webnovel

Potong Rambut

"Kau ini kenapa sih?"

Lucas menatap ku datar. Hais! Dia dari tadi menatap ku datar terus! Sumpah, aku tidak paham jalan pikirannya. Aku menghela napas pasrah. Dia marah karena ku pukul ya?

"Kau marah karena ku pukul?"

"Tidak."

"Lalu Kau itu kenapa, sih?" aku mulai kesal.

Lucas melipat kedua tangan di depan dadanya dan menatap ku tajam. Kali ini tatapan tajam.

"Ntah, aku sedang kesal!"

"Makanya aku tanya, Kau kesal kena-"

CTAK!

Lucas menghilang dari hadapan ku. Apa? Dia pergi begitu saja? Ha? Penyihir kurang ajar itu! Beraninya dia pergi saat seseorang sedang berbicara! Dasar sialan!

***

Keesokan harinya

Pagi ini, aku tidak sarapan dengan papa. Papa masih tidur karena lembur semalaman. Aku menghela napas pelan. Semoga papa tidak lupa makan.

Tidak ada jadwal pelajaran pagi ini, jadi aku bisa bermain. Aku menghela napas. Aku menuju perpustakaan beberapa saat yang lalu untuk mencari buku bacaan dan pergi ke taman bunga. Felix yang sejak tadi mengikuti ku menyiapkan sebuah tikar untuk duduk.

Aku berterima kasih pada Felix dan menyuruhnya kembali. Tak lupa aku menyuruh Felix memberi tahu Lily agar menjemput ku siang nanti. Felix memberi salam dan pergi. Ku buka buku yang ku bawa sejak tadi, sebuah novel fantasi.

Beberapa menit berlalu dengan tenang. Aku sudah membaca sampai ¾ bagian dan sekarang mata ku lelah. Ku tutup buku ku dan menatap ke atas. 'Bosan!' batinku dalam hati.

"Kau bosan, Tuan Putri?"

DEG!

Aku menoleh ke kanan. Ku dapati Lucas tengah duduk di sebelah ku sambil bertopang dagu. Aku baru saja mau berteriak karena kaget, tapi tidak jadi karena Lucas menutup mulut ku duluan.

"Jangan berisik!"

Aku melepaskan tangannya dari mulut ku, "apa yang Kau lakukan di sini?"

Lucas menggidikkan bahu dan mengambil buku di pangkuan ku. 'Ini orang suasana hatinya nggak bisa ditebak.' ledek ku dalam hati. Kemarin dia kesal dan marah tidak jelas pada ku. Sekarang dia malah main dengan ku seakan-akan kemarin tidak terjadi apa-apa.

Aku menghela napas panjang. Lucas menoleh ke arah ku dengan kesal.

"Aku sudah bilang jangan sering-sering menghela napas. Kau bisa ketahuan kalau sudah tua tahu."

Perempatan muncul di dahi ku. Ingin rasanya aku memberinya bogem mentah, tapi urung ku lakukan. Kemarin setelah aku memberinya bogem mentah, Lucas marah kan? Kalau begitu tidak jadi deh.

Nanti kalau dia kesal dengan ku dan pergi, kartu AS ku untuk bertahan hidup hilang. Lebih baik aku tidak macam-macam dengannya. Aku menghela napas lagi dan berdiri. Ku ambil buku di tangan Lucas dan pergi.

"Kau ini kenapa sih, Tuan Putri?"

Aku melirik ke belakang, Lucas berdiri sambil melipat tangan. Wajahnya tampak kesal. Bukannya aku yang harusnya kesal ya?

"Bukannya aku yang harusnya bertanya begitu, Tuan Penyihir?" ucap ku dengan nada ketus.

"Satu-satunya yang terlihat aneh di sini itu Kau, Tuan Putri."

SI BRENG*** INI! Dia tidak pernah ngaca atau gimana sih? Aku berbalik dan meletakkan buku di tikar. Ku hampiri Lucas dan menampar pelan kedua pipinya.

"Aw!"

"Dengar ya, Tuan Penyihir Terhebat Sejagad Raya! Yang aneh di sini itu Kau! Kemarin Kau marah-marah tidak jelas pada ku lalu pergi begitu saja saat aku masih bicara! Aku itu sedang kesal karena kelakuan mu! Kau paham?"

Aku setengah berteriak di depannya. Aku mengambil buku ku lagi dan berbalik pergi.

CTAK!

Aku mendengar suara jentikkan jari. Apa Lucas akhirnya pergi? Saat aku berpikir, tiba-tiba tubuh ku berbalik. Lho, kenapa aku berbalik? Aku berjalan mendekati Lucas.

TUNGGU DULU DONG! Aku itu mau pergi ke perpustakaan bukannya menghampiri Lucas. Aku menatap Lucas yang menatap datar ke arah ku. Aku terkesiap, ini adalah sihir! Penyihir sialan!

BRUK!

Aku jatuh terduduk. Aku menatap tajam ke arah Lucas. Seenaknya saja dia menyihir seorang putri raja.

"Apa mau mu?" ucap ku dengan nada sangat ketus.

Lucas diam dan menatap datar ke arah ku. Tuh kan, dia begitu lagi. Aku bingung dengan sikapnya yang begitu. Di luar dugaan, tatapan Lucas melunak. Dia menggaruk tengkuknya.

"Maaf."

Satu kata itu membuat ku terkejut. Telinga ku tidak salah dengar kan? Lucas baru saja minta maaf? Aku menatap tidak percaya padanya. Namun segera ku tepis jauh-jauh pikiran itu, tidak sopan bersikap seperti itu pada orang yang minta maaf. Aku mengangguk patah-patah sebagai balasannya.

Lucas yang melihat itu menghela napas pelan dan ikut duduk. Angin berhembus agak kencang, membuat rambut panjang Lucas berantakan tapi tidak untuk ku yang rambutnya dikuncir. Lucas kewalahan menahan rambutnya agar tidak semakin berantakan. Ketika angin tidak lagi berhembus kencang, aku terkekeh.

"Kenapa tidak potong rambut saja sih?"

Lucas menoleh, "aku sudah ratusan tahun bersama dengan rambut panjang. Enak saja Kau menyuruh ku potong rambut."

"Kau kan punya sihir. Kalau Kau bosan dengan rambut pendek tinggal dipanjangin lagi kan?"

Lucas terdiam dan aku terkekeh geli. Lucas menatap datar ke arah ku, "yasudah, ayo."

Aku mengerjapkan mata ku. LUCAS SETUJU! Aku langsung berdiri dan menarik tangannya. Kami berlari menuju Istana Emerald.

Saat kami sampai di depan Istana Emerald, Lily menyambut kami. Aku tersenyum dan memintanya untuk mengambil kain panjang dan gunting lalu membawanya ke taman belakang. Lily terlihat bingung, tapi tetap mengambilnya untuk ku.

Aku kembali menarik tangan Lucas dan menuju ke belakang Istana Emerald. Aku menyuruh Lucas duduk di sebuah kursi. Tak lama kemudian, Lily datang membawa kain dan gunting.

Aku menyampirkan kain yang Lily bawa ke pundak Lucas dan meminta Lily untuk memotong rambut Lucas. Lily hanya melongo. Apa sih? Lucas sudah setuju kok. Lily melirik Lucas yang diam di tempat kemudian mulai memotong rambut Lucas.

Alasan sebenarnya mengapa aku menyuruh Lucas potong rambut bukan karena repot kalau ada angin kencang. Seth pernah bercerita pada ku kalau Lucas pernah terjatuh karena rambutnya. Aku terkekeh geli.

Kronologinya begini. Seminggu sebelum Lucas pergi menjalankan tugas dari papa, kalian ingat saat Lucas bilang dia sibuk dan akan pergi selama satu minggu? Nah, di hari itulah peristiwa yang melibatkan rambut panjangnya terjadi.

Seth bilang pada ku. Sore itu, saat Seth sedang beres-beres di kamar Lucas. Lucas sedang berkutat di wilayah berantakan dan Seth diminta membantu menata buku. Awalnya sih semua baik-baik saja. Hingga Seth mendengar suara bising dari tempat Lucas.

Seth yang ada di sisi berlawanan sekaligus terhalang buku, segera menghampiri Lucas. Tapi begitu sampai, dia tertawa. Lucas jatuh terduduk dengan rambut yang tersangkut di tumpukan buku.

HAHAHA! Aku ingin sekali tertawa. Aku hanya mendengarnya dari Seth saja tertawa, apalagi kalau melihat langsung. Ah, aku ingin lihat!

"Sudah selesai."

Aku menoleh ke arah Lucas ketika mendengar suara Lily. Lucas mengacak rambutnya dan berdiri. Aku bungkam, tidak percaya dengan apa yang ku lihat.

Aku menghampiri Lucas dengan segera. Tanpa aku sadari, tangan ku menangkup kedua pipi Lucas. Aku menarik pelan wajahnya untuk menghadap pada ku.

Ini sungguhan Lucas kan? Aku sebenarnya tidak mau mengakuinya, tapi dia...DIA TAMPAN SEKALI SIALAN! Aku memasang wajah tidak percaya.

"Aku tahu kalau aku tampan, Tuan Putri, tapi aku tidak tahu kalau Kau mengagumi ku sampai seperti ini," Lucas menyeringai.

Aku tersadar dan melepaskan tangan ku dari pipi Lucas. Aku membuang pandangan ke arah lain. Wajah ku terasa sangat panas. 'Kau ngapain sih, Athy?' aku mengutuk diri dalam hati.

CTAK!

Aku menoleh, Lucas menghilang. Aku hanya melongo. Bisa-bisanya dia pergi begitu saja! Aku mendengar suara Lily yang terkekeh pelan. Aku menaikkan sebelah alis ku.

Lily berhenti terkekeh dan bertanya, "apa Anda melihat wajah Tuan Penyihir barusan, Tuan Putri?"

Aku menggeleng pelan. Memangnya ada apa dengan ekspresi wajah Lucas? Tunggu, yang penting sekarang bukanlah itu! Aku harus bicara padanya dan dia malah pergi. Duh, aku belum jadi menanyakan tentang mimpi itu kan jadinya. Aku memanyunkan bibir ku dan mengajak Lily untuk masuk ke istana.

***

Seth POV

Aku sedang berjalan-jalan di taman Istana Sapphire. Mungkin seharusnya seorang kepala pelayan tidak bersantai-santai seperti ini, tapi memang ini tugas ku. Tuan di Istana Sapphire adalah Tuan Lucas, dan yang sedang ku lakukan ini adalah perintah dari Tuan Lucas.

Aku memandang ke langit. Sudah hampir siang dan Tuan Lucas belum pulang. Apa beliau ada tugas mendadak? Baru saja dibicarakan, orangnya pun datang. Eh, penampilannya beda.

Aku menghampirinya dan menyambut sambil menunduk hormat. Tuan Lucas berhenti tepat di hadapan ku. Aku menatap tuan ku ini. TUAN LUCAS POTONG RAMBUT!

"Kapan Anda potong rambut, Tuan Lucas?" aku bertanya penasaran.

"Tadi."

"Di mana?"

"Istana Emerald."

"Permintaan Tuan Putri?"

Tuan Lucas terdiam. Eh, benar nih permintaan Tuan Putri? Tuan Lucas menghadap ke arah lain, aku mencuri pandang ke wajahnya.

'Kok rasanya, wajah Tuan Lucas merah ya?' aku bertanya dalam hati. Aku diam sejenak dan berpikir. JANGAN-JANGAN SESUATU YANG MANIS TERJADI PADA MEREKA SAAT AKU TIDAK DI TKP?

Ah! Sayang sekali kalau begitu! Mungkin nanti aku akan bertanya pada Lilian. Hm... sekarang harus apa nih?

"Perlu saya siapkan yang biasa, Tuan Lucas?" aku bertanya.

"Siapkan teh saja. Aku," Tuan Lucas menjeda kalimatnya, "aku mau menenangkan pikiran dulu di sini."

AAAA! Lucu sekali! Lihatlah semburat merah di wajah putih beliau! Terlepas dari fakta bahwa beliau adalah penyihir agung berusia ratusan tahun, di mata ku Tuan Lucas tetaplah anak kecil berusia tujuh tahun! Dan sikapnya saat ini lucu sekali!

Aku mengangguk pelan pada permintaan Tuan Lucas dan pergi menuju dapur untuk menyiapkan teh. 'Aku benar-benar harus menemui Lilian!'

Seth POV end

***

Malam harinya

Lily POV

Aku dan Hannah saat ini sedang duduk di ruang tamu Istana Emerald. Tidak, tidak ada tamu yang akan datang ke Istana Emerald malam-malam begini. Aku dan Hannah hanya menunggu Tuan Putri pulang.

Setelah makan malam dengan Yang Mulia, Tuan Putri pergi ke Istana Garnet untuk bermain. Kami tidak ikut mengantar karena Tuan Felix bilang akan mengawal Tuan Putri saat pulang nanti. Kami pun setuju dan jadilah menunggu di ruang tamu.

BRAAK!

Aku dan Hannah menoleh ke arah pintu yang di buka cukup keras. Dalangnya sudah pasti, Seth. Yap, yang membanting pintu barusan adalah Seth.

"Seth! Berhentilah merusak fasilitas Istana Emerald!" Hannah berseru kesal.

"Ops! Maaf teman-teman," Seth menutup pintu pelan-pelan, "di mana Tuan Putri?"

"Bermain dengan Yang Mulia di Istana Garnet," aku menyuruhnya untuk duduk.

Seth menghempaskan dirinya di sofa dan menatap ku, "Lily! Ceritakan pada ku apa yang terjadi siang ini!"

Ha? Apa yang terjadi siang ini? Aku berpikir sejenak dan terkekeh pelan.

"Yang terjadi pagi ini?" Seth mengangguk mantap menjawab pertanyaan ku.

Hannah diam karena tidak paham dengan pembicaraan kami berdua. Tidak mau penasaran sendiri, Hannah pun menyenggol lengan Seth. Dia bertanya apa yang sedang kami bahas.

"Kau tahu? Siang ini Tuan Lucas kembali ke Istana Sapphire."

"Apa yang aneh dengan itu? Beliau kan memang tinggal di sana sekarang," Hannah bertanya karena makin bingung.

Seth menggelengkan kepala dengan kesal. Hannah, Seth belum selesai bercerita. "Siang ini Tuan Lucas pulang dengan rambut pendek dan wajah sedikit merona!"

"Oh. Eh tunggu, Tuan Penyihir potong rambut?" Hannah bertanya memastikan.

Seth mengangguk mantap dan mengacungkan ibu jarinya. "Ayo cerita pada ku Lily!" ucap Seth sambil berseru.

"Aku juga mau dengar!" Hannah juga ikut berseru.

Aku mengangguk dan menceritakan kejadian pagi ini. Ku ceritakan bagaimana Tuan Putri datang sambil menarik Tuan Penyihir kemudian meminta kain dan gunting sampai Tuan Putri tanpa sadar menangkup pipi Tuan Penyihir.

Seth dan Hannah berteriak heboh. Aku hanya terkekeh geli sambil meminta mereka mengecilkan suara.

"Ah, sayang sekali aku tidak ada di TKP," Seth berkata dengan nada sedih.

"Idola mu memang Tuan Penyihir ya, Seth," ucap ku yang dijawab anggukan mantap.

Seth mulai bercerita tentang Tuan Penyihir setelah kembali dari Istana Emerald. Seth berteriak histeris ketika menceritakan itu bahkan sesekali Seth menyebut Tuan Penyihir lucu.

"Tapi aku lebih suka dengan Tuan Muda Alphaeus."

Aku dan Seth menoleh ke arah Hannah. Seth memanyunkan bibirnya. Aku menggeleng-gelengkan kepala pelan melihat tingkah mereka. Mereka itu sudah seperti kembar, tapi seleranya tidak pernah sama.

"Dilihat dari manapun, Tuan Lucas itu lebih keren!" Seth sedikit ngotot.

"Rambut panjangnya itu membuatnya terlihat seperti orang yang cuek!" Hannah ikut-ikutan ngotot.

"Tuan Lucas tidak seperti itu tahu!"

"Memang seperti itu! Nyatanya rambutnya saja sepanjang itu!"

Seth dan Hannah saling menatap dengan sebal kemudian menatap ku.

"Bagaimana pendapat mu, Lily?"

Aku terkekeh geli, "Hannah, Kau tidak boleh bilang begitu. Rambut Tuan Penyihir memang panjang, tapi apa Kau tahu rambutnya sangat halus?"

Hannah diam tidak berkutik. Seth berseru senang karena pembelaan ku. Bukan maksud begitu, tapi bisa-bisa Hannah menjelek-jelekkan Tuan Penyihir lebih jauh. Dan aku yakin Seth tidak akan tinggal diam kalau tuannya diejek begitu. Sebelum bencana terjadi, lebih baik dicegah dulu, kan?

Lily POV end

***

Aku menutup buku yang barusan ku baca. Ku edarkan pandangan ke ruangan ini. Ini bukan kamar ku, lalu aku di mana? Sedetik kemudian aku ingat kalau aku ada di ruang belajar papa.

"Sudah puas membaca buku?"

Aku menoleh ke arah papa. Papa masih menggenggam dokumen dan pena celup. Aku terkekeh pelan dan mengangguk. Aku membaca buku sampai lupa waktu begini.

Papa merapikan dokumennya dan meletakkan pena celup. Papa menghampiri aku dan menggendong ku.

"Hari ini tidurlah di sini."

Aku menatap bingung ke arah papa. Kau mengajak ku tidur di istana mu? Kau benar-benar sayang pada ku ya?

Aku masih tidak percaya dengan apa yang barusan ku dengar. Aku tidak menyangka kalau papa akan menyayangi ku sampai seperti ini. Tapi tidak apa deh, aku suka.

"Memangnya kenapa?" aku bertanya.

"Sudah malam."

Aku mengangguk pelan dan memeluk lehernya. Ini belum larut malam, papa. Bilang saja kalau kau ingin aku tinggal lebih lama di sini.

Aku terkekeh pelan dan memejamkan mata. Mungkin aku terlalu lelah membaca buku tadi. Tepat sebelum aku terlelap di gendongan papa, aku mendengar suara papa.

"Tidur nyenyak."

***

Chapitre suivant