webnovel

FIRST LOVE | 40

Merasakan adanya kehadiran dari seseorang, Lova perlahan mengangkat wajahnya dari novel yang sedang dia baca. Lova berpaling ke samping ke arah koridor yang menghubungkan bagian gedung dengan taman belakang sekolah. Senyum manisnya seketika terbit ketika melihat sosok Axel yang sedang berjalan ke arahnya. Lova tak melepaskan tatapan kedua matanya pada pacarnya itu.

"Hey ... Axe, baru datang?" tanya Lova ketika Axel sudah berdiri di depannya.

Axel terkekeh kecil seraya menganggukan kepalanya. Menjatuhkan bokongnya di atas rerumputan yang dipotong rapi. Axel duduk dengan kedua lutut ditekuk di samping Lova.

Kening Axel mengerut samar. "Baca apaan lo, my Lov?" tanya Axel sambil melongok cover novel yang dalam posisi terbuka di atas pangkuan Lova membuat gadis itu reflek menunduk menatap pada novel. "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin." gumam Axel membaca judul novel itu. Axel melirik Lova.

Lova mengangguk membenarkan. Setelah sedikit melipat pojok kanan atas pada lembar halaman sebagai pembatas. Lova menutup novelnya. Memutar kepalanya menghadap Axel. Lova menatap manik mata laki-laki yang juga sedang menatapnya itu dengan sorot dalam.

Lova tersenyum kecil. "Novel salah satu karya penulis Tere Liye, tentang cerita romansa dua orang yang saling mencintai. Tapi, juga saling memendam perasaan masing-masing. Mereka terlalu takut melewati batasan. Batasan yang sebenarnya hanya ciptaan mereka sendiri. Ketika keduanya saling tahu perasaan masing-masing, keadaan mereka sudah berbeda."

Axel mendengus pelan. Lalu menggelengkan kepalanya. "Gak ngerti gue. Bacaan lo terlalu berat, my Lov."

Lova tertawa kecil. "Gak akan ada yang terasa berat untuk sesuatu hal yang kita sukai, Axe. Buat Lova basket itu terlalu berat, karena Lova gak suka basket. Tapi, beda ceritanya kalau basket buat Axe."

Axel manggut-manggut. Namun gerakannya seketika terhenti ketika tersadar akan sesuatu. "Bentar-bentar." Axel mengangkat satu tangannya. "Kok, lo bisa duduk santai di sini sih, my Lov? Lo, bolos?" tanya Axel sambil memicingkan kedua matanya menatap Lova curiga.

Lova terkekeh kecil sambil mengacak rambut Axel pelan. "Lova bukan Axe yang berani bolos, ya ... Bu Dema izin, Axe. Beliau sedang sakit. Jadi kelas kita jamkos dan dengan baik hati Bu Dema gak ada kasih tugas apa-apa."

Axel berdehem pelan. Mendadak menjadi salah tingkah sendiri dengan tindakan tiba-tiba Lova. Dia? Salah-- tingkah? Hell! Impossible!

Kedua alis Lova terangkat. Lova menatap Axel bingung. "Kenapa, Axe?" tanya Lova hati-hati ketika melihat Axel bergerak dengan tidak nyaman.

"Hah!" Axel terkesiap sedikit. Reflek langsung menoleh menatap Lova. Axel menelan salivanya kasar ketika tatapannya bertemu dengan mata teduh Lova. "O ... oh? Kenapa? Lo tanya apa tadi?"

Lova tertawa kecil. "Apaan, sih?! Kok, Axe jadi malah balik tanya sama Lova? Axe kenapa?"

"Oh? Itu--" Axel menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Aduh!

"Itu? Itu, apa Axe?"

"Gue-- bingung." Axel perlahan menurunkan tangannya sambil memiringkan kepala sedikit. "Nah, iya, bener. Gue bingung, my Lov." kata Axel sambil merubah posisi duduknya menjadi bersila.

Kening Lova mengerut dalam. "Bingung?"

Axel hanya manggut-manggut.

"Axe bingung kenapa? Axe mau cerita sama Lova?" tanya Lova dengan suara halus.

"Gue--" Axel berdehem kecil untuk melegakan tenggorokannya yang mendadak kering. "Gue lagi bingung aja, my Lov. Gue gak tahu gimana caranya mau mulai telepon bokap nyokap gue." terang Axel ngawur. Daripada jatuh harga dirinya kalau ketahuan salah tingkah. Lebih baik menggunakan orangtuanya sebagai alasan yang masuk akal.

Lova mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Kedua tangannya terulur ke belakang menguncir ekor kuda rambutnya. "Kenapa Axe mesti bingung? Tinggal telepon aja, kan? Axe ada ponsel. Uang Axe banyak, pasti bisa beli pulsa buat telepon papa mama Axe. Walau mereka mungkin lagi ada di luar Indonesia."

Kali ini, Axel menelan salivanya susah payah ketika melihat bulu-bulu halus di sekitar leher Lova yang putih mulus dan jenjang itu.

Lova menurunkan kedua tangannya seraya menoleh menatap Axel. "Loh. Kok, Axe malah bengong gitu, sih?"

Axel menggelengkan kepalanya membuyarkan semua lamunannya. Langsung menarik ikat rambut Lova hingga rambut halus gadis itu kembali tergerai indah.

"Eh! Jangan dilep-- yah... Lova gerah, lho Axe."

Axel menatap Lova serius. "Jangan pernah sekali-kali kuncir rambut lo, kalau lo lagi gak sama gue, my Lov."

"Hmm?" Lova menatap Axel tidak mengerti. "Kenapa kaya gitu, Axe?" tanya Lova seraya menyisir rambut dengan sepuluh jarinya.

Axel memasukan ikat rambut Lova pergelangan tangan gadis itu. "Pokoknya, jangan! Nurut aja, deh lo sama gue, my Lov."

"Iya-iya." jawab Lova ogah-ogahan. "Iya, udah. Terus, katanya Axe mau telepon."

Geez! Axel langsung menjauhkan tangannya dari pergelangan tangan Lova. Tadi niat dia, kan hanya ingin menghindar dan menutupi gelagat salah tingkahnya. Kenapa malahan dianggap serius gini? Astaga! "Iya-iya." Axel langsung merogoh ponsel di saku celana dan mengeluarkan ponselnya.

Axel menatap kosong pada layar ponselnya yang sedang memperlihatkan deretan dua belas angka yang disimpan dengan caller id Mama.

Ketika menangkap jelas sorot keraguan di kedua bola mata Axel, Lova perlahan menautkan jari tangan kanannya di sela-sela kosong jari tangan kiri laki-laki itu. Sementara tangan kirinya yang bebas menangkup punggung tangan kiri Axel. Lova tersenyum lembut ketika laki-laki itu menoleh menatapnya mencoba memberi kekuatan.

"It's okay, Axe. Anggap aja, sekarang ini Axe lagi main lotre. Kalau Axe belum beruntung, ya nanti Axe coba lagi."

Axel mengangguk kecil. Dengan ragu-ragu dan gerakan pelan menggeser kontak Mama pada layar ponselnya. Axel menempelkan ponsel di telinganya sebelah kanan. Panggilannya terhubung.

Tut ... tut ... tut...

Axel meremas ponselnya kuat-kuat ketika belum ada juga jawaban dari mamanya di seberang sana.

Tut ... tut ... tut ...

Lova memperhatikan rahang Axel yang perlahan-lahan berubah menjadi ketat. Axel sudah berkali-kali mencoba untuk menghubungi kedua orang tua laki-laki itu secara bergantian. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada salah satu dari kedua orang tua Axel yang menjawab panggilan dari pacarnya itu.

Axel menghela nafas berat sambil menjauhkan ponsel dari telinganya. Lalu memasukan benda pipih itu ke dalam saku celana lagi. Axel langsung menoleh menatap wajah Lova. Senyumnya terbit ketika melihat senyum manis di bibir pink tipis gadis itu. Menenangkan. Kemarahannya menguap begitu saja tanpa sisa. Axel tanpa sadar mengulurkan tangan kanannya mengusap-usap sebentar pipi Lova pelan.

Lova menunduk menatap pada tautan tangannya dengan Axel. "Lova pernah denger kalimat yang kata-katanya kurang lebih kayak gini." Lova berdehem kecil. "The moment you give up, you start to look for excuses. The moment you think you can do it, you ... find a way." Lova perlahan mendongak menatap Axel. "Kalaupun nantinya Axe nyerah dengan orang tua Axe. Lova yang akan carikan jalan buat Axe."

Axel terdiam menatap manik mata Lova dalam. Lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang kecil Lova. Axel menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu.

Lova menunduk sedikit agar bisa melihat wajah Axel. Tangan kanannya mengusap-usap lengan laki-laki itu pelan. Lova mengangkat wajahnya menghadap ke arah depan menatap kolam air mancur.

"Kalau gak ada orang di sisi Axe yang bisa semangatin Axe. Axe harus tetap semangat. Minimal untuk diri Axe sendiri." kata Lova tanpa menghentikan usapannya pada lengan Axel.

Axel hanya terdiam. Menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Lova. Mencium bau khas gadis itu yang menenangkan membuatnya nyaman.

"Axe harus mau membuka diri dan berusaha untuk percaya sama orang lain. Jangan pernah merasa sendirian. Karena nyatanya banyak orang yang tulus sama Axe, yang gak akan pergi ketika Axe ada di posisi terrendah Axe. Pasti akan ada satu dua orang yang manfaatin Axe. Mau bagaimanapun juga nama besar Cetta sudah melekat di diri Axe yang otomatis mengundang orang-orang yang berniat gak baik."

Axel mengangkat kepalanya dan menjatuhkan dagunya di atas bahu Lova. Menatap wajah gadis itu dari samping.

Lova tersenyum kecil sambil melirik Axel. "Dunia emang kadang kaya gitu. Kejam." Lova tertawa kecil. "Akan ada orang-orang yang datang hanya untuk memberi luka. Atau malah kita sendiri yang datang untuk melukai. Kita akan jadi peran protagonis dalam skenario hidup kita. Dan akan jadi peran antagonis dalam skenario hidup orang lain."

Entah efek semilir angin di taman belakang sekolah serta posisi duduknya di bawah pohon yang rindang? Lelah setelah menumbuhkan harapan? Atau mendengar kalimat-kalimat mutiara Lova yang membuat matanya berat?

"Gue ngantuk, my Lov." adu Axel sambil memejamkan kedua matanya.

Lova tersenyum kecil seraya mengusap wajah Axel. "Axe tidur, aja. Nanti, Lova bangunin kalau ganti jam pelajaran."

Axel mengangguk kecil dan kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Lova.

Lova memeluk bahu Axel dan meletakkan pipinya di atas kepala laki-laki itu. "Axe bobo oh ... Axe bobo ... kalau tidak bobo digigit Lova ... Axe bobo oh ... Axe bobo ... kalau tidak bobo digigit Lova ..." Lova menepuk-nepuk bahu Axel pelan.

Axel tersenyum tipis mendengarkan lagu nina bobo versi Lova itu. Menggeliat kecil mencari posisi nyamannya. Axel memejamkan kedua matanya.

Tbc.

Happy New Year guys ...

Terima kasih buat yang udah terus dukung cerita FIRST LOVE. Jangan bosen ya ...

Creation is hard, cheer me up!

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Dewa90_creators' thoughts
Chapitre suivant