webnovel

Rusa Yang Aneh

"Kalau situasinya terus begini, kami merasa was-was bekerja, Pak. Masalahnya masyarakat ngotot agar perusahaan menghentikan kegiatan perambahan hutan di desa Dukuh Sati," menyahut salah seorang asisten lapangan berbaju seragam abu-abu. "Mungkin sebaiknya kita hentikan saja perambahan lahan yang mereka lindungi, karena cuma lahan itu yang mereka soal."

"Lahan seluas seribu hektar itu?! Kau pikir berapa jumlah uangmu untuk bisa mengganti uang yang sudah kukeluarkan untuk mengurus ijin pembukaan lahan itu?!" mata Doni menyorot tajam ke arah si karyawan yang memberi usul. "Aku minta separuhnya saja darimu, aku habis mengurus ijinnya sebesar 2,5 milyar. Itu total untuk mengurus ijin, serta biaya pembebasan lahan, ditambah lagi mempertebal kantong pejabat pemerintah yang bersangkutan agar urusannya lancar!" tandasnya.

Semua yang di ruangan itu terdiam.

Lusia menyikut lengan Rina. "Apa dia memang selalu galak begitu, Rin?" desisnya.

Rina nyengir. "Selalu, terutama bila ada karyawan yang tak sejalan pikiran dengannya."

Lusia menarik nafas panjang. "Wah, sepertinya aku juga harus selalu silang pendapat dengannya agar aku bisa lekas-lekas keluar dari perusahaan ini..." tandas Lusia dengan wajah kesal.

"Silakan dicoba! Tapi dia tak akan mudah melepaskanmu!" sahut Rina seraya tersenyum.

Tak berapa lama, rapat ditutup, tapi akan ada lanjutan rapat susulan dengan sejumlah karyawan yang dipilih nanti malam, dan Lusia serta Rina adalah beberapa di antaranya.

Lusia mengomel-ngomel saat mereka tiba di mess peristirahatan karyawan wanita yang masih lajang.

Doni kendati pemimpin perusahaan yang sedikit galak tapi ia sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Ia selalu memperioritaskan kenyamanan tempat tinggal karyawan kantoran perusahaan. Untuk para buruh saja ia menyediakan barak khusus yang berbangunan rapi disertai berbagai fasilitas lengkap di dalamnya. Selain itu para karyawan juga diberikan insentif besar.

"Baru kerja sudah disuruh ikut rapat! Memang aku memegang posisi apa? Penting? Aku kan cuma staff administrasi biasa!" gerutunya.

Saat itu mereka berada dalam satu kamar berdesain ekslusif. Baru saja mandi dan mengganti pakaian seragam perusahaan yang seharian mereka pakai.

Belum lama mereka berbincang-bincang, pintu kamar diketuk. Lusia mendengus kesal. "Paling-paling si satpam, menyuruh kita hadir rapat! Sebentar... aku mau semprot dia dulu sebagai pelampiasan rasa kesalku..." kata Lusia sambil bergerak ke pintu untuk membukanya.

Bruk! Pintu terbuka.

"Kalau ngetuk kamar wanita yang pelan! Kita lagi isti..." omelan Lusia terhenti saat melihat siapa yang berdiri di balik pintu.

Seorang pemuda tampan yang tadi duduk di samping Pak Doni saat rapat di kantor tadi.

Gadis itu langsung nyengir. "Eh, kamu... ya, ada yang bisa kami bantu...?" Lusia tiba-tiba menjadi salah tingkah dan gugup.

Rina terdengar mengikik. Lusia mendelik kesal ke arah gadis hitam manis temannya itu.

"Om Doni menunggu di aula rapat di depan..." kata pemuda itu dengan suara datar. Matanya menatap langsung ke mata Lusia, tapi tak ada senyum di bibirnya.

Hm, sok berwibawa! Pikir Lusia.

"Ya, Pak. Kami akan segera ke sana. Terima kasih atas informasinya," jawab Lusia sok formil.

"Bukan informasi. Tapi ini perintah," sahut pemuda itu cepat, lalu ia segera berlalu dari hadapan Lusia.

Sepeninggal pemuda itu Lusia mendengus jengkel. "Seberapa tinggi sih IP dia semasa kuliah?! Untung dia cepat-cepat pergi! Lambat sedikit saja sudah ada sepatuku yang melayang ke jidatnya! Sok kuasa dan sok pintar! Padahal jadi pejabat perusahaan cuma karena nepotisme!" sentak Lusia menyalurkan kekesalannya kepada Rina.

"Kamu lagi menstruasi ya, Lus? Kok sensi amat..." Rina tertawa di kasurnya melihat mata Lusia yang mendelik-delik sejak tadi. "Lagipula tak ada istilah nepotisme di dalam perusahaan pribadi, ha ha ha!"

Tapi beberapa saat kemudian Lusia dan Rina sudah hadir di aula rapat intern perusahaan. Aula itu memang sengaja dibangun guna keperluan pertemuan terbatas di antara petinggi perusahaan.

Dan Lusia sebenarnya kurang begitu ikhlas untuk hadir di ruangan itu, ia berharap cepat-cepat rapat selesai karena masalah penganiayaan bukan bidangnya.

Apalagi di sana ada pemuda itu lagi!

Sok tampan! Sok dingin! Sok berwibawa! Sok berkuasa!

Dan gadis itu benar-benar terenyak tatkala pemimpin perusahaan menyuruh dirinya duduk di samping keponakan kebanggaannya itu! Hanya ada enam orang yang disuruh hadir dalam rapat itu. Selain pimpinan, ada si pemuda tampan yang langsung dibenci Lusia dalam waktu sesingkat-singkatnya, kepala keamanan, Rina dan dirinya, serta seorang manajer lapangan.

"Baik, rapat singkat saja, hanya ada dua hal yang ingin saya sampaikan kepada kalian. Yang pertama saya akan bentuk satu divisi baru di perusahaan, yaitu divisi humas yang dipimpin oleh saudara Hendra..." Pak Doni menepuk pundak si pemuda tampan.

Lusia agak melengoskan wajahnya saat pemuda itu tersenyum kepada dirinya.

"Saya juga memberikan jabatan baru kepada karyawan baru kita, Lusia, untuk menempati posisi wakil kepala divisi humas bidang pembinaan masyarakat," kata Pak Doni, yang seketika membuat gadis itu membelalakkan matanya karena tak percaya. "Posisi ini menggantikan bu Dina pejabat sebelumnya karena beliau mengundurkan diri karena sakit-sakitan. " kata sang pimpinan lagi.

Rina mencubit Lusia yang masih terlihat bengong. "Kamu benar-benar beruntung Lus! Dapat jabatan tinggi baru saja masuk kerja! Nasib kamu sama dengan keponakannya yang kamu benci..." bisik Rina seakan-akan menyindir gadis itu.

"Gaji lima belas juta sebulan cukup gak...?" tanya Pak Doni kepada Lusia yang membuat gadis itu tersentak untuk kedua kalinya.

"Cukup!" justru Rina yang berteriak cukup keras sambil bertepuk tangan.

"Seharusnya Rina yang mendapat jabatan karena dia lebih lama bekerja di sini..." sela Lusia merasa tak enak dengan sahabatnya yang telah memasukkannya bekerja di perusahaan itu.

Pak Doni tersenyum. "Rina memang tidak saya kasih jabatan apa-apa, karena saya ingin dia selesaikan kuliahnya dulu, dia juga di sini bekerja hanya mengisi kekosongan liburan. Dia juga keponakan saya, dan dia mendapat bagian saham dari perusahaan ini," kata Pak Doni lagi, yang kali ini benar-benar membuat Lusia terkejut bagai disengat listrik.

Wajahnya langsung terlihat heboh saat menatap Rina yang hanya cengar-cengir melihat keterkejutan dirinya.

"Jadi... kamu ini juga keponakan Pak Doni??! Kenapa gak bilang-bilang dari kemaren??!!" Lusia sampai setengah berteriak saat mengatakan itu. Ia hampir saja menabok punggung sahabatnya itu saking terkejutnya.

Pak Doni langsung tertawa.

"Sudahlah! Rina jadi keponakan saya itu sudah takdir! Dia tak bisa menolak nasib baiknya...!" kata Pak Doni sambil terus tertawa.

"Tak berpanjang lebar, saya ingin sampaikan rencana kita selanjutnya terkait sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan," kata Pak Doni.

Dan pembicaraan kali ini berlangsung sedikit tegang. Dan Lusia baru tahu ternyata masalah yang diributkan warga dengan perusahaan adalah menyangkut tanah keramat yang dilindungi warga yang ingin dirambah pihak perusahaan untuk perluasan lahan.

"Ada mitos yang berkembang di masyarakat secara turun temurun bahwa tanah itu terlarang untuk dimasuki karena menyimpan kutukan yang tersembunyi," kata Pak Doni. "Saya ingin masyarakat berubah pandangannya tentang mitos tanah keramat itu, itu cuma omong kosong! Mungkin dengan cara metode pembuktian agar warga tidak meributkannya lagi," kata Pak Doni. "Saudara Hendra, ini tugas anda. Ada masukan usul?"

"Langkah pertama, Om. Saya akan masuki tanah yang dikeramatlkan oleh warga dan ambil dokumentasi apa yang kita lihat. Dokumentasi itu yang akan kita perlihatkan kepada warga bahwa hutan itu tidak ada apa-apanya, selain burung dan monyet!" kata Hendra, yang langsung disambut tawa oleh peserta rapat yang hadir.

"Oke, usul yang bagus, akan saya anggarkan biaya nya, dan anda juga akan didampingi oleh wakil anda, Lusia untuk memasuki hutan yang dikeramatkan itu... rapat saya tutup...!"

Lusia terbelalak.

Masuk hutan terlarang?

Berduaan dengan si keponakan???

Tapi Lusia tak bisa menolak saat keesokan pagi nya ia sudah duduk di samping Hendra di motor boat yang akan membawa mereka menyusuri sungai mendatangi hutan yang dikeramatkan warga.

Saat itu motor boat perusahaan dikemudikan oleh seorang motoris bertubuh kurus bernama Martinus. Dan kini tengah meluncur membelah sungai yang melintasi hutan rimba Kalimantan.

"Udah lama kerja sama Om Doni?" tanya Hendra di tengah perjalanan. Sejak tadi Lusia dilihatnya hanya berdiam diri.

"Baru satu minggu," jawab Lusia singkat.

Hendra tertawa. "Karirmu melejit rupanya. Biasanya Om Doni selektif dalam penempatan karyawan. Itu artinya kau dianggap potensial bagi perusahaan, " kata Hendra lagi.

Untuk pertama kalinya Lusia tersenyum kepada Hendra sejak mereka bertemu. Ternyata keponakan boss tidak semenyebalkan yang kuduga, pikir Lusia.

"Kau yakin kalau hutan yang dikeramatkan oleh warga itu cuma omong kosong, Hen?" tanya Lusia saat motor boat meluncur melintasi sungai. Melewati kawasan hutan yang semakin lebat dan alami. Kini tak satupun ada rumah penduduk di tepi sungai yang mereka lihat.

"Delapan puluh persen, ya. Secara logika aku tidak percaya. Tapi sisanya yang dua puluh persen aku meragukannya," jawab Hendra.

"Maksudmu, Hen?" Lusia mengerutkan alis.

"Yang dua puluh persen aku berpendapat bahwa kepercayaan masyarakat ada alasannya," jawab Hendra lagi.

Lusia tercengang.

"Maaf, ini cuma pendapatku pribadi. Tapi warga tak mungkin membela mati-matian bahkan sampai berurusan dengan nyawa segala kalau tidak ada apa-apa nya di hutan itu..." tambah Hendra.

Tak berapa lama motor boat memasuki sebuah anak sungai, yang pemandangan sekitarnya hutan yang semakin lebat, lebih menyeramkan karena tak ada satupun tanda-tanda ada kehidupan manusia di tempat itu.

"Kita sudah sampai di hutan terlarang," kata Martinus sang motoris, lalu memelankan laju motor boatnya, dan beberapa saat kemudian kendaraan air itu memang benar-benar berhenti. Di dekat sebuah pohon besar sekali, namun ada penanda aneh, berupa lilitan kain berwarna kuning pada pangkalnya, serta sebuah miniatur rumah di bawahnya yang berbendera kain merah.

"Itu adalah penanda tata batas kawasan yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun, dan kawasan ini sudah ratusan tahun tak pernah disentuh," kata Martinus lagi.

Lusia dan Hendra tercengang.

"Kau serius?" tanya Hendra.

"Saya juga orang kampung sini, Pak Hendra, jadi saya tahu semuanya," kata pemuda bertubuh kurus berjaket hitam itu sambil tersenyum. "Kalau Bapak ingin masuk sana silakan, saya hanya menunggu di sini untuk berjaga-jaga..." katanya.

Lusia mulai ragu-ragu dan agak takut, tapi ia menurut saja saat Hendra menarik tangannya memasuki kawasan hutan.

Hutan itu sunyi sepi, tapi suasananya terkesan teduh dan menyenangkan. Membuat Lusia senang dan tidak begitu takut lagi.

"Ternyata hutan terlarang tak semenyeramkan yang digambarkan orang-orang ya, Hen. Mungkin betul kata Pak Doni kalau mitos itu hanya bikin-bikinan saja," kata Lusia saat mereka semakin memasuki ke dalam hutan.

Tapi beberapa saat kemudian langkah Lusia terhenti. Matanya menatap nanar sesuatu yang berada di bawah pohon besar. Sesuatu itu memandang mereka dengan mata bola nya yang bening. Sesuatu yang sejak tadi sibuk memakan rumput.

"Astaga... seekor rusa besar sekali... aku tak pernah melihat hewan ini seumur hidup..." desis Lusia.

Hendra menatap rusa itu dengan tatapan khawatir. "Hati-hati, Lus! Hewan itu biarpun bukan hewan pemangsa, dia bisa saja menyerang manusia jika merasa terusik," bisik Hendra saat dilihatnya Lusia secara pelan mengeluarkan ponselnya bermaksud ingin mengambil foto hewan itu.

Pelan-pelan Lusia mendekat, hewan itu tak bergeming dan hanya menatapnya.

"Lus... jangan terlalu dekat...!" Hendra memperingatkan khawatir saat dilihatnya posisi Lusia sangat dekat dengan rusa gemuk bertubuh besar itu. Ia juga merasa heran kenapa ada hewan tak agresif di tengah hutan liar.

Lusia tak peduli, ia mengambil beberapa foto ketika hewan itu mulai berdiri dan terus menatapnya. "Sssttt... jangan pergi ya... aku akan mengambil fotomu untuk instagramku! Eh, nanti kamu jadi terkenal lho... ssstt jangan pergi ya..." Lusia terus mendekat.

Hendra semakin khawatir, ia ikut mendekati Lusia, berjaga-jaga kalau-kalau hewan itu menyerang gadis cantik itu. "Gadis bodoh... aku sudah memperingatkanmu..." desis Hendra penuh kecemasan.

Tapi Lusia tidak peduli, dan rusa berwarna kuning kecoklatan itu hanya diam saja ketika Lusia semakin mendekat.

"Hewan yang cantik... kamu diam ya..." Lusia terus mendekat penasaran, kini jaraknya hanya satu meter dari posisi rusa. Tanduknya yang bercabang-cabang tampak bergerak saat ia memiringkan kepalanya menatap lucu ke arah Lusia.

Sekali lagi... cekrek! Cekrek! Lusia mengambil foto.

Tingkah gadis itu semakin gila. Ia mendekati rusa itu dan menjulurkan tangannya mencoba menyentuh leher rusa itu.

Hendra menarik nafas putus asa. "Kalau kau mati aku tak bisa membawamu pulang, mayatmu akan kutinggalkan di sini..." kata Hendra bernada geram. Tapi ia juga penasaran melihat rusa itu tak bereaksi saat Lusia menyentuhnya. Ia memandang tak percaya.

"Hen...! Dia jinak...!" Lusia berteriak kegirangan. Ia melompat-lompat di samping rusa. Ia bahkan kini mulai berani berselfie ria di samping rusa itu.

Hendra ternganga. Tapi ia masih sulit untuk percaya kalau hewan itu ternyata jinak dan bahkan bisa disentuh.

"Hen...! Aku akan bawa pulang saja rusa ini ya...!" Lusia kini dalam posisi memeluk rusa itu.

Hendra tersenyum kecut. Ia mulai memotret Lusia dalam berbagai pose dengan rusa itu.

Tiba-tiba rusa itu bergerak pelan dan berjalan ke dalam hutan.

"Hei, hei! Mau kemana kau?! Jangan pergi, Bambang!" Lusia menjerit-jerit sambil menarik ekor rusa itu. Hendra tersenyum melihat tingkah Lusia yang tampak kekanak-kanakan. Tapi ia memutuskan untuk masuk saja ke hutan itu untuk melihat bukti lebih jauh. "Biar saja. Ikuti saja dia," katanya sambil berjalan mengikuti Lusia lebih masuk ke dalam hutan.

***

Chapitre suivant