webnovel

Hellius Protection

Axelia berjalan hampir seperti tersandung-sandung untuk menyamakan langkah terburu-buru Aiden. Mereka sedikit berlari di lorong gelap yang luas menuju pintu keluar diujung jalan. Hingga ratusan orang melompat turun dari deretan balkon dan mengepung mereka. Kulit yang memucat abu-abu, mata tak berarah, air liur membanjiri mulut, kuku memanjang hitam, bukan ciri orang waras.

"Apakah mereka semua level Exval?" kata Axelia. Level Exval adalah manusia selayaknya zombie yang kehilangan akal setelah mereka digigit vampir. Namun, mereka akan kembali waras usai meminum darah manusia lain.

"Ya, seperti yang kau ketahui... dan sebagian dari mereka adalah orang desa Rumh." Aiden menyahut dengan mata awas. Melihat satu dua orang desa Rumh telah berubah menjadi level Exval.

"Axelia, tetaplah di belakangku," peringat Aiden saat mengeluarkan pedangnya. Sementara tangan kirinya bersiaga dengan pistol perak. Aiden menerjang maju: menebas setiap dari mereka yang menghalangi jalan.

Level Exval melompat ke arah Axelia. Axelia yang tersentak sadar, dalam sekejap tubuhnya terhuyung dan menubruk sesuatu yang bidang, disusul suara tembakan seketika menghancurkan wujud level Exval. Aiden menodongkan pistol sembari mendekap pundak Axelia. Netra hijaunya bergerak waspada, melihat mana lagi yang akan ditembaknya.

Sedangkan Axelia yang wajahnya terbenam di dada lelaki ini, dapat mendengar suara detakan jantungnya. Jantung Aiden berdetak lebih cepat. Lalu Axelia melingkarkan lengannya ke pinggang ramping Aiden, memberi pelukan lembut. "Tenanglah, Aiden. Semua akan baik-baik saja," bisik Axelia yang bersandar nyaman di sana.

Suara lembut Axelia mampu membuat Aiden berangsur-angsur tenang. Detakan jantungnya perlahan kembali normal. "Kau tidak perlu mencemaskanku. Fokus saja dengan tujuanmu." Kata-kata Axelia seolah menguatkan tenaga Aiden sekaligus menyejukkan hatinya yang sempat gelisah.

"Tetaplah di dekatku," kata Aiden. Mereka mulai melangkah maju, sambil kedua tangan kokoh Aiden menebas dan menembak dalam waktu bersamaan.

Satu per satu level Exval luruh, menjadi abu yang menghilang tanpa pakaian yang tertinggal di tanah. Tidak terlalu mudah menghabisi mereka meski wujud mereka rapuh, lantaran ada begitu banyak level Exval agresif dari berbagai sisi.

Aiden mengangkat pistolnya secara vertikal. Menghitung sisa peluru yang dimilikinya. Lima peluru telah dibuang tanpa sia-sia tadi. Sebetulnya Aiden tidak ingin menggunakan senjata api ini sebagai senjata pamungkas.

"Aiden, aku percaya kau bisa melakukannya tanpa pistol," kata Axelia. Seolah-olah membaca pikiran Aiden yang bimbang. "Simpan saja kartu asmu untuk momen penting." Nasihat dari Axelia seakan memberikan jawaban bijak atas dilema Aiden. Sehingga kini lelaki itu setuju untuk menyimpan kembali pistol perak ke pinggangnya. "Terima kasih, Axelia," ucap lelaki itu lega.

Kemudian Aiden memegang pedangnya dengan genggaman mantap. Lengannya berayun kuat. Zrat! Zrat! Satu dua tebasannya tidak pernah gagal.

Boom! Dentuman dalam, terdengar seperti benda besar jatuh ke permukaan tanah. Langit-langit bangunan tampak berlubang besar, mengakibatkan sebagian tembok batu berjatuhan runtuh. Melenyapkan sejumlah level Exval yang tertimpa.

Di tengah debu yang mengepul dari sumber suara di depan, bayangan raksasa samar-samar terlihat. Aiden menunggu tegang, memperhatikan bajingan seperti apa yang datang menghalangi pintu keluar itu.

"Dergon!" kaget Aiden menyebut jenis monster. Bertubuh raksasa enam meter dan besar, disertai dua tanduk di dahi, otot yang timbul ke permukaan kulinya yang berwarna cokelat gelap merupakan ciri dari Dergon. Salah satu prajurit iblis yang turun dari neraka.

"Aiden, kurasa kita tidak harus menghadapinya. Mungkin kita bisa menyelinap di bawah kakinya..." usul Axelia.

"Ya, niatku begitu." Aiden memutar otak, mencari cara agar bisa melarikan diri. Jika bertarung dengan makhluk itu, akan membutuhkan waktu lama. Sedangkan para level Exval terus bergerak mendekati. Aiden menemui kesulitan di sini. Bagaimana dia bisa membawa keluar Axelia dengan selamat?

Aiden kemudian menarik napas. Mencoba untuk berpikir tenang dan rileks. Lantas lelaki itu mengeluarkan pistol peraknya di tangan kiri. Bertarung jarak dekat akan beresiko membuat Axelia terluka oleh level Exval karena ditinggal. Tetapi bila menggunakan pistol, Aiden bisa bertarung dari jarak jauh sambil menjaga gadis ini.

Suara klik dari pistol peraknya menandakan lelaki itu mengganti amunisi. Lalu dia meluruskan tangannya ke depan. Dor! Satu tembakan meluncur dalam sedetik. Tampak asap tipis mengudara di tubuh area bidikannya, dan lengan besar itu terjatuh seketika. Jeritan Dergon menggema di seisi ruangan.

Peluru perak ampuh melukai monster tersebut. Aiden kembali melepas pelatuknya. Letusan senjata api itu berhasil melubangi perut Dergon. Namun, tidak langsung membuatnya mati. Makhluk itu terlihat kaget melihat tubuhnya tidak dapat beregenerasi lagi. Lantas dia menggeram benci pada Aiden.

Sementara itu level Exval menerjang, pada detik yang sama, Axelia menaburkan garam dari kantong kain kecil di tangannya. Level Exval seketika menjerit perih dengan wajah melepuh. Aiden tersentak menoleh. "Dari mana kau dapatkan garam itu?" tanyanya melongo.

"Aku mengambilnya dari pinggangmu tadi," jawab Axelia polos. Dia mengambilnya saat memeluk Aiden, dan tanpa sengaja tangannya meraba kantong kain ini.

"Astaga, aku melupakan benda penting itu. Kupikir garamku sudah habis, tapi syukurlah." Aiden mendesah lega. Karena terlalu fokus pada musuh di depan dan dua senjata andalannya, sampai lupa mempunyai sekantong kecil garam di ikat pinggangnya.

Debu berjatuhan ketika atap lorong tampak bergetar. Aiden mendongak sebelum berkata. "Sepertinya, sebentar lagi tempat ini akan menimbun kita." Saat itu tanah bergetar lagi dan Dergon berlari maju. "Dia datang!" Aiden bersiap dengan pistolnya.

Dor!

Dor!

Dergon tumbang. Jatuhnya membuat tembok semakin runtuh di beberapa tempat. Batu yang menggelinding jatuh, hingga level Exval yang kian berkurang. Dergon tidak benar-benar mati saat makhluk itu bangkit lagi dengan tertatih.

Aiden tidak membuang kesempatan, dia menarik pergelangan Axelia dan membawanya berlari melewati tubuh besar Dergon. Terus berlari secara zig-zag menghindari bebatuan yang runtuh dari atas. Membuat Axelia yang matanya tertutup kain harus ekstra berhati-hati dalam melangkah. Salah sedikit bisa tersandung sampai menghambat pelarian mereka.

Axelia memusatkan konsentrasinya untuk mengetahui letak batu di depan kaki telanjangnya. Besar atau kecil. Bisa dilompati atau tidak. Sejauh ini belum pernah terselip batu-batu itu. Terkadang dia melompat ringan. Pelarian ini berjalan mulus, sebelum tangan besar mendekat dan meraih tubuh Aiden. Genggaman tangan keduanya pun terlepas. "Aiden!" kaget Axelia.

"Teruslah berlari ke depan! Pintu ada di sana!" teriak Aiden saat di dalam cengkraman tangan Dergon. Axelia bimbang. Gelisah merambati benaknya. Jika dia tinggalkan Aiden di sini, dia tidak akan tahu bagaimana nasib lelaki itu setelahnya. Selamat sendiri, rasanya sesuatu yang memalukan.

Axelia masih berdiri ketika mata Aiden membelalak melihat tembok batu bak ditarik gravitasi di atas kepala gadis itu. "Axelia! Cepat pergi dari sana!"

Axelia bereaksi lambat. Hingga suara debaman keras membuat ekspresi Aiden memucat. Debu dan reruntuhan di sana bagaikan melenyapkan dunia Aiden. Tapi, bayangan seseorang tampak berdiri dibalik kepulan debu tersebut. Wujudnya seperti laki-laki yang berdiri dengan topi di kepala, sambil memegang pedang panjang. Aiden memperhatikan dengan tidak sabar seiring cengkraman Dergon membawanya ke mulut besar untuk dimakan.

Aiden hampir menyerah pada hidup jika Axelia benar-benar tertimbun di sana, sebelum kabut debu tersingkap dan sosok Vincent berdiri di belakang Axelia yang berlutut melindungi kepala. Perasaan Aiden seratus kali lega. Seolah seluruh beban terangkat ke udara.

Axelia sadar bahwa dia tidak segera merasakan hantaman keras di tubuhnya. Perlahan-lahan menurunkan tangannya dari kepala, lalu meluruskan pandangan. Gadis itu tersentak tiba-tiba. Mulut Axelia terkuak. "A-aiden!!! Jangan mati!" jeritnya terkejut bersamaan ketika Aiden hampir mencapai bibir makhluk itu.

Aiden mendengus tersenyum. "Vincent! Bawa Axelia pergi dari sini!" Aiden berteriak.

"Kau akan berhutang padaku," kata Vincent dengan nada tenangnya. Pria itu menyarungkan pedang panjangnya. Kemudian perawakan tegapnya merunduk, meraih Axelia dan menggendongnya di pundak. "Tidak! Lepaskan aku! Aiden!!!" Axelia memekik panik. Dia memberontak, memukul-mukul tubuh Vincent. Akan tetapi Vincent tidak goyah sedikit pun. Seolah-olah tubuhnya terbuat dari batu yang keras, dan usaha Axelia menjadi sia-sia saat mereka menjauhi Aiden, diringi reruntuhan batu mulai menutup jarak pandang di belakang.

Axelia tercekat. Dia terkulai dengan air mata membanjiri pipinya sekarang.

***

Chapitre suivant