"AAAAAAAAAAA!!!"
Segera Edward berlari saat ia menyadari kalau yang ada di hadapannya itu adalah monster menakutkan dengan mata merah yang sedang kelaparan.
Berlari ia tergesah-gesah menembus gelapnya dek kapal yang luas. Suara meraung pelan masih terdengar di belakangnya, sekejap terlewat di pikirannya kalau monster itu bergerak lambat. Namun Edward yang ketakutan semakin kencang menggerakan kaki mungil bocah tujuh tahun miliknya.
Hingga ia bisa kembali pada pintu tertutup yang akan menghubungkannya pada dek dalam.
Kreeek!! Brak!!
"AYAAAHH!!!! IIBBUUUU!!!"
Edward berlari menyusuri lorong samar dek itu setelah menutup pintu itu dengan keras. Berlari ia ke kanan, ke kiri.
Duk! Duk! Duk! Duk!
"AYAAAHH!! IBUUU!! TOLONG AKUU!!"
Bhump!...
"Akh!"
Edward menabrak seseorang, jantungnya terhenti seraya mencurigai siapa orang yang ia tabrak.
Lalu, sosok itu mulai berbicara.
"Oi, oi, oi, jangan berlarian di dek kapal malam-malam begini bocah!"
Edward mengingat suara orang ini, Edward segera mengarahkan pandangannya ke depan.
"PAMAAAN, HUWAAAAA!!!"
Tangis Edward segera tertumpah.
"Oiii, kau,... bocah, ada apa sampai kau berlari dan menangis seperti ini?"
Sosok itu adalah sosok pria paruh baya dengan baju kain kusamnya dan pedang katana yang tersarung di pinggulnya, yang Edward temui saat baru saja menaiki kapal ini.
"Ada apa, Waibe? Siapa anak itu, kenalan mu?"
Kali ini suara seorang wanita muda, rambutnya coklat kemerah-merahan dan bajunya kuning mencolok dengan berbagai aksesorisnya yang memperlihatkan kebangsawanannya. Lalu ia mendekat dari belakang sang pria paruh baya.
"Sudah ku bilang, nama ku Watanabe, Wa-ta-na-be!! Bukan Waibe!"
"Waibe ya Waibe saja, tak perlu kau perpanjang! Lagi pula, ada apa dengan anak itu?"
Mata sinis datar Watanabe melirik wanita muda itu, seakan ia masih tak terima namanya dipersingkat. Lalu pandangannya kembali pada Edward.
"Jadi, ada apa bocah?"
"Disana, hiickk! Disana, ada monster jahat!!"
Jarinya menujuk ke arah dek luar, selagi ia masih terisak-isak.
"Monster jahat? Begitukah?"
Pandangan Watanabe pada sang nona muda, seakan meminta pertimbangannya. Namun sang nona muda itu memandang balik Watanabe seakan menyuruh memutuskannya untuk menanggapi sang bocah atau tidak. Watanabe pun berdiri selagi memegang tangan Edward.
"Baiklah, kalau begitu, paling tidak kita lihat terlebih dahulu!"
Mereka pun berjalan bersama menuju pintu ke dek luar.
Duk... duk... duk...
Sesampai di depan pintu itu, Edward segera berlari ke belakang sang nona muda karena trauma dari sang monster sebelumnya.
"Baiklah kalau begitu, mari kita lihat...."
Kreeeeeek....
Agak samar pandangan mereka karena tak seberapa terangnya lentera di dek itu, namun bulu coklat yang tertiup angin sepoi-sepoi itu telihat jelas menghadang jalan mereka.
"Sial!!"
"WAIBE!!"
"AAAAAAA!!"
Watanabe berusaha segera mengambil kuda-kuda saat sang nona muda dan Edward berteriak hampir bersamaan. Namun tangan besar sang monster lebih cepat menerobos masuk hingga ke dek dalam dan segera menghantam tubuh Watanabe dari samping kiri.
Tangan yang sebesar diameter pohon pinus tua itu menghantam tubuh Watanabe dan menghempaskannya keluar bersamaan serpihan kayu dek kapal yang hancur, dan meninggalkan lubang di dinding dek tersebut menuju langit lepas.
Merespon hal itu sang nona muda segera mengeluarkan sebuah pistol, untuk melindungi Edward yang ada di belakangnya dan segera menembakannya pada monster tersebut.
Berulang kali ia menembakannya, namun sang monster hanya mundur beberapa langkah ke belakang sambil menutupi wajahnya dengan tangan besarnya saja, tanpa meninggalkan luka sedikitpun.
Doorrrr!! Dorrrr!! Dorrr!! Dorrrr!!
"Agrh!! Kenapa peluru tak berdampak sama sekali padanya!!"
Keluh sang nona, sebelum kemudian menolehkan pandangannya pada arah Watanabe yang terlempar, yaitu laut lepas yang terlihat sedikit gelap di malam tak berbintang.
Lalu dengan lantang ia berteriak.
"WAIBE, CEPAT KEMARI JANGAN TIDUR!!"
Dorr!! Dorr!! Dorr!! Dorr!!
Sambil terus menembak, sang nona mundur membawa Edward yang ketakutan di belakangnya.
"HEIIII~, DASAR SAMURAI PEMALAS!!!"
Edward mulai terlihat kebingungan melihat sang nona yang terus berteriak pada laut lepas yang gelap itu.
"WAI...."
"AH BERISIK!! YA YA YA, AKU DATANG!!"
Segera sosok Watanabe terlihat merangkak naik dari pinggir kapal di belakang sang monster, dengan tubuh yang basah kuyup.
"Ah sial, dingin sekali airnya! Lagi pula, makhluk apa itu hah?"
"Mengeluhlah sesuka hati mu nanti, tapi lakukan sesuatu pada mahkluk ini terlebih dahulu, samurai malas!!"
Prok-prok-prok-prok!!
Kelihatannya keributan itu segera membangunkan para penumpang lain yang segera datang berbondong-bondong sambil membawa lentera. Segera pun lokasi itu menjadi terang disinari puluhan lentera yang dibawa para penumpang, dan cahaya terang itu segera menarik perhatian sang monster.
RRRRRR.... RAAGGGGGHHH!!!!!!!
Monster itu mengaum ke angkasa, seakan menghentikan momen sejenak selagi menyebarkan teror. Melihat monster itu mengaum beberapa penumpang ada yang terkaget dan ada juga yang tersentak hingga jatuh dan membuat lenteranya tertumpah pada dek kapal dan menyulut kebakaran.
"Ah sial, Waibe!! Lakukanlah sesuatu!!"
"Ya ya, berisik sekali kau nona!!"
Watanabe terlihat tenang, padahal api sudah mulai merambat di dek kapal itu, meskipun terlihat beberapa kru berusaha memadamkannya tanpa memperhatikan sang monster, seakan telah percaya pada sang samurai.
Sang monster yang mulai menyadari kehadiran Watanabe yang berjalan mendekat kearahnya mulai memberikan perhatiannya.
Watanabe pun, mulai mengambil kuda-kuda yang tadi tak sempat diambilnya. Meskipun tangan kirinya masih sedikit terkilir, ia mulai sedikit menarik pedang katana yang masih tersarung di pinggulnya. Lalu sambil sedikit menundukan bagian depan tubuhnya, bersamaan dengan sang monster yang mulai berlari menyerang kearahnya....
"Suiryu-giri batto-jutsu!"
Ctak!
Pedang katana di pinggulnya masih tersarung, dan bukannya menariknya keluar, sang samurai itu hanya sedikit menarik pedang katananya dan menghentakannya lagi ke dalam. Setidaknya itulah yang di lihat orang-orang di sana.
Suasana menjadi senyap setelah itu, melihat sang monster yang entah mengapa menghentikan langkahnya.
BRUUKKK!!
Monster itu tumbang ke samping sang samurai dan tak lama kemudian tubuh besar berbulu lebat itu mulai terbelah, tak hanya menjadi dua, namun belahan itu seakan memecah menjadikannya beberapa bagian potongan tubuh.
Watanabe masih dalam kuda-kudanya seakan membeku, lalu bersama dengan nafas yang sedikit panjang....
"shhhh..., Kakudai!"
Watanabe mengucapkan nama tekniknya itu. Salah satu gerakan dalam jurus Suiryu-giri batto-jutsu, teknik yang mampu menyebarkan kerusakannya setelah serangan pertama mengenai target.
Api pun berhasil dipadamkan sebelum menyebar keseluruh dek kapal. Namun, tubuh berbulu besar yang telah terpotong dan mayat seorang wanita yang menjadi korbannya tetap disana, menjadi tontonan baru bagi para penumpang dan beberapa menyimpan teror atas kemunculan monster itu.
Edward menolehkan kepalanya saat mendengar kedua orang tuanya memanggilnya sambil berlari dengan cemas. Mereka memeluknya erat-erat dan ibunya menangis, tak ingin hal buruk terjadi padanya. Edward pun tak henti mencurahkan ketakutan yang ia rasakan di pelukan hangat kedua orang tuanya.
Malam itu pun berakhir dengan horor yang menjadi lekat dalam pelayaran kapal Batavia.