ashar dulu.." ajak Ivi.
"Ayo..." kompak Felix dan Elven.
.....
"Jadi, mas udah temuin barang bukti apa mas?" tanya Elina pada Arzam.
"Ini adalah surat di mana di dalamnya berisi tentang kebenaran mengenai Ivi." ucap Arzam.
Elina mengambil map itu dan melihat isinya.
Ia membaca dengan teliti isi surat itu.
"Apa?! Jadi kak Ivi bukan anak mereka?" tanya Elina tak percaya.
"Bukan... Orangtua Ivi itu disekap oleh mereka selama puluhan tahun lamanya."
"Berarti semuanya sudah direncanakan sama mereka mengenai hal ini?" tanya Elina dan diangguki oleh Arzam.
"Termasuk manipulasi kecelakaan pesawat itu?" tanya Elina lagi. Arzam kembali mengangguk.
"Jahat banget! Selama ini ternyata mereka pura-pura baik ke Ivi hanya untuk menikmati kehidupan enak."
jelas Arzam.
"Tapi kak Ivi pernah cerita bahwa dulu kehidupannya sulit."
"Itu juga bagian dari rencana mereka. Mereka itu gak pernah merasakan hidup susah. Mereka sengaja seperti itu agar Ivi bekerja keras untuk bisa mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Padahal mereka sudah menguasai seluruh harta orang tua Ivi. Mereka benar-benar licik. Kamu tahu, ada fakta lain yang sangat mengejutkan.."
"Apa mas??"
Arzam tersenyum.
...
Elven tengah melakukan sesuatu pada laptopnya. Ivi tengah membuat teh dan menghidangkan cemilan di piring. Sedangkan Felix tengah membicarakan sesuatu terhadap Calvin.
"Lo udah kasih suratnya?" tanya Felix.
"Udah kak" lesu Calvin.
"Terus respon dia gimana?"
"Ya akting sedih.. dia kira dia bisa bohongin aku gitu?
Seriously, aku gak pernah menyangka kalau ending
dari pernikahan aku akan seperti ini." Calvin
mengusap wajahnya.
Ivi berjalan membawa nampan ke arah mereka. Ia kemudian menghidangkan itu di atas meja.
"Lagi bahas apa?" tanya Ivi sambil duduk di dekat Felix.
"Dia udah kasih surat perceraiannya sama Irene." Felix mengambil segelas teh yang dibuat Ivi dan menyeruputnya.
"Oh... Yaudah kamu berdoa aja ya vin... Semoga apapun keputusan pengadilan nanti, adalah yang terbaik buat kamu dan kita semua." nasehat Ivi lembut.
"Iya kak makasih kak..."
"Sama-sama... Diminum dulu tehnya... Nak... Elven... Minum susu dulu nak..." ucap Ivi pada Elven yang jaraknya sedikit jauh dari mereka. Elven kemudian membawa laptopnya ke arah mereka dan duduk di dekat mereka.
"Kok punya El susu mom?" tanya Elven saat memperhatikan Akel dan Daddy-nya meminum teh.
"Iya Mom sengaja.. Susu itu lebih baik untuk anak seusia kamu... Biar kamu sehat, kuat dan cerdas." ucap Ivi sambil mengelus kepala Elven.
"Makasih Mom..." Elven mencium pipi Ivi.
"Uhuk uhuk...." batuk Felix yang disengaja. Ivi dan Elven yang paham pun langsung melirik Felix. Elven sedikit menjauh dari Ivi.
"Astaga kak lo cemburu sama anak sendiri awowkwk" tawa Calvin.
"Bodo amat" ketus Felix.
"Kamu ada-ada aja sih... sama anak sendiri juga cemburuan." Ivi.
"Ya masa dia gitu di depan aku sama Calvin... Gak banget"
"Udah ya jangan diperpanjang... Makan cemilannya. Aku ngantuk mau tidur." ucap Ivi dan akan beranjak.
"Nanti donk Hon... ini belum selesai pembahasan nya."
"Oh iya, tadi aku cek data penumpang pesawat yang Oma sama Opa Ben naiki.." ucap Elven.
Mereka semua mengerutkan keningnya.
"Duduk dulu aja kak" Calvin.
"Mom, duduk deh... El rasa memang ada yang gak beres" ucap Elven. Ivi pun kembali duduk.
"Coba tunjukkan El" ucap Felix. Elven mengutak atik laptopnya. Ia pun menunjukkan sesuatu.
"Opa sama Oma naik pesawat ini kan?" tanya Elven. Felix dan Ivi mengangguk. Calvin hanya memperhatikan.
"Tapi, aku cek di sini tuh gak ada penumpang atas nama mereka. Semua penumpang meninggal. Dan tadi aku sempat hubungi pihak bandara untuk meminta data korban dari pesawat itu, dan ini datanya." Elven menunjukkan bagian lain. Mereka kembali mengamati.
"Nah di sini memang gak ada korban atas nama mereka. Mom, kita kapan pindah ke rumah ini?"
"Sejak kamu lahir nak"
"Kita ke rumah mereka yuk... Aku harus cari sesuatu di sana. Ini benar-benar gak masuk akal." Elven.
"Kamu masih ada kuncinya kan?" tanya Felix.
"Kayaknya masih ada sih..."
"By the way, ada yang nempati rumahnya gak?" tanya Calvin.
"Ada bibi sama satpam."
"Yaudah besok pagi kita ke sana ajak Aksa, Joe sama Elina."
"Yaudah boleh. Aku cari kunci serepnya dulu ya.. Karena kayaknya aku juga mulai curiga dengan bibi."
"Yaudah aku bantu.. El, kamu sikat gigi, wudhu, lalu berdoa dan tidur ya.." ucap Felix.
"Iya Dad... Aku permisi.."
"Kalau gitu gue juga tidur deh... Bye.." ucap Calvin dan mrninggalkan mereka. Ivi dan Felix pun ikut ke kamar dan mencari kunci tersebut.