webnovel

18

"Urusan aku? Toh bukan pacarku juga!" Lusia terlihat agak nervous melihat pemandangan barusan. Nafasnya seakan hendak terhenti di tenggorokan saat sekilas melihat gadis desa itu seperti mencium leher pemuda itu. Oh my god! Sejauh itukah skandal hubungan si tampan dengan cucu si kuyang??? Lusia bagaikan terempas ke lautan yang dalam.

Pandangannya jadi sedingin es di kutub utara saat ia berjalan ke jembatan tepi sungai. Ia duduk di sana sembari memandang sungai yang terlihat gelap.

Si gadis desa tersenyum. "Bujuklah kekasihmu itu," ia melambaikan tangannya ke arah Hendra dan meninggalkan pemuda itu.

Bergegas masuk ke dalam gubuknya, gadis desa itu memuntahkan darah yang ia hisap dari leher Hendra ke dalam sebuah mangkuk, lalu menutupnya dengan daun pisang.

Ia berbisik ceria. "Nek, ada tambahan persediaan darah untukmu. Dari seorang manusia. Cukup untuk satu dua minggu ini sementara aku mencari darah binatang untukmu," ia tersenyum misterius.

Kepala berujud kuyang itu perlahan membuka matanya kembali, lalu kepalanya terangkat mengawang-awang di udara dengan gembira. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Hebat sekali manusia itu! Dia masih hidup walau berada di bawah pengaruh kutukan. Apakah dia manusia biasa? Aku ragu... dia sepertinya bukan manusia sembarangan..." si nenek berbisik.

Si gadis menggeleng sambil mengerutkan alis nya. "Aku tidak tahu juga siapa dia. Yang jelas mereka telah berani melanggar pantangan itu. Kurasa itu sangat fatal..."

"Sssttt... kau jangan salah menilai, Kirana...!" si nenek berbisik penuh pengharapan. "Justru dengan masuk kawasan terlarang itulah pemuda itu telah mengungkapkan jati diri, siapa dirinya yang sebenarnya!"

Si gadis membelalak bingung. "Maksud nenek...?"

Sang nenek mendekatkan kepalanya yang agak mengawang di udara. "Mungkin dia titisan sang jawara yang kita tunggu-tunggu selama ini..." desisnya.

***

Angin malam berhembus semakin dingin. Suasana persiapan acara pengantin masih terlihat ramai kendati sebagian persiapan telah selesai.

Sebagian pemuda masih tampak ramai bermain kartu domino di pelataran rumah, sementara sebagian wanita masih asik bergosip. Namun satu persatu mengundurkan diri untuk beranjak tidur.

Oh, tunggu dulu...!

Di saat semakin malam orang-orang semakin mengantuk, salah seorang pemuda yang tengah bermain domino bangkit berdiri. Ia menggulung kain sarungnya ke pundak.

Tingkahnya di tengah keasyikan main domino itu tentu mengundang protes dari lawan-lawan mainnya. Ada yang melotot ada yang mengomel, dan ada pula yang bernada mengejek.

"Kemana kamu, Tong?! Jangan coba-coba kabur ya! Baru dijepit satu kupingmu sudah mau melarikan diri!"

"Aku bukannya mau kabur! Tapi mau pipis!" yang ditegur menjawab tergesa-gesa. Ia agak bergidik, memang sedang menahan kencing rupanya sejak tadi.

Cepat-cepat ia pergi ke belakang rumah. Berdiri di dekat sebatang pohon. Di situ ia membuka sedikit celana pendeknya. Lalu mulai pipis....

Krosak...!

Terdengar bunyi gesekan dedaunan semak-semak di dekatnya. Ia mengerutkan alis, lalu menoleh ke arah suara, semak-semak yang gelap.

"Hm...?" Ia menggumam. Lalu tersenyum. "Jangan coba-coba menakuti aku ya. Bisa kukencingi kau!" Ia membentak. Dipikirnya ada salah satu temannya yang jahil mencoba menerornya dengan membuat suara-suara di semak-semak. Dan itu sudah biasa ia alami di saat teman-temannya berniat mengusilinya.

Ia menyelesaikan pipisnya, lalu mengancingkan celana. "Diancam diam. Dipikirnya aku tidak tahu..." gumamnya sambil senyam-senyum.

Tiba-tiba hidungnya mencium aroma bau busuk. Dan itu datangnya dari arah semak-semak. Ia mengendus-endus. Kali ini wajahnya terlihat jengkel. Apa kali ini mereka menggunakan tikus busuk untuk menakut-nakutiku? Pikirnya.

Dengan gaya tubuh digagah-gagahkan ia langsung melabrak ke arah semak-semak. "Buang saja tukus busukmu itu! Di sini tidak lak..."

Belum selesai ia memaki-maki Langkahnya tertahan. Matanya langsung melotot melihat sosok yang berdiri mematung di balik semak-semak.

Sosok tubuh itu terlihat membusuk, sebagian tubuhnya bahkan tinggal tulang belulang. Sosok itu juga berbalutkan kain putih yang sudah sobek-sobek dan berlumuran lumpur. Sebagian besar belatung memenuhi wajahnya yang terkelupas, disertai rongga mata yang bolong.

"A-a-a...." orang itu merasakan seluruh tubuhnya kaku. Mulutnya ingin berteriak tapi lidahnya kelu.

Ia membalikkan tubuhnya lalu menghambur kembali ke kerumunan warga.

"Setaaaan! Setaaaan!" Ia akhirnya bisa berteriak histeris, dan berlari secepat yang ia mampu.

Teriakan ketakutannya mengejutkan mereka yang ada di tempat itu. Sebagian yang tertidur karena kelelahan bergotong-royong ikut terbangun.

"Itong melihat setan...? Mana...? Mana...?"

"Cari sensasi dia mungkin!"

Sebagian pemuda mengerubungi pemuda berselempang kain sarung yang terduduk di tanah dengan mata membelalak ketakutan.

Ia menunjuk-nunjuk ke arah semak-semak di pinggiran kampung tempat ia buang air kecil tadi. "Tadi... muka nya busuk berulat, hiiiyyyy!" ia megap-megap.

Sebagian yang mengerubunginya terlihat bingung. "Ada-ada saja. Perasaan di kampung ini tak pernah terjadi hal-hal seperti ini, kamu mengigau barangkali!" Seorang pria tua berpeci putih berkomentar. Ia memandang sekelilingnya yang mana orang-orang semakin banyak berkerumun.

"Pak, dari tadi saya mencari Kamri, tapi dia tak muncul-muncul!" Menyahut seseorang di antara kerumunan. Ia menyeruak di antara orang-orang dan menatap pemuda yang dipanggil Itong itu dengan kening berkerut. "Kamu betul melihat setan tadi?" ujarnya.

Yang ditanya mengangguk. Masih terlihat shok. Dan tubuhnya terlihat gemetar. Ia berusaha mengatur nafasnya yang megap-megap. Setelah agak tenang ia menceritakan kejadian dari awal. Semua yang mendengarkan jadi menahan nafas.

"Kita periksa tempat yang tadi, kalau masih ada di sana kita gebuki ramai-ramai! Biar setannya kapok! Jangan mau kalah sama setan! Kita sendiri juga kadang-kadang kelakuannya melebihi setan!" Kata salah seorang berbaju hitam memberi semangat.

Beberapa orang yang bernyali kuat ikut dalam rombongan untuk memeriksa tempat penampakan "setan" yang dimaksud. Sebagian membawa obor, sebagian lagi membawa lampu senter, tapi semuanya membawa potongan kayu bakar sebagai senjata jika ketemu obyek yang dicari nanti.

Pemuda yang disebut-sebut sebagai Itong pun mereka seret untuk menunjukkan tempatnya, kendati pemuda itu masih ketakutan dan menolak ikut berkali-kali. "Kamu yang teriak setan, kamu juga yang harus tanggung jawab!" bentak pria yang berbaju hitam.

Tiba di dekat semak-semak, bau busuk itu masih tercium. Rombongan "tim pemburu hantu" yang berjumlah sekitar tujuh orang itu menghentikan langkahnya dan saling berpandangan. Sebagian nyalinya mulai menciut.

Si pemimpin rombongan yang berbaju hitam tampaknya mencium gelagat kalau "pasukannya" mulai lemah semangat.

"Hoi! Baru juga mencium bau busuk sudah mulai ketar-ketir! Siapa tahu itu cuma bau bangkai kucing! Malu dong sama yang ada di dalam celana kalian!" bentaknya sambil melototkan matanya.

Chapitre suivant