Lily mengipas buku yang ada ditangannya dengan kencang, hingga angin yang muncul juga bisa dirasakan Yuli yang ada disampingnya.
"Panas banget gila." Keluh Yuli yang entah sudah keberapa kali Lily tidak ingat. Intinya sudah puluhan kali.
"Iya, mana lagi mati lampu. Malah disuruh kumpul satu angkatan di aula." Tambah Lily.
"Demi pergi ke Bali." Soal itu saja Yuli semangatnya nomor satu.
"Lo gak lihat apa? Satu aula gini pada rebutan oksigen. Coba kalau ini ruangan ketutup. Udah pasti ada yang pingsan sekarang." Lily melihat kesekitarnya, beberapa ada yang mengipaskan buku sama sepertinya, sebagian lagi ada yang menggunakan kipas angin portabel. Pasti rasanya sangat nikmat.
"Lagian yak, harusnya pergi pas semester satu kemaren, ini pergi pas mau kenaikan kelas." Lily menaikkan kedua bahunya acuh.
"Gara-gara pergantian kepala sekolah kayaknya." Yuli dan Lily langsung menoleh kearah samping Lily.
"Lah, lu ngapain disini Ren?"
"Duduk." Jawab Rena enteng.
"Gue tau lo duduk, maksud gue kok lo gak ngumpul sama kelas lo?" Tanya Yuli kesal.
"Males aja. Soalnya banyak yang caper ke Doni."
"Lah, yang di caperin si Doni kok lo yang gak suka gitu?" Tanya Lily penasaran, Yuli juga sama penasarannya dengan Lily. Yang mereka tahu, Rena adalah anak pendiam ditempat dan dalam kondisi apapun.
"Hehehe. Gak tahu, males aja." Yuli dan Lily sontak menatap Rena aneh.
"Malah ketawa nih anak."
"Angkasa kayaknya gak bisa ikut study tour ini deh." Ucap Rena membuat Lily penasaran, tidak dengan Yuli.
"Loh kenapa?"
"Kamu belum dikasih tahu Ly?" Lily menggeleng, memang ada hal apa yang membuat Angkasa tidak bisa mengikuti study tour yang hanya bisa dinikmati satu kali seumur hidup ini?
"Angkasa ada olimpiade matematika di amerika."
"Yang bener?" Sewot Yuli dan Rena menganggukkan kepalanya antusias.
"Tuh anak otaknya seencer apasih? Sampe semua olimpiade diembat sama dia." Yuli bertepuk tangan, mengingat Angkasa pernah memenangkan olimpiade fisika belum lama ini dan sekarang akan mengikuti olimpiade matematika.
"Kamu yang pacarnya harusnya tahu dong Ly."
"Gue bukan pacarnya Angkasa kok."
"Hah? Kok bisa?!" Ucap Yuli dan Rena bersamaan, membuat hampir seisi ruangan aula menatap pada mereka.
"Kalian bertiga yang ribut sedari tadi, jika tidak ingin mendengarkan setidaknya diam. Jangan ganggu antusias anak-anak lain."
Sontak Lily dan kedua orang disampingnya ini terdiam, mulai berpura-pura memperhatikan guru yang sedang menjelaskan di depan sana. Mereka tidak menyadari bahwa sudah ada guru yang berbicara didepan sana.
"Sst, Ly." Yuli menyenggol lengan Lily dan membuat Lily mendesis kesakitan. Luka yang didapatkannya dari Gita belum kering total dan Yuli malah menyenggolnya seperti ini.
Yuli segera menyatukan kedua telapak tangannya, tanda permintaan maaf sembari meringis jahil.
"Apa?" Jawab Lily pelan hingga nyaris tak terdengar dengan mata yang melirik sedikit-sedikit.
"Berarti lo gantungin Angkasa dong?" Rena mencondongkan tubuhnya kesamping agar bisa mendengar apa yang Yuli ucapkan, sedikit mengganggu Lily sebenarnya.
"Gantungin gimana?" Tanya Lily keheranan. Perasaan Angkasa fine-fine saja dan tidak terlihat ada masalah. Yang sedang banyak masalah justru Lily.
"Kan Angkasa udah nyatain cinta ke kamu." Sambung Rena.
"Iya, pas di acara pembukaan film sebagai Angkasa." Tambah Yuli.
"Kamu udah kasih jawaban belum?" Tanya Rena dan membuat mereka semakin merapatkan tubuh kearah Lily. Tatapan mata mereka memang menuju kearah depan, dimana guru menerangkan apa-apa saja yang akan mereka lakukan saat study tour nanti. Tapi, mulut mereka tetap bergerak untuk berbicara satu sama lain.
Lily rasa Angkasa tidak mempermasalahkan hal itu. Buktinya hubungan mereka baik-baik saja sampai saat ini. Atau mungkin Lily yang masih terlalu fokus pada traumanya? Lily memang sedikit menghindari Angkasa belakangan ini. Lily juga tidak tahu, apa penyebabnya tidak bisa berdekatan dengan Angkasa dalam waktu yang sedikit lama.
"Emang itu bisa disebut nembak ya?" Tanya Lily balik, membuat Rena dan Yuli geleng kepala. Tidak mengerti bagaimana jalan fikiran Lily sama sekali.
*
Lily bersyukur mendapati para wartawan yang berkumpul di depan sekolahnya sudah tidak seramai beberapa hari lalu. Jadi Lily bisa keluar dengan tenang tanpa adanya gangguan.
Lily tidak perlu merasa tidak enak hati lagi, karena meminta bantuan pada papanya atau kak Sean untuk mengeluarkannya dari sekolahnya. Lily juga tidak perlu mengganggu Angkasa yang sedang mengikuti kelas tambahan, untuk menghadapi olimpiade.
Begitu Lily masuk kedalam ruang praktek, Lily langsung disambut oleh Dokter Mita. Tidak seperti saat Lily pertama kali kesini, Lily harus menunggu sedikit lebih lama. Kali ini sepertinya dokter Mita lah yang telah menunggu Lily.
"Hai Ly." Sapa dokter Mita ramah pada Lily.
"Hai juga dokter Mita." Dokter Mita mempersilahkan Lily duduk di hadapannya.
"Kali ini kamu sendirian ya Ly. Gak ditemenin ayah kan?" Lily merasa sedikit aneh saat dokter Mita menanyakan hal itu, mungkin itu cara dokter Mita untuk membuka percakapan kepada pasien. Lily masih berusaha untuk berfikir positif, menyampingkan bahwa dokter Mita ini adalah teman baik dari Gita, selingkuhan papanya.
"Iya dong." Dokter Mita tersenyum.
"Sekarang, apa yang ingin kamu sampaikan dulu? Sebelum kita lanjut ke sesi berikutnya." Lily berfikir sejenak.
"Aku udah coba hitung mundur pas sesak itu datang. Tapi kayaknya gak ampuh."
"Hmmm, kira-kira kenapa ya? Apa ada hal atau faktor lain yang membuat kamu tidak bisa mencegah sesak itu. Seperti marah?"
"Oh dokter pasti tahu kalau aku gampang marah."
Dokter Mita tertawa. "Benar juga, bagaimana bisa aku melupakan informasi tentang pasienku yang satu ini."
"Aku takut, aku gak bisa ikut study tour." Ungkap Lily sedih. Lily tidak ingin bepergian jauh, takut jika suasana hatinya akan merusak kesenangan semua orang.
"Study tour?"
"Iya, sekolahku telat ngadain study tour. Seharusnya semester satu kemarin, tapi baru mau diadain akhir tahun ini."
"Kesempatan bagus tuh."
"Maksudnya?"
"Dari yang aku perhatikan, kamu terlalu terikat sama masa lalu kamu. Kamu harus maju dan hadapi kedepan. Coba lihat pemandangan laut yang luas, dokter kira akan membuat hatimu merasa sedikit bebas. Siapa tahu dengan melihat lautan yang luas bersama pacarmu akan membuat sesakmu menjadi berkurang. Kamu boleh coba tips ini saat study tour nanti." Lily menghela nafas, rasanya tidak mungkin.
"Dia bukan pacarku dok. Dia juga gak ikut study tour karena ada olimpiade." Dokter Mita terdiam sejenak.
"Gak masalah. Intinya kamu refresh dulu otak kamu dengan pergi menikmati pemandangan. Dokter rasa itu akan membantumu walau sedikit."
"Oke dok. Berarti gak ada masalahkan aku ikut?"
"Kenapa ada masalah? Gak ada. Masalahnya itu ada dihati kamu sendiri. Kamu harus berhasil menata hati kamu, semangat!" Lily tersenyum, setelah menerima semangat dari dokter Mita. Lily merasa bisa melakukannya dengan baik.
Lily harus segera pulih.
"Sebelum pulang, kamu bisa tebus obat ini di apotek bagian belakang rumah sakit." Lily memperhatikan resep obat yang diberikan oleh dokter Mita.
"Obat? Aku kira, aku gak butuh obat-obatan seperti ini."
"Ini resepku, berdasarkan penglihatanku kamu butuh ini. Karena saran kecilku tidak berhasil, semoga saja ini obat pertama dan terkahir yang ku resepkan untukmu Ly."
Lily meremas kertas resep itu dengan kencang. Pada akhirnya, Lily kembali lagi kepada obat-obatan ini lagi.
"Semoga saja." Gumam Lily. Berharap ini adalah kali terkahir mendapatkan resep obat untuk sakitnya.