webnovel

Sumpah Raden Sastra

Malam itu... Gerimis datang membawa suasana yang begitu lembab dan dingin, di bangku bambu terdapat seorang pria yang sedang terdiam, merenung dalam sunyi. Matanya menerawang jauh ke masa lampau, menembus ingatan yang terjadi beberapa tahun silam.

Kala itu Raden Sastra masih berusia 6 tahun, kerajaan Negaran masih dipimpin oleh mendiang ayahnya. Selama kepemimpinan Ayahnya, tidak hanya kediaman istana, semua rakyat yang di pimpin olehnya juga ikut merasakan kemakmuran.

Tegas, berani. Bagaikan singa di Medan perang, namun penuh kasih sayang dan kelembutan pada saat berhadapan dengan keluarga dan rakyatnya. Raja Brawira Sastra... Ayah dari Raden Sastra, sangat di cintai rakyat bahkan banyak musuh yang luluh padanya.

"Dengar Nak... Suatu hari nanti kau pun akan menjadi pemimpin di kerajaan ini. Kau harus tahu, bahwa menjadi pemimpin hanya memiliki 2 sifat" ucap Prabu Brawira terhadap putra mahkota dengan nada yang penuh kasih sayang dan senyum yang lembut.

"Sifat apa saja itu Ayah?" tanya putra mahkota dengan tatapan serius.

"Kejam dan kasih sayang" jawab Prabu sambil menunjuk kedua jarinya.

"Kejam... Pada pemberontak dan ketidak adilan. Kasih sayang untuk sesama makhluk. Ketika kau mendapati pemberontak, baik dalam masyarakat atau bahkan istana, maka kau bisa langsung menghukumnya. Jangan biarkan hidup meskipun pemberontak itu meminta ampun dan bersumpah untuk setia mengabdikan hidupnya. Jangan berikan ampunan meskipun pemberontak itu sendiri adalah kerabat atau bahkan saudaramu sendiri" ucap Prabu Brawira kemudian menatap seksama pada seorang tangan kanannya yang berdiri tepat di belakang Raden. Birok Ireng.

"Itu berarti ayahanda sudah tau, kalau paman akan berhianat" bisik Raden Sastra dalam hati sambil mengingat-ingat kejadian waktu itu.

Ada beberapa pertanyaan yang ada di benak Raden dalam renungannya, jika memang Prabu Brawira sudah tahu kalau adiknya berhianat... Kenapa ia tidak mencegahnya pada saat itu juga? Kenapa ia terbunuh dengan begitu mudah dan membiarkan Birok Ireng menang menguasai tahtanya. Raden larut dalam pikirannya.

"Raden kau perlu..." Kirana terhenti di ambang pintu ketika melihat Raden sedang melamun di bangku bambu.

Kirana ragu, apakah ia harus mendekat atau membiarkan Raden sendiri terlebih dulu. Tapi cuaca masih gerimis dan semakin dingin, ia harus memberikan kain yang ia bawa supaya Raden menyelimuti tubuhnya.

"Ada apa?" tanya Raden masih dengan tatapan kosong ke depan.

Kirana tersentak ketika Raden yang termenung tiba-tiba bertanya padanya. "I... Ini, aku bawakan kain untukmu. Apa kamu tidak ingin masuk? Hawanya semakin dingin di luar" ucap Kirana sambil menyodorkan kainnya.

"Apa yang sedang kamu renungkan? Serius sekali. Kamu baru sembuh, jika berlama-lama diluar dengan cuaca seperti ini, nanti bisa meriang" ucap Kirana kemudian duduk di sebelah Raden.

Raden hanya terdiam, bahkan kain yang Kirana berikan hanya di taruh di atas pangkuannya saja. "Apa kau memikirkan kejadian tadi siang?" tanya Kirana.

Mendengar pertanyaan Kirana, Raden langsung beralih menatapnya tajam. "Eum... Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi" ucap Kirana menundukkan kepalanya sambil meremat jari-jemarinya.

"Apa kau masih kesal padaku?" Raden berbalik bertanya.

"Kesal?" Kirana mengerutkan kedua alisnya.

"Ya. Gara-gara pohon itu aku tebas" ucap Raden.

"Jika aku boleh jujur, aku tidak hanya kesal padamu tapi aku juga ingin menjambakmu bila perlu" ucap Kirana geram. Sedangkan Raden menatapnya datar. "Tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi. Dan aku... Harus menerima nasibku untuk terjebak disini" Kirana membuang nafas panjang dan tertunduk sedih.

Raden menatap dalam, ada perasaan bersalah. Tapi di sisi lain ia juga masih membutuhkan bantuan Kirana, hanya saja Raden tidak bisa berkata jujur.

"Jadi... Seperti apa duniamu itu? Dan siapa rajamu? Siapa tau bisa aku kuasai suatu hari nanti!"

Kirana menatap heran dan mengangkat satu alisnya, kemudian tertawa geli. "Kenapa kau malah tertawa!" protes Raden.

"Maaf Raden.... Kau ini konyol sekali haha" Kirana tertawa sampai mengeluarkan air mata.

"Jika aku memiliki rakyat sepertimu, akan aku gantung di alun-alun!" ucapnya sambil melirik tajam.

"Ish... Kau ini kejam sekali. Baiklah Raden Sastra... Maafkan hamba karena sudah menertawakanmu. Tapi di negeriku sekarang ini sudah tidak di pimpin oleh seorang raja, tapi dipimpin oleh Presiden" jawab Kirana mulai serius.

"Presiden? Makanan apa itu?!"

"Astaga. Bukan makanan Raden! Tapi Presiden, presiden adalah orang yang memimpin negeriku. Ya... Dia memang tinggal di istana juga, sebenarnya tidak jauh berbeda antara raja dan presiden. Hanya julukan yang lebih modern" jelas Kirana.

Tapi sepertinya apa yang dijelaskan oleh Kirana tetap belum bisa dicerna oleh Raden. "Apa presidenmu itu juga bisa terbang? Dia juga sakti mandraguna? Apa dia juga memiliki prajurit?"

Ish... Kenapa dia jadi penasaran dan banyak sekali bertanya! gumam Kirana dalam hati menatap Raden heran.

"Dia punya prajurit. Ada TNI, dia juga bisa terbang tapi menggunakan helikopter, dan kalau sakti mandraguna... Aku tidak tau" Kirana mengangkat kedua bahunya.

"Dia terbang menggunakan apa?" Raden meminta Kirana mengulang ucapannya.

"Helikopter"

"Apa itu?"

"Burung besi yang memiliki baling-baling di atas kepalanya" Kirana mencoba menjelaskannya dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti.

"Aku belum pernah melihat makhluk yang seperti itu" Raden bergumam sambil memegang dagunya. Ia berfikir keras seperti apa bentuk burung besi yang ada baling-baling di atas kepalanya.

"Dia benar-benar terlihat konyol ketika bingung seperti itu" gumam Kirana dalam hati sambil menahan tawanya.

"Kau tau? Dulunya negeriku juga dipimpin oleh para raja, tapi karena adanya peperangan dan penjajahan akhirnya dari kerajaan di ubah menjadi kepresidenan. Dan, presiden pertama yang memimpin bernama IR.Soekarno. Menurut kisah yang tertulis, dia memiliki keilmuan dan orang yang sakti loh. Tapi ia lengser, dan harus mengalah turun dari keperesidenannya demi keselamatan rakyat. Dia adalah presiden yang sangat mencintai negeri dan rakyatnya, dia tidak ingin ada lagi perang sesama saudara, oleh karena itu dia lebih baik turun tahta"

Raden Sastra menyimak dengan sangat serius, tapi entah kenapa setelah mendengar penjelasan dari Kirana, Raden kembali termenung seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

Raden beranjak dari tempat duduknya, ia menatap jauh ke luar menembus kegelapan. "Dia adalah presiden yang sangat mencintai negeri dan rakyatnya, dia tidak ingin ada lagi perang sesama saudara, oleh karena itu dia lebih baik turun tahta" ucapan Kirana kembali terdengar di telinganya.

"Ada apa Raden?" tanya Kirana.

"Aku jadi teringat ayahanda" ucap Raden kemudian berbalik menatap Kirana dalam.

"Aku paham sekarang... Ayahanda rela mati demi melindungi rakyat dan cintanya kepada Negaran, dia tidak ingin rakyat tercerai berai dan perang melawan negerinya sendiri." ucap Raden. Pria itu berbicara dengan nada tenang, tapi Kirana tau kalau sebenarnya ia sedang menahan gejolak di hatinya.

"Aku bersumpah akan menghancurkan orang yang telah berkhianat dan memfitnah ayahanda, aku bersumpah akan memenggal kepalanya dan memajangnya di alun-alun istana" ucap Raden mengepalkan tangannya.

Kirana melihat dendam membara di tatapan matanya, Setelah Raden berucap seperti itu... Daaarrr... Petir menyambar dengan kencang, membuat Kirana tersentak kaget dan mematung.

Chapitre suivant