webnovel

21. Raja Begal Citarum

Malam itu, seseorang memakai jubah serba hitam dilengkapi tudung kepala dengan pedang di punggungnya, menyelinap masuk ke sebuah pondok kecil. Melalui jendela kayu yang dibiarkan tidak dikunci, dengan mudahnya dia melompat masuk sambil mengendap-ngendap. Saat dia memasuki ruang tengah, tanpa sadar langkah kakinya menyentuh seutas benang yang sebenarnya sengaja dipancangkan setinggi betis sebagai alarm tradisional. Benang dijadikan pemicu yang dikaitkan pada sepotong bambu serta kepingan logam seukuran cakram. Sehingga ketika benang tertarik, secara otomatis melepas pegas pada bambu dan logam pun berbunyi bak suara alat musik bonang dalam gamelan. Suaranya menggema mengisi seluruh ruangan.

Dari sebuah bilik, dengan secepat angin seseorang yang menghuni pondok itu muncul. Secara refleks si penghuni pondok menaburkan bubuk asap untuk menyamarkan pandangan. Dengan buas, dia menyerang si penyusup menggunakan golok. gerakan serangannya terbilang asal-asalan karena seluruh ruangan sudah dipenuhi asap putih nan tebal yang menyebabkan mata sulit untuk melihat lawan. Serangan demi serangan berhasil dimentahkan. Mudah bagi si penyusup menangkis serta menghindari serangan buasnya. Hingga justru si tuan rumah yang dipukul mundur sampai ke sudut dinding. Tubuhnya jatuh dan terkapar. Pria berjubah hitam itu menumpangkan kakinya di atas dada si penghuni pondok sebelum akhirnya menyabut pedang dari punggungnya dan mengarahkan ke sisi kiri leher si tuan rumah.

Asap mulai memudar. Mereka saling menampakkan wujud mereka masing-masing. Si tuan rumah adalah seorang pria paruh baya bertubuh gembrot dengan kumis tebal hampir menutupi seluruh bibir bagian atas. Dia menggunakan ikat kepala kain batik untuk menutupi separuh rambut kepalanya yang mulai beruban serta merontok. Si penyusup membuka tudungnya, Si tuan rumah terkejut ringan melihat orang yang menyusup ke pondoknya ini sudah tak asing baginya. Dia adalah Raden Asmaraga putra dari Tumenggung Aria Laksam.

"Seorang putra pejabat negara menyusup ke rumah rakyatnya layaknya seorang maling," ucap santai si tuan rumah yang masih terkapar itu.

Asmaraga menarik pedang dan kembali menyarungkannya ke punggung.

"Aku pejabat, aku tidak perlu mengendap-ngendap untuk menjadi maling. Uang mendatangiku" Asmaraga mengulurkan tangannya kepada orang tersebut. "Ayo bangun, Menyawak!"

Si tuan rumah yang bernama Menyawak itu menepis tangan Asmaraga. "Aku bisa bangun sendiri!"

Mereka berdua kemudian duduk di kursi ruang tamu. Menyawak menuangkan air dari dalam kendi ke cangkir yang sudah tersedia di meja tamu. Asmaraga meletakan sebuah kantong kain berisi banyak koin emas. "Ini bayaran atas tugasmu!"

Menyawak mengambilnya dan membuka kantong tersebut. Dia meringis bahagia melihat isinya emas yang begitu banyak. Namun kemudian dia menanggalkan ekspresi bahagianya itu.

"Tapi, masalahnya... "

"Tenang, soal anak buahmu. biar jadi urusanku," potong Asmaraga yang lalu menyeruput air teh di cangkirnya.

"Di mana anak buahmu yang lain?" sambung Asmaraga.

"Seperti biasa, mereka sedang melakukan tugasnya masing-masing."

"Kemarin, aku mendengar kabar kalau ada pedagang dari Palembang yang terkena begal. Apa kamu yang melakukannya?"

"Ah... itu benar, Raden. Kenapa?"

"Tidak, aku kira gerombolan Saga Winata yang melakukannya."

"Sebetulnya, tanpa dibayar pun. Aku dan semua anak buahku siap menyingkirkan Saga Winata. Dia adalah saingan terbesarku dalam dunia rampok di wilayah Galuh ini. Tetapi kami rasa pasukan kami tidak cukup mampu melawan anak buah Saga Winata yang dikenal begitu buas itu."

"Menang tidak harus melalui pertempuran langsung, jika kita mau menggunakan akal pikiran, kita akan mampu mengalahkan ribuan singa buas sekalipun," ujar Asmaraga.

"Memang, kaum jalanan seperti kami hanya tahu mengambil tindakan menggunakan otot saja, sedangkan Raden adalah seorang pejabat negara yang setiap hari bekerja menggunakan pikiran. Untuk itu sumbangsih Raden ini sangat sangat berharga bagi kami. Dengan turut andilnya Raden juga kami merasa mendapatkan perlindungan hukum dari kerajaan."

"Aku sudah perhitungkan soal itu," ujar Asmaraga meyakinkan.

"Tapi Raden, apa keuntungan bagi Raden sendiri? Kenapa Raden ingin sekali membinasakan Saga Winata?"

"Itu bukan urusanmu!" tegas Asmaraga.

"Memang bukan. Ya sudah, aku memang tidak perlu tahu kepentingan Raden. Yang penting keuntungan yang aku dapatkan sudah lebih dari cukup," kata Menyawak. "Lalu apa rencana Raden selanjutnya?" lanjutnya.

"Beberapa hari lagi Saga Winata akan dicap sebagai buronan kerajaan. Tentu dia akan menjadi orang paling dicari di Galuh. Kerajaan akan mengerahkan banyak tentara untuk mengetatkan patroli. Aku minta dalam beberapa hari kedepan, kalian harus menghentikan sementara kegiatan perampokanmu dan para anak buahmu. Jika kalian membantah, aku tidak akan bertanggung jawab kalau kalau kalian yang malah tertangkap."

"Itu mudah saja, Raden. Asalkan kami punya pemasukan pengganti."

"Cukup tamak juga rupanya kamu, Menyawak!"

"Jika kami tertangkap, tentu Raden juga akan terlibat," ancam Menyawak.

"Baik, akan aku berikan apa yang kamu butuhkan. Tetapi tidak semuanya. Hanya satu per tiga dari pemasukan yang biasa kalian dapat."

"Satu per tiga? Boleh lah..." celoteh Menyawak. "Kapan keempat anak buahku akan diadili?"

"Aku belum mendapat berita perihal itu. Tetapi besok aku akan pergi ke Kotaraja Saunggalah untuk mencari tahu."

Malam semakin larut. Asmaraga melajukan kudanya dengan cepat menuju Kotaraja Saunggalah. Melewati jalanan berlumpur nan becek di pinggiran sungai Citarum. Saunggalah jaraknya sangat jauh, perlu waktu dua hari untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki. Tetapi menggunakan kuda dengan kecepatan tinggi, hanya membutuhkan waktu satu malam saja.

Sementara itu di lingkungan Kedaton Kotaraja, Jayendra, Mahaguru Sutaredja, Seruni, Lingga, Saksana, dan dua orang murid bernama Sunggi dan Mursad sedang makan malam bersama di wisma tamu. Di sela-sela makan, mereka berbincang membahas perihal persidangan yang akan datang.

"Jadi, kapan persidangan akan di mulai Mahaguru?" tanya Jayendra membuka pembicaraan.

"Aku sudah membuat laporan, Besok lusa persidangan akan dimulai," ujar Sang Guru.

"Semoga hukumannya berat," ujar Lingga.

"Hukum gantung atau penggal misalnya?" Saksana menimpali.

"Apakah itu tidak melanggar kebebasan hidup manusia sebagai makhluk ciptaanNya?" ujar Seruni. Seluruh yang ada di situ diam dan memandang Seruni heran.

"Maksudku, bukannya tidak setuju dengan hukuman mati, tetapi apakah semua orang tidak layak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya?" sambung Seruni

"Penjahat keji seperti mereka tidak pantas diberi ampun, Nyai!" tegas Saksana yang bangkit berdiri dari tempat duduknya.

"Saksana!" tegur Jayendra sambil turut berdiri. "Duduk!" lanjutnya.

"Maaf kalau saya lancang, Mahaguru!" ucap Seruni merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, semua orang berhak memiliki pandangan atas nilai-nilai kemanusiaan. Tetapi kita tunggu saja keputusan peradilan lusa. Yang jelas, kita berharap melalui proses peradilan ini supaya bisa menjadikan pelajaran untuk seluruh masyarakat bahwa perbuatan keji seperti ini tidak bisa dibenarkan," ucap Sang Guru mendinginkan.

"Semoga semuanya berjalan lancar, ayo lanjutkan makannya," Jayendra meneduhkan.

Seruni memandangi semua yang ada di situ dengan rasa tidak enak hati, di benaknya seolah menyesal telah mengemukakan pandangannya itu. Tetapi Jayendra memandang Seruni dengan senyuman seolah berkata 'Tidak apa-apa, aku bersamamu'

.

Chapitre suivant