Pandangan gue sedari tadi ga lepas dari cowok dengan seragam berantakan yang lagi duduk di bangku koridor. Ga cuman seragamnya aja yang berantakan, mukanya juga berantakan. Dan mungkin suasana hatinya juga.
Terhitung udah tiga hari sejak Pete bertingkah ngeselin. Dan dalam tiga hari itu juga gue liat penampilan Pete semakin kacau dan ga keurus.
Dia kenapa, sih?
Tadi pas jam pelajaran kami juga sempat berantem. Ya sebenar nya gara gara gue, sih. Semuanya bermula dari dia yang ga ngerespon gue.
"Woy Pete! Lo dari kemaren kenapa, sih?" kesal gue karena semakin harinya tingkah Pete makin ngeselin.
Kalau kata orang, dikasih hati malah minta jantung. Gue tersenyum kecil. Mungkin gue harus sabar lebih lama lagi.
"Pete bau!" canda gue berharap dia mau nengok, "Lo---"
Pete berhenti menulis. Dia natap gue tajam.
"Lu bisa diem?"
Mulut gue langsung tertutup rapat. Tatapan Pete bener bener seram. Gue mencoba mantapkan hati. Gue ga boleh sakit hati sekarang. Gue menatap Pete sengit.
"Ga bisa. Kenapa?" tantang gue sambil nahan emosi.
Pete natap gue ga suka. "Bacot," kata Pete dengan kejamnya. Lalu kembali nyalin catatan yang ada di papan tulis.
Gue terdiam. Gue udah biasa denger orang orang bilang kaya gitu. Tapi kenapa Pete yang ngomong gitu ke gue rasanya sakit?
Gue dibuat semakin kesel karena gue kembali dikacangin. Ternyata dikacangin itu ga enak banget rasanya. Apalagi sama sebangku.
Tanpa ragu gue langsung rebut pulpen satu satunya yang dipake Pete buat nulis. Dan rencana gue berhasil. Pete langsung merespon gue. Pete natap pulpen di tangan gue.
"Balikin," kata Pete dingin.
Gue natap Pete tajam.
"Ga mau sebelum lo kasih tau kenapa lo kaya gitu ke gue."
Pete menghela napas berat. Kalian kira habis ini Pete bakal cerita ke gue? Kalau iya, berarti kalian salah besar.
Pete tersenyum songong. "Jiji gua sama lu."
Dia lalu tidurin kepalanya ke meja. Menenggelamkan wajah diantara tangan tangan dia.
Gue menatap Pete ga percaya. Perkataan dia barusan rasanya nyakitin banget. Jiji? Anjir. Ini, kok, mata gue tiba tiba panas pas denger Pete ngomong kaya gitu.
Gue tertawa sinis. Ga mau terlihat lemah walaupun aslinya sakit hati waktu Pete bilang jiji sama gue.
'Emang gue sejenis kuningan yang mengambang di kali sampai dia jiji?'
"Jiji jiji gitu lo juga panggil gue beb," cibir gue pelan.
Setelah ngomong gitu, gue lanjut fokus menyalin catatan. Kalau jujur, sih, sebenarnya gue ga fokus. Pikiran gue terus mengulang ngulang kalimat Pete; "Jiji gua sama lu." Tapi gue tetap berusaha sebisa mungkin untuk ga peduli. Mungkin sekarang gue harus berhenti berharap kalau Pete bakal minta maaf.
Berselang beberapa menit Bu Kris masuk ke dalam kelas. Dan sialnya, Bu Kris lihat Pete yang lagi tidur.
"PETER!" teriak Bu Kris membuat Pete langsung mengangkat wajahnya. Dan tentunya berhasil buat kaget seisi kelas XII IPA 2 ini.
Bu Kris mengambil buku catatan Pete sebentar lalu kembali menatap Pete murka.
"CATATAN BELUM SELESAI DICATAT MALAH UDAH TIDUR. KENAPA GA DISELESAIN DULU?"
Saat Bu Kris ngomong kaya gitu. Otomatis kepala gue tertunduk. Kenapa ga diselesain? Jelas karena pulpennya Pete gue ambil. Gue yakin habis ini pasti gue yang bakal dimarain sama Bu Kris, guru killer SMA Foxie.
"IBU TANYA, TUH, DIJAWAB, PETER!"
Peter ngelirik sebentar ke gue. Lalu kembali menatap Bu Kris. Ga ada satu kata pun yang keluar dari mulut dia.
"KELUAR KAMU DARI KELAS SAYA!"
Mata gue langsung melotot. Ini semua bukan salah Pete. Tapi salah gue. Gue pengen banget ngasih tau Bu Kris kalau gue yang buat Pete ga bisa nulis. Tapi apa dayanya, gue terlalu takut. Iya, gue pengecut.
Tanpa mengucapkan apapun. Pete langsung berdiri dan keluar dari kelas. Gue agak kaget karena Pete langsung keluar kelas. Padahal dia bisa aja kasih tau Bu Kris yang sebenarnya.
Dan di sinilah gue. Di saat teman teman yang lain sibuk di kantin. Gue justru berdiri sender di loker sambil natap Pete ga enak. Tadi Pete emang udah diajakin sama Leo buat ke kantin. Tapi dia ga mau. Dia lebih milih duduk di kursi koridor dengan pikiran yang antah berantah dibanding ke kantin.
Gue mencoba berani. Gue berjalan mendekat ke Pete.
"Hey..," panggil gue lembut.
Pete ga nyaut. Nengok aja engga. Ya, gue dikacangin lagi. Gue ga peduli, gue mengambil duduk di samping Pete. Gue gerak gerakin jari gue gugup. Ga tau harus mulai dari mana.
"Tadi lo kenapa ga bilang ke Bu Kris kalau gue yang ambil pulpen lo?"
Diluar dugaan. Pete menjawab pertanyaan gue.
"Kalau gitu lu bakal dihukum."
Gue menoleh. Barusan Pete ngejawab gue, kah? Hati gue agak senang mendengar kalimat Pete yang cukup.. Perhatian? Duh, pikiran gue mulai melayang. Sial!
Pete menerawang ke bawah.
"Nama gua udah buruk. Dan akan tetap begitu. Kalau lu?" Pete menjeda, Lu anak baik baik yang jarang atau bahkan ga pernah dihukum. Beda sama gua."
Gue tertunduk malu. Semua ini karena kekonyolan gue.
"Maaf," lirih gue.
Keadaan kembali hening. Pandangan gue lurus ke bawah. Ga berani natap Pete.
Gue pengen pergi dari keadaan mencengkram ini. Tapi entah kenapa, gue rasa Pete butuh tempat bersandar. Butuh tempat cerita. Apalagi waktu gue liat tangannya mengepal kuat sampai urat uratnya kelihatan.
Gue yakin, Pete engga lagi baik baik aja.
"Peter..," panggil gue ragu ragu.
Pete menghela napas berat.
"Cill," potong Pete membuat gue terdiam. Dari panggilan 'Cill' aja gue udah tau kalau dia lagi serius.
"Gua lagi mau sendiri."
# # #