webnovel

SAD

Udara terasa begitu dingin. Liffi menoleh mencari sumber suara yang memanggil nama Gilang, kekasihnya. Gadis itu masih menggunakan seragam khas cheerleaders warna biru metalik, dan ditutup dengan coat coklat sepanjang mata kaki.

Liffi bertegun, wanita itu menggandeng mesra tangan seorang cowok. Dan cowok itu benar adalah Gilang, Gilangnya? Kekasihnya yang menghilang begitu saja satu tahun belakangan. Gilang juga terlihat bahagia saat menyambut tangan gadis cantik itu. Senyum merekah di wajahnya, gadis itupun membuat ekspresi yang sama. Mereka berjalan menuju sebuah cafe di dekat kampus. Liffi hanya bisa diam dan terpaku, sekejap kemudian Liffi berusaha mengikuti mereka pelan-pelan.

Jantung Liffi berdegup dengan kencang, hawa dingin menyelimuti leher, membuat bulu halus pada tengkuknya berdiri. Tangannya mulai terasa kaku dan dingin. Liffi terus menyembunyikannya di balik saku coat supaya tetap hangat.

Liffi kira hatinya sudah siap saat bertemu dengan Gilang, Liffi kira dia sudah melupakan Gilang, Liffi kira hatinya tidak akan sesakit ini. Tapi ternyata semuanya seakan-akan bertolak belakang. Liffi belum bisa melupakan Gilang. Hatinya terasa sangat sakit dan tanpa Liffi sadari air mata mengalir dari sudut matanya.

Sadewa saat itu tengah mencari Liffi di kampus. Ingin mengutarakan kembali perasaannya. Sadewa tak bisa menahan perasaannya yang begitu meluap-luap, begitu menginginkan Liffi. Ia membuka kaca jendela mobilnya dan melihat Liffi menangis saat mengikuti Gilang. Sadewa langsung keluar dari dalam mobil dan mengejar Liffi. Hatinya sakit melihat Liffi bersedih.

"Gilang?!" Panggil Liffi dengan lirih.

Gilang menoleh, mata mereka bertemu. Liffi tak kuasa lagi menahan perasaannya, air matanya keluar seiring dengan rasa sakit di dalam hatinya. Melihat pria yang dicintainya bersama dengan wanita lain sungguh membuat hati Liffi hancur.

"Liffi?!" Mata Gilang terbelalak. Ia melepaskan gandengannya dan mencoba mendekati Liffi. Gadis di sampingnya juga ikut terkejut tapi memilih untuk tetap diam.

"Aku kira kita masih berpacaran?!" Liffi bertanya.

"Boleh aku menjelaskannya, Liffi?" Gilang semakin mendekat.

Liffi masih menangis, tiba-tiba Sadewa memeluknya dan menepis tangan Gilang.

"Jangan menangis!"

"Hatiku sangat sakit, Tuan." Liffi tak bisa menghapus air matanya saat melihat Sadewa.

"Dia tak pantas untuk kau tangisi." Sadewa membatu Liffi mengusap air mata dengan ibu jarinya.

"Liffi ...?!" Panggil Gilang.

"Ayo kita pergi, Liffi." Sadewa menggandeng tangan Liffi dan mengajaknya berpaling.

Hati Liffi masih terasa sangat sakit, Liffi berhenti sejenak. Ia berpaling memandang wajah Gilang yang masih tampak keheranan. Selama ini Gilang juga tidak menyangka bahwa Liffi berkuliah di kampus yang sama.

"Ini aku kembalikan." Liffi melepaskan cincin dari jari manis dan melemparkannya tepat di bawah kaki Gilang.

"Mulai hari ini kita tidak ada hubungan apapun. Kita putus!" Isak Liffi.

"Liffi, tunggu!! Dengerin aku dulu!!" Gilang hendak mengejar Liffi, namun Sadewa menghalanginya. Sadewa menyembunyikan Liffi dibalik tubuh tegapnya.

"Minggir!!" Gilang menatap Sadewa penuh emosi.

"Aku kira sainganku sehebat apa?! Ternyata cuma pecundang sepertimu." Sadewa tersenyum ia semakin mempererat pelukannya.

Wajah Gilang tampak marah dan emosi, tapi dia menahannya karena memang dirinya merasa sangat bersalah. Gilang tak menampik kesalahannya, ia berjalan dengan wanita lain padahal statusnya masih pacar Liffi.

"Liffi, maafin aku, aku tak pernah bermaksud untuk mengkhianatimu." Gilang memanggil Liffi. Liffi terus menutup telinganya, enggan mendengar suara penyesalan dari Gilang.

"Boleh aku pukul dia?" Sadewa bertanya pada Liffi.

"Saya hanya ingin pulang, Tuan."

"Oke, aku akan mengantarmu pulang, Liffi." Sadewa menggandeng tangan Liffi menuju mobilnya. Liffi merasakan tangan hangat Sadewa yang mulai menenangkan hatinya.

Gilang mengepalkan tangan, melihat Liffi berjalan menjaug bersama dengan Sadewa membuatnya marah. Gilang masih sangat mencintai Liffi, dia hanya kecewa karena Liffi tak pernah menghubunginya saat berada di Negeri. Gilang mengira Liffi tak pernah sungguh-sungguh mencintainya, tak pernah merindukannya, tak pernah mencarinya, dan telah melupakannya.

"Brengsek!!" Gilang menendang tong sampah.

"Kau tidak apa-apa Gilang?" Gadis itu mendekati Gilang.

"Sorry, Ella. Tak seharusnya aku begini." Gilang tersenyum kecut pada Ella.

"It's Ok, Gilang. Aku bisa bantu menjelaskan semuanya pada gadis itu." Ella duduk di samping Gilang.

"Thanks. Aku akan menjelaskannya sendiri begitu hatinya tenang." Gilang tersenyum, Ella membalas senyuman manis dari Gilang.

ooooOoooo

Sadewa memandang lekat gadis muda di sampingnya. Gadis itu menangis, napasnya sesunggukan karena telah menangis cukup lama. Sadewa hanya bisa diam dalam geram. Ia marah pada laki-laki yang telah membuat Liffi menangis. Tapi juga menyalahkan dirinya sendiri yang tidak berdaya, ia bahkan tak tahu harus bagaimana untuk menghibur seorang wanita yang baru saja putus cinta.

"Em, apa kau mau minum?" dengan ragu Sadewa menyodorkan sebotol air mineral pada Liffi.

Mereka berdua masih duduk di bangku taman kota. Sedikit gelap karena penerangannya tidak terlalu terang. Lampu taman berpendar kuning keemasan. Sepi .... Hanya tinggal segelintir manusia yang masih di sana.

"Terima kasih." Liffi menyeka air mata dan menerima air minum dari Sadewa. Ia meneguk isinya sampai tinggal setengah.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Sadewa cemas.

"Iya, Tuan. Maaf, Anda harus melihat saya dalam keadaan seperti ini." Liffi mengatur pergerakan napasnya yang naik turun tak beraturan.

"Bukan masalah." Sadewa mengangkat tangan, hendak menepuk pundak Liffi. Ia merasa ragu, apakah hal ini wajar dilakukan pada wanita yang sedang menangis?

"Saya permisi dulu, Tuan." Liffi mendadak bangkit, lalu sedikit membungkukkan badannya hendak berpamitan.

"Jangan pergi!" Sadewa menarik pergelangan tangan Liffi. Tubuh Liffi oleng, rebah dalam pelukan Sadewa. Telinganya tepat berada di dada sebelah kiri, mendengar degupan jantung Sadewa yang berdetak cepat.

Sadewa memejamkan matanya, menikmati aroma manis bunga hibicus yang bercampur dengan kesegaran bergamot. Yah, tak berbeda dengan Black, Sadewa juga merasakan adrenalinnya terpicu karena feromon yang keluar dari tubuh Liffi.

Hangatnya. Liffi memejamkan mata, entah kenapa ia begitu menikmati dekapan Sadewa yang nyaman dan hangat.

Bolehkah aku seperti ini? Menikmatinya barang sekejap saja? pikir Liffi, ia menyadarkan dirinya kalau saat ini dia hanya sedang terbawa perasaan. Mengharapkan sesuatu dari seorang Sadewa bagaikan sebuah kesalahan. Beda status mereka bagaikan bumi dan langit.

"Liffi, terimalah cintaku." Sadewa memeluk Liffi dengan kedua lengan kekarnya yang kokoh.

"Tuan?" Mata Liffi membulat sempurna, manik matanya yang hitam berpendar, dipenuhi dengan bayangan wajah tampan Sadewa.

"Jangan panggil aku Tuan, Liffi, panggil aku Sadewa, atau Dewa." Sadewa tersenyum hangat, dia kembali memeluk tubuh Liffi, tubuh itu terlihat mungil saat bersanding dengannya.

"Saya tidak berani, Tuan."

"Sadewa!! Atau Dewa saja cukup."

"Baik, De—dewa." Liffi agak terbata, masih tidak terbiasa memanggil pria di depannya hanya dengan nama kecil.

"Ya, Liffi, panggilah namaku." Sadewa mendekatkan dahinya sampai menyentuh dahi Liffi.

Bunga hibicus tercium manis menggelitik indra penciuman Sadewa. Sadewa merasa kekuatannya terlalu meluap saat ini. Ia harus menyalurkannya atau tanpa sadar ia akan berubah di depan Liffi.

"Bagaimana?"

"Apanya, Tuan?"

"Sadewa! Jangan panggil, Tuan."

"Apanya De ... Dewa?"

"Pernyataan cintaku. Maukah kau menerimanya?"

"Erm ... ijinkan saya memikirkannya." Liffi memainkan jemarinya, seperti sudah menjadi kebiasaannya untuk bermain jari saat sedang merasa bingung dan kikuk.

"Sure. Berapa hari yang kau butuhkan?"

"Hah?? Berapa hari? Bukankah saling mengenal biasanya butuh waktu yang cukup lama?" Liffi menggaruk kepalanya padahal tidak gatal.

"Oh, apa begitu cara manusia saling berhubungan?" Sadewa mengangguk sedikit paham.

"Iya, Tuan. Tidak bisa langsung." Liffi sedikit bingung menjawab pertanyaan Sadewa.

Mana ada manusia yang tidak tahu bagaimana caranya menjalin hubungan. Sadewa sendiri sepertinya tak pernah memusingkan hal ini, karena bagi werewolf, cukup dengan bertemu mate maka hubungan cinta sampai hibungan intim pun bisa langsung dilakukan.

"Sadewa, Liffi! Sadewa."

"I-Iya, Tu ... Sadewa." Liffi terlihat sangat kikuk, tapi tak berani membantah perintah Sadewa.

"Good. Aku akan menunggu jawabanmu. Kita akan saling mengenal dulu." Sadewa mengelus kepala Liffi. Baik Sadewa maupun Liffi merasakan rasa nyaman yang sama.

"Minggu dapan, maukah kau berkencan denganku?" Sadewa memberanikan diri mengajak Liffi pergi saat gerhana bulan. Gerhana bulan terjadi memang hanya satu-dua jam. Tapi kekuatan werewolf akan melemah cukup lama.

"O-oke."

"Aku akan memberitahu tempat dan waktunya." Seulas senyum kembali tersungging di wajah tampannya.

"Baik, Tu ... Sadewa." Liffi melihat kedua mata Sadewa, kadang dia merasakan mata itu terlihat sangat tajam, tapi kadang terlihat sangat lembut. Apakah Sadewa pernah memperlihatkan tatapan lembut itu pada gadis lainnya? Entah kenapa Liffi merasa tak rela membaginya dengan wanita lain.

"Ayo aku antar pulang." Sadewa menggandeng Liffi masuk ke dalam mobilnya.

oooooOooooo

Hallo, Bellecious

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.melian

Chapitre suivant