webnovel

64. Ngapain?

Jam pulang sekolah. Lily berniat segera pulang sekolah disaat tidak ada lagi wartawan yang menahannya, tidak ada lagi gangguan lain yang membuatnya harus menunggu lama di sekolah.

Yuli menarik tas yang Lily gendong saat Lily hendak beranjak pergi meninggalkan kelas.

"Apasih Yuul? Mau ikut pulang? Atau titip salam sama Aster? Atau kak Sean mungkin?" Yulipun menonyor kepala Lily gemas.

"Ih enggak Ly. Gue cuma disuruh mastiin sama Aster, kalau lo harus cepet-cepet bilang ke mama lo. Soal lo pergi lagi ke dokter." Lily mendesah malas.

"Iya, gue pasti bilang kok. Tenang aja. Cuma gue tu semalem mau bilang tapi gue gak tega, soalnya mama kelihatan capek banget. Kayak gue tuh mau nambah beban besar dipundak mama gue tau gak Yul?"

Yuli menganggukkan kepalanya. "I know, tapi lo kudu jujur Ly. Gimanapun jujur itu adalah kebaikan."

"Iya deh, nanti pas pulang gue langsung bilang." Yuli mengelus puncak kepala Lily.

"Good."

Lily hanya tidak tega membiarkan mamanya memiliki beban fikiran lebih karenanya. Bagaimana jika mamanya terlalu banyak berfikir dan akhirnya jatuh sakit. Ugh, itu adalah fikiran yang buruk. Ayo, Lily kamu harus berfikir positif.

"Yul, gue tanya serius nih."

"Tanya apa?"

"Lo beneran suka sama adek gue? Atau cuma main-main aja?" Yuli termenung sejenak. Otaknya mencari-cari jawaban dari pertanyaan Lily. Tapi sepertinya Yuli belum menemukan jawaban yang tepat.

"Lo tahu kan Ly? Kalau gue itu punya tipe cowok yang lebih dewasa atau lebih tua dari gue. Kayak kak Sean contohnya."

"Terus?"

"Kalau Aster, dia dewasa sih. Cumaa.. gue mandang dia lebih ke adek. Lo tahu kalau gue seharusnya punya adek yang seumuran kayak Aster, gue takutnya kalau gue anggep Aster sebagai pengganti adek gue dan malah nyakitin dia." Lily merangkul bahu Yuli.

"Okedeh. Gue ngerti. Lo harus pastiin dengan jelas perasaan lo ini. Gue gak mau lo sama Aster tersakiti satu sama lain." Yuli mengangguk paham.

"Tapi jujur sama gue, lo pas tanya-tanya ciuman waktu itu. Itu lo habis ciuman sama Aster kan?" Yuli melotot. Bagaimana caranya Yuli menyampaikan pada seorang kakak bahwa dirinya sudah memperawani bibir adiknya?

"Iya, tapi cuma nempel deh Ly. Sumpah. Itupun Aster yang nyosor."

"Kok gue gak yakin ya? Apalagi sama yang dia omongin semalem."

"Emang Aster ngomong apa?"

"Dia bisa nebak orang habis ciuman cuma karena lihat bibir dan dia sendiri bilang dia pernah begituan... Itu sama siapa? Sama lo kan? Aster gak sepolos yang gue kira. Gue khawatir sama pergaulannya." Yuli kembali membelalakkan matanya. Jika boleh jujur, Yuli merasa penasaran sekarang. Sudut hatinya terasa berdenyut nyeri mendengarnya.

"Suer Ly, bukan sama gue!" Elak Yuli dengan cepat. Yuli tersenyum kecut.

"Eh, terus siapa? Setahu gue cuma lo yang deket sama Aster atau ada yang lain?" Lily mengernyit, mulai ragu.

"Lo gak tahu aja kan? Kalau disekolah Aster tu, dia populernya minta dicekik." Yuli kembali termenung, sedikit tidak suka dengan kenyataan bahwa Aster memang populer.

"Aster? Populer?" Lily tertawa tidak percaya. Lily kira selama ini adiknya hanya narsis saja.

"Beneran tau Ly, gue pernah nemenin dia latihan basket loh dan lo tahu? Disekeliling lapangan isinya cewek semua." Lily mengernyit. Ya, dengan tubuh dan wajah itu tidak heran untuk Aster bisa sangat populer.

"Berarti bukan lo?"

"Bukan." Ucap Yuli sembari menggelengkan kepala. Lily takut, pergaulan yang Aster lalui ini akibat hancurnya hubungan kedua orang tua mereka. Lily kira Aster akan baik-baik saja, tapi nyatanya Aster melampiaskan rasa sakitnya dengan cara yang salah.

Lily melirik Yuli yang sedang termenung, Lily merasa sedikit bersalah karena membuat Yuli sedih dengan kenyataan yang baru diterimanya.

Yuli maafkan Lily! Harusnya Lily tidak membahas hal seperti itu dengan entengnya.

"Angkasa jadi ikut piknik?" Lily mengangguk.

"Bagus deh. Sebenernya gue agak aneh aja sama dokter Mita yang nyuruh Angkasa nemenin lo buat lihat lautan luas doang. Kayak gimana gitu."

"Iya, cara psikiater emang gitu. Lo tahu, itu cuma semacam kedok biar Angkasa ada di deket gue terus, jadi gue bisa hadapin tuh trauma."

"Tapi kayaknya udah gak apa-apa kan?"

"Iya buat sekarang, gak tahu nanti atau besok. Bisa aja kumat."

Yuli menganggukkan kepalanya mengerti.

*

"Kata Yuli, kakak belum bilang ke mama?"

"Astagfirullah. Kalau masuk kamar ketuk pintu dulu." Lily terkejut setengah mati melihat adiknya sudah duduk di tepi ranjangnya.

"Aster lo jorok, belum mandi ngapain duduk dikasur gue?!" Ucap Lily saat sadar Aster masih menggunakan kaus basket dan masih penuh dengan keringat.

"Kakak belum bilang?" Lily mendengus kesal.

"Belum."

"Lah, kakak nunggu apa lagi?!"

"Kakak gak tahu gimana cara bilangnya dek. Kakak gak tega aja lihat mama, apalagi pas mama barusan pulang kerja malem-malem."

"Aster gak mau tau, pokoknya kakak harus bilang malam ini juga."

"Siaaap. Tenang aja dedek."

*

Baru saja tadi Lily memiliki keberanian luar biasa. Tapi kemana perginya keberanian tadi? Lily berdiri didepan pintu rumahnya melihat mamanya yang baru saja pulang kerja sedang makan sambil menonton acara televisi.

"Ly, ngapain belum tidur. Habis dari rumah sebelah ya?" Lily tersadar dari lamunannya, kemudian beranjak duduk disamping mamanya.

Lily memeluk mamanya. Lily harus bisa mengatakannya malam ini, Lily sudah mendapat semangat juga dari Angkasa.

"Ih, ngapain sih peluk-peluk. Pasti mau minta sesuatu ya?" Lily menggeleng.

"Lily kangen aja sama mama. Akhir-akhir ini gak pernah ketemu sama mama padahal satu rumah."

"Kenapa sih?"

"Maafin Lily ya ma. Kalau Lily banyak ngerepotin." Desi mengernyit, ada apa dengan anak gadisnya ini?

"Makasih juga. Mama selalu masakin Lily. Pas bangun pagi udah ada makanan, seragam udah bersih sama rapi, rumah gak berantakan lagi." Desi membalas pelukan anaknya.

"Iya, sama-sama sayang. Kamu anak mama, jadi enggak ngerepotin mama. Mama seneng bisa ngelakuin pekerjaan rumah. Seenggaknya tugas-tugas itu bisa buat mama lupa sejenak tentang permasalahan papa kamu."

"Mama jujur sama Lily, mama masih sayang sama papa?" Desi menghembuskan nafas panjang.

"Kalau masih ditanya, tentu aja masih sayang Ly, gimanapun separuh hidup mama itu ya sama papa kamu." Ugh, rasanya Lily semakin ragu untuk mengatakannya.

Lily tersenyum. "Ma..."

"Kenapa?"

"Lily mau tanya. Kalau misal Lily pergi ke dokter lagi gimana?" Desi menatap anaknya penuh kekhawatiran.

"Kenapa? Kamu ada masalah? Pergi aja kalau memang mau pergi. Mama gak masalah."

"Enggak ada masalah kok ma. Tenang aja."

"Ya udah, mama khawatir banget Ly, sama kamu, sama Aster juga. Apalagi setelah ngalamin kejadian pas papa nyakitin kalian."

"Mama pasti capek kerja kan?"

"Capek, tetep capek Ly. Tapi kalau inget mama kerja buat anak mama. Mama seneng-seneng aja. Kayak gak jadi capek. Gimana? Mau temenin mama spa besok minggu?"

"Mau ma. Tapi mama aja yang spa. Lily gak usah."

"Loh kenapa? Udah lama gak habisin waktu bersama lho. Mama kangen jalan-jalan sama anak mama ini." Lily terkikik saat mamanya mencubit sebelah pipinya.

"Oke ma."

"Sekarang tidur sana udah malem besok sekolah. Kalau mama besok ke pengadilan." Lily kembali memeluk mamanya dengan erat.

"Mau Lily temenin?"

"Gak usah sayang."

"Mama semangat ya!"

"Iya, udah sana ti..."

Drrrt!

Pintu terbuka lebar, menampilkan satu kepala yang membuat Desi maupun Lily memekik terkejut.

"Aster! Kamu habis dari mana? Ngagetin aja!" Ujar Desi memarahi anaknya. Desi tidak masalah anak laki-lakinya ini pulang malam sekalipun, karena dia laki-laki. Tapi Desi kesal karena Aster tidak meminta izin dulu padanya.

"Paling dari rumah Yuli ma." Jawab Lily, saat Aster mengunci pintu.

"Yuli temen kamu Ly? Ngapain?"

"Tanya aja tuh anaknya. Lily mana tahu."

Aster meringis, menunjukkan deretan gigi putihnya. Gigi kelinci itu, kenapa tidak bertengger dalam gigi Lily dan malah ada di gigi adiknya saat lahir?

"Ya udah ah sana. Kalian tidur. Mama mau istirahat juga." Putus mamanya, baik Aster maupun Lily pergi ke kamar mereka masing-masing tanpa bantahan lagi.

Jangan lupa power stone!!!

komentar juga deng, oke?

Chuuby_Sugarcreators' thoughts
Chapitre suivant