webnovel

Tradisi yang Terlupakan

Wibi dan Ratri menuju ruang makan. Mereka membantu membuatkan pincuk)* dari daun pisang yang diambil Wibi dari kebon belakang tadi. Pincuk-pincuk itu nantinya digunakan sebagai tempat nasi dan uborampe bancakan lainnya yang kemudian dibagikan pada anak-anak tetangga sekitar rumah Wibi.

Wibi jadi teringat kembali masa-masa remaja dulu di kampungnya di Jogja. Masa yang telah lama dia tinggalkan karena harus mengais rejeki di kota metropolitan, Jakarta. Suasana seperti di rumah mertuanya ini masih terasa sekali dalam kehidupan masyarakat di kampungnya dulu.

Wibi dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kampung di bagian selatan Kota Jogja. Wibisono ... itulah nama yang disematkan oleh mendiang ayahnya. Wibisono adalah sebuah nama Jawa yang berarti bijaksana. Tetapi keluarga besar dan tetangga dekatnya di sana lebih sering memanggilnya dengan nama pendek Sono. Sebuah nama panggilan yang lebih mengesankan sebagai wong ndeso)* dengan segala atribut ketradisionalannya. Sono kecil pun tumbuh menjadi dewasa di lingkungan keluarga yang masih memegang teguh adat dan tradisi leluhur.

Setelah selesai kuliah di Jogja, Sono mendapat pekerjaan di Jakarta. Sebuah kota metropolitan dengan gaya hidup lebih modern dengan kecanggihan teknologinya. Teman-teman kerja dan lingkungan kos tempat tinggal Sono pun lebih gaul. Mereka lebih suka memanggil Wibisono dengan nama Wibi agar terdengar lebih keren. Sepadan dengan ketampanannya. Hingga sekarang nama Wibi telah melekat pada dirinya.

Keadaan masyarakat di kampung kelahiran Wibi saat itu masih tradisional. Mereka masih memegang teguh ajaran para leluhur yaitu nenek moyang orang-orang Jawa jaman dahulu. Salah satunya adalah tradisi bancakan dan sesajen yang masih dilestarikan dan dilaksanakan secara turun-temurun.

Hampir setiap minggu ada yang membuat bancakan untuk keselamatan anaknya. Dan sebuah pemandangan yang sudah jamak terjadi di kampung Wibi waktu itu adalah adanya sesajen yang diletakkan di bawah pohon besar atau di tengah-tengah perempatan jalan.

Tetapi seiring perubahan jaman dan perkembangan teknologi sedikit banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat di kampung halaman Wibi. Apalagi sudah banyak generasi mudanya yang merantau untuk belajar atau bekerja di kota-kota besar. Sehingga arus informasi begitu cepat mempengaruhi perilaku masyarakat. Dan perubahan adat istiadat yang telah dilaksanakan secara turun-temurun menjadi sebuah keniscayaan di sana.

Sekarang sebagian besar dari mereka sudah tidak mau lagi melestarikan bahkan melupakan tradisi leluhurnya. Mereka hanya menganggap sebagai mitos atau dongeng anak kecil seperti anggapan Wibi saat ini. Sehingga tinggal generasi tua saja yang masih melestarikan adat dan tradisi kepercayaan Jawa tersebut. Sedangkan generasi mudanya, meskipun ada sebagian kecil yang masih mengerti dengan tradisi ini tetapi sudah tidak mau melestarikannya juga.

Adat dan tradisi kepercayaan Jawa tersebut ada banyak macamnya. Wibi pun tidak bisa menyebutkannya satu persatu tanpa melihat dalam buku pedoman tentang ritual dan tradisi kepercayaan Jawa yang disebut dengan nama buku Primbon. Buku Primbon itu pemberian mendiang ayahnya dulu. Masih tersimpan dengan rapi. Tetapi hanya kadang-kadang saja Wibi membacanya sekedar untuk mengingat kembali warisan leluhur orang Jawa jaman dahulu. Dan buku Primbon itu sendiri sepertinya hanya menjadi sebuah buku dongeng bagi Wibi tentang tradisi leluhur yang telah dilupakan.

Banyaknya uborampe)* yang harus disiapkan untuk ritual acaranya membuat Wibi enggan melaksanakan tradisi tersebut. Selain itu menurut Wibi ada bias dalam ritual persembahannya. Ditujukan kepada siapa sebenarnya permohonan dan aturan-aturan yang harus ditaati serta dilaksanakan tersebut. Karena ritual sesajen itu biasanya dilakukan dan uborampenya ditempatkan pada tempat-tempat tertentu yang diyakini terdapat lelembut)* atau makhluk-makhluk gaib lainnya.

Meskipun begitu Wibi dan Ratri tetap percaya akan adanya lelembut. Karena menurut keyakinannya lelembut atau makhluk gaib itu juga diciptakan oleh Gusti Alloh)*. Mereka menempati suatu tempat yang lain di alam manusia ini. Suatu tempat yang begitu dekat dengan alam manusia tetapi dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Suatu alam yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa. Tetapi dalam kepercayaan Jawa sugesti pikiran manusia melalui pemberian sesajen dan mantra-mantra dapat menyeret paksa, mengundang atau menghadirkan suatu lelembut dari alamnya agar muncul di alam sadar manusia untuk dimintai pertolongan.

Tetapi sebaliknya, mereka kadang-kadang agresif juga sehingga suka mengganggu manusia. Mereka memanfaatkan celah-celah kelemahan berpikir dan kecerobohan tingkah laku manusia. Kalau sudah begitu lelembut tersebut akan muncul dengan sengaja di alam sadar manusia. Sehingga untuk menghindari hal tersebut, dalam kepercayaan Jawa mengharuskan seseorang untuk melakukan pantangan-pantangan)* ataupun memberikan sesajen di tempat-tempat tertentu untuk meredam gangguan dan kemarahan lelembut tersebut.

***

Lama Wibi terdiam dan larut dalam pergolakan batin dan pikirannya sendiri tentang tradisi peninggalan leluhur itu. Sebuah tradisi yang benar-benar rumit tetapi mempunyai nilai luhur yang tinggi. Karena di sana diajarkan juga tentang konsep keseimbangan jasmani dan rohani, mikrocosmos)* dan makrocosmos)* serta kawruh jiwa)* untuk menuju keutamaan dan kesempurnaan hidup seorang manusia.

Wibi melihat tradisi leluhurnya itu bagaikan dua sisi kepingan uang logam. Mereka merupakan satu kesatuan tetapi selalu bertolak belakang arahnya. Satu sisi, tradisi leluhur tersebut mengajarkan tentang sangkan paraning dumadi atau asal mula kehidupan yang akan berujung pangkal pada Gusti Alloh sebagai makrocosmos-nya. Tetapi pada sisi yang lain, tradisi ini juga mengajarkan tentang pemujaan pada kekuatan-kekuatan makhluk alam disekitar manusia sebagai mikrocosmos-nya melalui upacara atau ritual sesajen. Dua pemahaman yang tidak dapat disatukan dalam alam pikiran Wibi.

Sementara itu Ratri masih sibuk membuat pincuk atau piring dari daun pisang yang dibawakan Wibi tadi. Berkali-kali dia melirik ke arah suaminya yang hanya duduk termenung memperhatikan tampah-tampah yang berisi uborampe sesajen dan bancakan. Ratri memahami sikap Wibi dan mempunyai pemikiran yang tak jauh berbeda dengannya. Perbedaan jaman, perkembangan teknologi, dan pengaruh pemahaman agama telah membuat mereka mempunyai pandangan yang berbeda terhadap tradisi nenek moyang atau leluhur mereka, seperti yang telah dilakukan oleh Mbok Sum selama ini.

"Ayo, Nak)*, bantu Simbok membawakan tampah itu," pinta Mbok Sum pada Wibi.

Kata-kata Mbok Sum membuyarkan lamunan Wibi. Dan dia melihat Mbok Sum sudah mengangkat tampah yang berisi sayur dengan bumbu gudangannya. Segera Wibi mengangkat tampah yang berisi tujuh macam jajan pasar, kacang, dan ubi rebus. Dia berjalan mengikuti Mbok Sum yang telah mendahuluinya menuju halaman depan rumah. Sebuah meja panjang terlihat oleh Wibi. Setelah menaruh tampah di meja tersebut, Mbok Sum menuju rumah tetangga menghampiri dua orang bocah yang sedang bermain di sana.

"Le)* ...! Panggil teman-temanmu, ya .... Ada bancakan di rumah Simbok," kata Mbok Sum.

"Baik, Mbok Sum," jawab kedua bocah tersebut menghentikan permainannya. Mereka segera meninggalkan tempat itu.

"Ada bancakan ...! Ada bancakan!" begitu teriak kedua bocah itu bersamaan.

"Bancakan di rumah Mbok Sum ... ayo datang ...!" teriak kedua bocah itu lagi berulang-ulang dengan gembira di sepanjang jalan kampung. Sementara itu Mbok Sum kembali menghampiri Wibi yang masih berdiri di sana.

"Masih satu tampah lagi, Nak. Tolong dibawa ke sini. Tapi jangan tampah yang kecil," kata Mbok Sum.

"Memangnya kenapa tampah yang kecil tidak boleh dibawa keluar, Mbok?" tanya Wibi keheranan.

"Itu sesajen untuk baurekso)*," kata Mbok Sum pelan tetapi tegas dan terdengar jelas oleh Wibi.

"Baurekso ..., Mbok?" tanya Wibi sambil mengernyitkan dahinya.

"Iya, baurekso kampung ini. Agar semua warga memperoleh berkah keselamatan termasuk calon anak keduamu nantinya," jawab Mbok Sum.

Baurekso ... sebuah nama yang sudah lama sekali tidak terdengar di telinga Wibi semenjak dia merantau ke Jakarta dan tinggal beberapa tahun lamanya di sana.

"Terus mau dibawa ke mana tampah yang kecil itu, Mbok?" Dia merasa tidak nyaman ketika mendengar Mbok Sum akan memberikan sajen untuk baurekso.

"Ee ... ada sebuah tempat. Tapi nanti setelah Ratri mau melaksanakan tradisi leluhur kembali, akan Simbok tunjukkan tempatnya pada kalian. Sekarang biar Simbok simpan dulu sesajen ini di kamar Simbok," jawab Mbok Sum sambil tersenyum.

Wibi hanya tertegun mendengar jawaban dari Mbok Sum. Rupanya Mbok Sum ingin agar Wibi dan Ratri kembali melaksanakan tradisi leluhur yang telah lama sekali mereka tinggalkan. Suatu harapan yang sulit diterima olehnya. Wibi segera kembali ke dapur untuk mengambil satu tampah lainnya dan diberikan kepada Mbok Sum. Sore itu juga bancakan untuk calon bayi anak kedua Wibi dan Ratri segera dibagikan pada anak-anak tetangga sekitar ....

*****

Note :

Pincuk : semacam piring yang dibuat dari daun pisang.

Uborampe : bahan-bahan

Wong ndeso : orang desa

Lelembut : istilah makhluk halus dalam kepercayaan Jawa.

Gusti Alloh : Tuhan Yang Maha Esa

Pantangan : sesuatu hal yang dilarang untuk dilakukan.

Macrocosmos : dunia besar, alam semesta

Microcosmos : dunia kecil, makhluk termasuk manusia.

Kawruh jiwa : ilmu untuk mengenal diri sendiri.

Le : kependekan dari kata thole, yang berarti panggilan sebutan untuk anak laki-laki.

Nak : sebutan untuk anak laki-laki.

Baurekso : bahurekso, penguasa, yang berwenang dalam alam gaib.

Chapitre suivant