webnovel

Tempat Asing

Clap... Clap... Clap... Suara embun menetes diantara dedaunan, meluncur bebas dari daun satu ke daun lainnya. Udara pagi yang dingin, suasana sunyi, nyanyian burung hutan perlahan mengumpulkan kesadaran Kirana

"Aduh, leherku"

Kirana terbangun dari sisi tempat tidur dengan posisi duduk melipat kedua tangan menopang kepalanya. Rasa pegal dan kesemutan, seluruh urat di tubuh terasa kaku, mata sayunya perlahan terbuka memulihkan pandangan dan tenaga. Ia melirik ke atas dipan yang menopang kepalanya tadi. Disana terdapat sesosok pria yang sedang terbaring dengan tubuh yang penuh luka.

"Siapa dia?" Kirana terpekik.

Ia terperanjak mundur melihat ke seluruh ruangan rumah yang masih terbuat dari papan kayu dan anyaman bambu itu, sederhana, semua terbuat dari kayu dengan atap jerami.

"Tempat apa ini? Pakaianku kenapa... "

Kirana merasa bingung, pakaian seragam PT yang terakhir ia kenakan kini berubah menjadi kain kemben dan bengkung sebagai pengikatnya. Tidak ada kaos, bahkan celana jeans yang dikenakan menghilang entah kemana.

Sesaat Kirana terdiam mengingat ingat kejadian sebelumnya, namun semua ingatannya kosong. Bagaimana cara dia bisa terdampar di rumah itu iapun tidak mengingatnya sama sekali. Hanya teringat wajah si kakek dan makam keramat di tengah hutan sore itu.

"Mesi... Dila... Kalian dimana?" suaranya lirih bergetar. "Sebenarnya aku diamanaaa!"

Berteriak Reflek, Kirana langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangan lalu melirik kearah pria yang terbaring di atas dipan. Meskipun teriakkannya cukup kencang, tapi pria itu sama sekali tidak terganggu sedikitpun. Kirana mendekat mengamati pria itu, pelan tapi jelas Pria itu terdengar melenguh. Mulai sadar.

"Sebelum dia bangun, aku lebih baik pergi dari rumah ini. Tapi kemana aku harus pergi?! Tempat apa sih ini!." bisiknya dalam hati.

Ditengah kepanikan dan kebingungan yang entah harus berbuat apa. Pria itu sebentar lagi akan sadar dan Kirana sama sekali tidak tahu harus bersembunyi dimana, kabur kemana.

"Haduuhh. Terserah pokoknya aku harus keluar dari sini"

Seetttt. Tangannya tertahan dan digenggam erat. Seketika itu nafasnya berhenti, mematung, sedikitpun Kirana tidak berani bergerak dari posisinya berdiri.

"Dinda. Jangan pergi."

"Dinda? Siapa Dinda?" Jantung berdegup kencang, takut, dan genggaman tangan dingin itu erat sekali.

"Air... Air..." ucap pria itu lagi, genggaman tangannya mulai lemah.

Kesempatan. Kirana berjalan pelan agar si pria tetap memejamkan matanya dengan begitu, dia tidak akan melihatnya kabur.

"Uhuk... Uhuk... Air..." batuk kering, suara yang lemah. Kirana berhenti lalu berbalik mengintip pria itu dari balik pintu kamar.

"Apa disini tidak ada orang lagi? Jika aku pergi bagaimana kalau dia mati?"

Ada dua pilihan untuknya saat itu, pintu keluar rumah atau pintu dapur. Setelah mempertimbangkan keputusan Kirana pun memilih melangkah menuju pintu keluar. "Lebih cepat pergi lebih baik daripada terjebak masalah!"

"Air"

Suara lemah itu membuat hati bergetar, Kirana terhenti. Antara kasihan, juga kesempatan untuk dirinya kabur. Tapi sepertinya rasa kemanusiaan menang dari keegoisannya. Kirana berlari ke arah dapur dan mengambil air minum untuknya. Dalam hatinya berkali-kali minta maaf pada si pemilik rumah karena telah lancang masuk dan menggeledah sana sini untuk menemukan gelas.

"Aduuhh. Dimana gelasnya si!" kesal karena dari tadi yang ia temukan hanya potongan Bambu yang tersusun rapi di atas meja kayu.

Ini jaman apa! Mau mencari sampai kesemutanpun ga bakal dapat gelas plastik ataupun gelas kaca, huh. "Masa ini ya gelasnya?" Gumam Kirana mengamati potongan bambu di tangannya. Sudahlah, kelamaan. Ia mengambil potongan bambu itu dan menuangkan air ke dalamnya.

Meskipun ada rasa ngeri saat melihat luka-luka itu, Kirana tetap berusaha memapahnya duduk dan menyuapi air. Gemetar, takut. Takut jika pria ini mati di tangannya trus tiba-tiba ada orang datang maka dia akan kena masalah.

"Dinda... Dinda Ayu..." rintih pria itu.

"Aku, Aku bukan... "

"Kenapa kamu menghinatiku Dinda, jika aku memiliki salah aku minta maaf" ucapnya lirih.

"Pria aneh ini bergumam ga jelas, tapi terdengar sangat bodoh. Jika yang namanya Dinda itu sudah menghianatinya tapi kenapa malah dia yang ingin meminta maaf. Bodoh" gemas sendiri.

Tapi ini bukan urusannya, di benak Kirana harus mencari pemilik rumah ini lalu ia harus pergi dari tempat aneh ini. Perlahan Kirana meletakkan kepalanya dan pria itu kembali tertidur, lukanya sangat parah seperti tersayat benda tajam. Ngeri sekali, membuat bergidik dan merasa ngilu siapapun yang melihatnya.

*****

Kirana berjalan menyusuri tempat asing itu, di jarak 50 meter ada beberapa rumah dengan bentuk yang sama. Wajahnya yang layu berubah cerah seketika, Kirana bergegas ke sana, meminta bantuan seseorang untuk merawat pria di rumah kayu, dengan begitu dirinya bisa pulang ke tempat asalnya bagaimana pun caranya. Namun, belum sampai menemui penduduk langkah kakinya terhenti, ada sesuatu pemandangan yang tidak beres. Kirana bersembunyi dibalik pohon dan mengawasi apa yang terjadi.

"Ampun Tuan, kami tidak tahu dan kami juga tidak pernah melihat seseorang datang kesini dengan keadaan yang terluka" ucap seorang pria paruh baya bersimpuh dengan tangan menyembah gemetar.

"Jika kalian berani bohong, kalian semua akan diberi hukuman sebagai penghianat dan akan dihukum penggal! Huh!" suara lantang dari seorang pria. Pemimpin dari para gerombolan prajurit. Pria itu bersikap dan berbicara kasar, penampilan mereka juga aneh untuk Kirana. Masing-masing pria membawa tameng ditangan kirinya, pedang di pinggang, dan tombak ditangan kanannya.

"Apakah mereka ini prajurit? Tapi bukankah ini sudah jaman modern? Aduh sebenarnya aku dimana si?!" gumamnya khawatir sambil terus mengawasi keadaan.

Usai menggertak dan mengancam penduduk, gerombolan para prajurit kasar itu langsung meninggalkan tempat tanpa memperdulikan orang tua yang tersungkur di bawah kakinya. Kondisi sudah aman sekarang, prajurit-prajurit itu juga sudah tidak terlihat lagi. Meskipun ragu dan tidak ada satupun penduduk yang ia kenal, tapi Kirana berusaha mendekati mereka. Selain mencari informasi juga ia ingin meminta pertolongan untuk pria yang terluka itu.

"Permisi Pak, Bu... Saya... " belum juga slesai bicara, pria paruh baya dihadapannya langsung memotong pembicaraan.

"Sekar. Kau masih hidup?" ucap bapak-bapak paruh baya itu.

"Sekar? Masih hidup?" Kirana tidak mengerti, ia menoleh kebelakang, siapa tau bapak di depannya itu sedang bicara dengan seseorang dibelakangnya. Tapi cuma ada Kirana di hadapannya.

"Sekar! Apa kamu tidak ingat? Tiga hari lalu kamu ditusuk oleh para prajurit itu dengan tombak, paman kira kamu telah tewas, karena kamu tidak terlihat sejak itu."

"Saya... Saya bukan Se... "

"Sekar, lebih baik kamu jangan keluar rumah dulu, jika prajurit tadi tau, mereka pasti akan membunuhmu" ucap wanita yang berdiri disebelah paman itu, mungkin dia istrinya.

Kirana terdiam bingung, ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang mereka katakan. Kenapa orang-orang memanggilnya dengan nama Sekar? Kenapa mereka mengira kalau dirinya tewas? Padahal selama ini dia bekerja dengan fisik yang sehat walafiat. Berbagai pertanyaan bertumpuk di benaknya. Kirana masih terdiam, sedangkan sepasang manusia di depannya itu masih menatapnya menunggu jawaban.

Chapitre suivant