webnovel

Rumah Mbah Putri

Sambutan hangat diiringi dengan hujaman kecup kasih dari mbah putri menyambutku saat telah pulang dari Jakarta. Lama kami tidak bertemu, sejak meninggalnya mbah buyut mama mengajakku tinggal bersama ayah di Jakarta.

Mama berniat meninggalkan aku di desa dan menitipkan aku pada mbah putri karena mama kerepotan dengan adanya dua adikku yang masih kecil-kecil, kala itu aku baru duduk di kelas dua sekolah dasar, memiliki dua adik, satu perempuan dan satu lagi laki-laki. Masa yang sulit untukku terutama untuk mamaku. Kami terpaksa kembali ke kampung halaman karena mama sangat kerepotan mengurusku juga adik-adikku yang masih kecil sendirian.

Sejak hari itu, aku terpaksa tinggal bersama dengan mbah putri di desa, sedih rasanya ketika berpisah dengan mama. Tapi mau gimana lagi, keadaan membuatku terpaksa menerima. Meskipun berat tapi aku juga senang bisa tinggal di tanah kelahiranku dan juga bisa bermain bersama anak-anak desa lainnya, apalagi desa kami masih sangat asri, udara sejuk, pemandangan tiga gunung yang terlihat di sisi timur dan utara. Kalian pasti akan dimanjakan dengan pemandangan indah di setiap pagi dan sore harinya.

Rumah mbah putri masih berdiri dengan bangunan klasik khas orang desa, tapi menurutku rumah nenek adalah rumah yang istimewa karena memiliki pintu berukir saat memasuki ruangan tengah. Pintu itu memiliki masing-masing 2 pintu yang bisa dilipat saat dibuka, dan memiliki kaca disetiap tengahnya. Pintu antik. Setelah mengantarku pulang dan mengurus kepindahan sekolahku, selang tiga hari kemudian ayah berangkat lagi ke Jakarta.

Selama beberapa hari aku masih sering menangis di malam hari, kadang aku menengok ke seluruh arah yang biasanya ada mama tidur di sampingku "Aku kangen mama" gumamku terisak. Sekarang hanya ada mbah putri disampingku, suasana baru, tempat baru, aku harus bisa beradaptasi dengan semua ini.

Aku menangis sampai tenggorokanku terasa kering, aku menggoyangkan kaki mbah putri untuk membangunkannya supaya mengantarku mengambil air minum di pawon (Sebutan dapur untuk orang desa). Tapi mbah tidak bergeming, kasihan mbah pasti lelah setelah seharian di sawah. Akhirnya, terpaksa aku berjalan sediri ke dapur.

Setelah keluar dari kamar aku di sambut oleh ruangan-ruangan yang gelap di rumah mbah, setiap malam mbah putri memang rutin mematikan lampu kecuali pawon. Tepat di seberang pintu kamarku ada pintu menuju bilik kosong bekas mbah buyutku, biasanya dibuat tidur oleh mbah sih kalau dia sendirian di rumah. Tapi karena ada aku mbah putri tidur di kamar mama bersamaku. sebenarnya kakiku terasa berat waktu berjalan ke pawon, tapi disisi lain tenggorokanku juga haus.

Kletik... Kletik... Kletik...

Deg, aku berhenti waktu denger suara itu, suara seperti sendok dan gelas beradu kaya orang yang lagi ngaduk teh. Aku terdiam sebelum membuka pintu pawon, menajamkan telinga, memastikan aku ga salah denger kalau memang ada suara orang yang ngaduk teh barusan.

"Siapa yang di pawon ya? Bukannya tadi mbah masih tidurkan? Jangan-jangan ada orang lain nylonong masuk ke rumah mbah putri!." bergelut dengan pertanyaanku sendiri.

Kletik... kletik... kletik... Suara itu kembali terdengar, aku takut. Tapi juga penasaran siapa yang sedang membuat teh di pawon, takutnya ada orang jahat yang berniat ga baik kan. Perlahan aku membuka pintu pawon, sebelum masuk kesana terlebih dulu mengintip dan melongokkan kepala untuk memastikan ada orang atau tidak. Mungkin dari kalian bisa menebak, ya, ternyata di sana tidak ada satu orangpun bahkan, permukaan meja bersih. Tidak ada ceceran teh, air, gelas, bahkan termos dan sendokpun masih tergeletak rapi di tempatnya.

Aneh, tapi syukurlah. Berarti ga ada orang jahat masuk kerumah. Kondisi aman aku pun langsung ambil minum di tempat, hampir habis dua gelas besar minum air putih saking hausnya, namun belum lepas gelas dari mulutku diujung mata terlihat satu sosok berjalan membungkuk masuk melewati pintu pawon menuju ruang tengah.

"Si... Siapa tadi?!"

Apa aku salah liat??? Aku langsung menoleh ke sosok itu, sosok yang kayaknya ga asing. Mirip sekali mbah buyut, dari cara dia berjalan, badannya yang bungkuk, tapi kan... Mbah buyut, udah meninggal beberapa tahun lalu. Bergidik merinding mengingatnya. Bagaimana caraku kembali ke kamar, sedangkan aku harus melewati pintu pawon itu juga. Takut, ingin berteriak tapi takut mengganggu tetangga.

Akhirnya, setelah sosok itu menghilang dari pandanganku, aku langsung berlari dengan mata terpejam masuk ke dalam kamar. "Ada apa Nimas?" tanya mbah terkejut, saat naik ke atas dipan tidak sengaja menginjak kakiknya karena panik.

"Mbah. Ada buyut." jawabku dengan nada gemetar.

Mbahku hanya merenyitkan alisnya sambil melempar pandangan bingung. Maklum, beliau memiliki masalah dalam pendengaran, aku sampai lupa akan hal itu. Aku mendekat ke arah mbah, berbicara di telinganya agar mbah dengar apa yang membuatku pucat. "Mbah, ada mbah buyut di pawon" ucapku masih gemetar.

"Apa iya?" ucap mbah agak tersentak. Aku hanya mengangguk keras menjawab pertanyaan mbah. "Ayo ikut mbah, kita lihat sama-sama ya"

"Moh mbah" (Ga mau mbah) jawabku hampir nangis.

Tapi tetap aja Mbahku mendeng tangan, tapi aku masih terdiam ragu. Hanya saja, sisi lain diperasaanku juga memiliki rasa penasaran yang tinggi. Apa benar tadi yang aku lihat, atau hanya halusinasiku saja, mbah menunggu keputusanku, mau ikut melihat atau hanya menunggu di kamar. Tapi karena aku juga penasaran, akupun menyetujui ajakkan mbah untuk ikut melihat ke pawon.

Berjalan sambil bersembunyi di belakang mbah putri memeluk pinggulnya. Mataku sedikit terpejam sambil melihat ke arah pawon, "Kamu yakin tidak salah lihat?" tanya mbah setelah mengecek pawon tidak ada orang dan hanya ada bekas gelas sewaktu aku minum tadi.

Aku menggeleng mengisyaratkan kalau tadi tidak salah lihat dan benar-benar melihat mbah buyut berjalan lewat pintu pawon. Mbah kemudian mengusap kepalaku lembut. "Sudah ga papa, ga usah takut. Mungkin mbah buyut cuma mau menjenguk buyutnya. Sekarang ayo ikut mbah"

"Ikut mbah? Kemana lagi?" Dari pawon mbah putri menggandengku masuk kedalam bilik mbah buyut. Aku berontak tidak mau, takut, tapi mbah meyakinkan aku melalui senyumnya supaya jangan takut.

Pasrah, aku nurut mbah saja. Masih bersembunyi di belakang mbah. Kami mulai masuk kedalam bilik yang dulu menjadi tempat tidur mbah buyut. Tubuhku mulai bergidik, merinding dan tiba-tiba menggigil. Ceklek... mbah menyalakan lampu di bilik itu, lampu kecil berwarna kuning. Mbah menarik lenganku supaya berdiri di sebelahnya, setelah itu beliau berbicara membuatku semakin merasa tidak karuan.

"Buyut, ini adalah Nimas buyut kesayanganmu. Katanya dia melihatmu tadi, Buyut ga mau kan NImas ketakutan? Dia tinggal disini sekarang, Kalaupun mau menjenguk, tolong jangan menampakkan diri"

Mbah putri berbicara sambil melihat keseluruh ruangan bilik itu. Aku paham, mbah tidak bisa melihat mahkluk halus. Tapi ia yakin kalau buyut akan mendengar ucapannya. Tapi saat itu juga aku ga liat ada buyut di bilik itu, hanya suasananya yang ga enak banget. "Sudah, ayo balik ke kamar. Sudah malam, kamu harus cepat tidur besok kamu harus mulai masuk sekolah." Mbah kembali mematikan lampu bilik dan menutup pintunya kembali.

Sesampainya di kamar aku bersiap tidur, meskipun tidak bisa langsung tidur begitu saja. Masih dengan anganku yang teringat tentang kejadian barusan. Benar-benar dengan jelas aku melihat buyut yang berjalan membungkuk. Tentu saja aku sangat paham dengan buyut, sebelum aku di bawa ke Jakarta memang sangat dekat dengan buyut. Bahkan setiap aku makan saja harus di mamah dulu oleh buyut baru aku mau makan. Entah kenapa bisa begitu, padahal jika orang lain yang melihat pasti akan merasa mual saat melihatku makan.

Tapi setelah mbah mengajakku masuk kedalam bilik tadi seketika rasa gemetar dan menggigilku hilang. Bahkan rasa takut juga ikut pudar. Sugestikah? Aku rasa Bukan. Setelah dewasa ini aku juga paham, kalau "Mereka" memang mengerti apa yang kita ucapkan, hanya saja mau dan tidak maunya tergantung jenis mereka, ada yang nurut, ada juga yang sengaja suka menganggu. Tapi sebenarnya tujuan mereka mengganggu juga ada alasannya, biasanya ada suatu hal yang ingin mereka sampaikan. Tapi sepertinya mbah buyut paham. Dia ga mau aku ketakutan, mungkin saat mbah berucap seperti itu mbah buyut langsung pergi.

Chapitre suivant