webnovel

Perpisahan

Ada apa ini, aku perhatikan orang-orang di sana tidak banyak bicara. Ga seperti kemarin kemarin. Aku kembali duduk disamping ayah. Sedangkan kakek duduk menyendiri sambil menghisap rokoknya.

"Kakek..." ucapku mendekatinya.

"Nak... Dengarkan kakek. 15 tahun kita baru bisa bertemu itupun hanya beberapa hari saja, selanjutnya kita tidak tau apakah Kakek masih mempunyai umur untuk menemuimu lagi atau tidak" ucapnya dengan tatapan jauh menerawang kedepan.

Aku ga ngerti kenapa kakek berucap seperti itu. Tapi ucapannya membuat perasaanku tidak enak.

"Jika kamu mengetahui kebenaran tentang ayahmu kelak, tolong jaga emosimu Kakek tau kau anak yang cerdas, kuat dan pemberani. Bimbinglah keluargamu"

"Maksud kakek?!"

"Suatu hari kau akan mengerti. Jalani apa yang harus kau jalani. Kau memiliki tarikan yang kuat dalam wadahmu, bagus jika ingin kau kembangkan" Kakek terdiam sejenak.

"Kakek bersumpah tidak akan aku biarkan ilmu kakek sedikitpun menurun ke padamu." ucap kakek menatapku tajam.

Ilmu? tanyaku dalam hati. "Baiklah sekarang kakek yg harus mendengarkanku."

"Khe... Khe... Khe. Kau ini. Apa?" ucapnya terkekeh.

"Berjanjilah padaku Kek! Meski Kakek memiliki gangsing tengkorak, kakek jangan menggunakannya untuk melakukan hal keji itu lagi, apalagi untuk menyakiti orang lain." aku meletakkan tangan kanan kakek di atas kepalaku.

Kakek terdiam, air matanya menetes dari wajah keriputnya.

"Iya, Kakek janji. Kakek janji... Semoga para leluhur melindungimu dari petaka orang-orang jahat" ucap kakek sambil mengelus kepalaku.

"Sudah sana, kau pergilah makan" kakek kembali menyentilku. Aku menjerit merasakan nyeri di daun telinga, tapi kakek malah tertawa. Aku tau dia sedang mengalihkan perasaan sedihnya karena akan berpisah denganku.

Sudah waktunya... Ayah menyuruhku menggendong tasku bersiap berangkat ke Pekanbaru. Berat rasanya ninggalin kakek, tapi pada saat itu kakek tidak kelihatan mengantarku, "Kemana kakek?"

"Ayah, aku mau pamit dulu sama kakek" ucapku sambil berlalu.

Aku mencarinya di saung kakek tidak ada, di dapur juga tidak ada, sampai aku menemukannya merenung di dalam kamar. Kakek memandangi peti yang berisi gangsing tengkorak tadi yang sudah ada di atas mejanya.

Apa mungkin kakek tetap akan melakukannya untuk kesembuhan apak Arman? Apa mungkin bisa? tanyaku dalam hati. Aku melihat kesedihan diwajah tuanya.

"Kakek... " sapaku.

Beliau menoleh lalu tersenyum. "Kakek tidak akan mengantarku? " ucapku bergetar.

"Apa yang kau ucapkan! Tentu aku akan mengantarmu"

ucapnya beranjak dari tempat duduknya. Kami berjalan bersama, sampai di halaman sepasang ojek sudah menunggu kami.

"Kakek. Nimas... Pergi dulu ya" ucapku menyalami tangan kakek dan nenek. Leherku terasa kelu, menahan sesuatu yang rasanya sesak sekali. Kedua orang tua ini yang aku sayangi.

"Ya... Hati-hati" ucap kakek bergetar menepuk pundakku. Akupun memeluk keduanya.

"Apa kita bisa bertemu lagi? Kita akan bertemu lagi kan kek? " Kataku sesenggukan tidak bisa lagi menahan sedih.

"Seandainya secara raga kita tak punya waktu lagi untuk bertemu... Maka gunakanlah rasamu jika merindukan kakek"

"Kakeekk... Apa maksudnya?" ucapku menatap tajam.

"Sudah sana nanti kau terlambat..." ucap kakek. Kakek langsung berpaling masuk kedalam saung lagi. Ia bahkan tidak menoleh lagi ke arahku.

Aku hanya terdiam menatap punggungnya yang semakin menjauh.

"Nimas, naiklah ke motor kita harus segera berangkat" ucap ayah.

Sekali lagi aku menoleh ke arah saung tua itu, tapi kakek benar-benar sudah tidak terlihat lagi. "Apa ada yang salah denganku? " bisikku dalam hati. Kakek seakan tidak peduli dengan kepergianku, atau... Kakek juga merasakan berat hati kalau melihatku pergi. Aku juga berat rasanya, aku masih ingin tinggal.

----------***----------

Satu jam lamanya, kamipun sampai di pertigaan tempat pemberhentian bus. Sepanjang perjalanan aku banyak diam. Perasaanku tidak enak, baik tentang kakek, ataupun tentang nasibku sendiri.

Suasana mulai malam, aku termenung dibalik jendela bus yang melaju dengan kecepatan sedang. Sampai akhirnya mataku terpejam, tidur dalam pikiran yang gundah.

"Nimas, bangun. Kita sudah sampai" ucap ayah sambil menggoyangkan tubuhku pelan.

Aku memulihkan penglihatanku, maaf sobat Diary Horor, aku lupa jam berapa sampai di Pekanbaru, tapi seingatku, waktu itu sampe sana suasana masih gelap. Kami turun di suatu pertigaan jalan raya kalau tidak salah namanya "Simpang Tabek Gadang" di kota Pekanbaru. Ayah mengajakku mampir di kedai kecil yang terletak di simpang itu.

"Ini dia, kakak iparmu" ucap ayah.

Pria dihadapanku berkulit kuning langsat dengan perawakan yg gemuk dan tidak terlalu tinggi. Jadi ini kakak iparku? Kami bersalaman, tidak lama disana kamipun menyeberang dan berjalan menuju kontrakkan yang tidak jauh dari simpang tersebut.

Ayah mengetuk pintu beberapa kali, sampai akhirnya seorang wanita menjawab dan keluar menyambut kami. Perawakannya tidak beda jauh dengan kakak sedarahku yang tinggal di Kota B.

Kami duduk dan mengobrol, ayah menjelaskan maksud kedatangannya membawaku ke sana. Untuk sementara, aku akan tinggal bersama kak Wiwin di Pekanbaru. Sambil menunggu ayah memiliki dana untuk aku melanjutkan sekolah menengah ke atas.

Siang harinya ayah langsung berpamitan denganku. "Ayah mau langsung pergi? " tanyaku sedih. Jujur aku paling takut untuk beradaptasi dengan seseorang yang baru aku kenal meskipun, mereka saudaraku.

"Iya Nak, ada urusan yang harus ayah selesaikan. Kamu ingin sekolah lagi kan? Do'akan ayah supaya lekas punya uang ya" ucapnya mengelus kepalaku.

Dengan alasan seperti itu aku tidak bisa melarang ayah, aku juga punya impian. Mungkin inilah awal pengorbanan demi masa depan yang lebih baik lagi. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan ayah, usai bersalaman, ayah pergi meninggalkan aku di sini dengan janjinya.

Satu bulan, dua bulan, mungkin bisa dibilang aku mampu beradaptasi dengan mereka. Kegiatan sehari-hari aku membantu kak Wiwin menjaga kedai, mereka juga baik padaku.

Siang itu, aku sedang berada di kontrakan sendiri. Kak Wiwin dan Uda beserta anak-anaknya sedang berada di kedai. Usai makan aku pergi ke kamar untuk bercermin karena mau membetulkan ikatan rambutku.

Ketika aku sibuk mengikat rambutku, tiba-tiba punggungku merinding. Aku diam sesaat sambil meraba seluruh ruangan dengan pandanganku, dan tidak ada apa-apa disana. Tapi aku mulai tidak nyaman, perasaanku mulai tidak enak. Aku kembali menatap cermin, mempercepat gerakan jariku mengikat rambut.

Sampai akhirnya, bayangan seseorang yang mengintip terlihat dari cermin. "Siapa?! " sentakku. Namum tidak ada jawaban.

"Kak Wiwin? Uda? " ucapku sambil berjalan ke seluruh ruangan. Tidak ada siapapun disana. Mungkin hanya perasaanku saja.

Aku kembali ke depan cermin. Mengamati apa aku salah lihat tadi, tak lama setelah itu kain putih terbang terlihat di cermin melewati belakang punggungku.

"Aaa.... " pekikku. Saat itu juga aku langsung lari keluar menyusul kakak dan uda ke kedai.

Chapitre suivant