webnovel

Drama Kakek

"Oh ya?? Kamu gak bohong, Di?" tanya kakek setengah tidak percaya pada Adi.

"Demi Tuhan, Tuan. Tuan Bastian membela Dokter Kirana dari orang-orang yang menghinanya. Bayangkan semua mata di dalam restoran melihat adegan romantis ketika Tuan Bastian menggandeng tangan Dokter Kirana keluar restoran," cerita Adi berapi-api.

Adi menemui kakek Bastian di rumah kakek untuk menceritakan kejadian di restoran tempo hari. Dan seperti yang sudah di duga, kakek sangat sangat senang.

"Terus Bastian gak jadi ketemu klien dong?" tanya kakek lagi sambil menegakkan badan dari sofanya yang empuk.

Adi menggelengkan kepala. "Tuan Bastian pergi gitu aja. Ini pertama kalinya Tuan Bastian rela melepas klien demi seorang perempuan. Saya rasa Tuan Bastian kasihan dengan Dokter Kirana."

Adi sangat tidak memahami perilaku tuannya akhir-akhir ini. Pertama tuannya minta agar setiap kegiatan Kirana diawasi

"Itu bukan kasihan, Adi!" omel kakek. "Itu namanya cinta."

Adi tertawa. "Tuan Besar ada-ada aja. Mana mungkin Tuan Bastian jatuh cinta?"

Kakek melotot memandangi asisten cucunya yang super polos dan kadang sedikit bodoh ini. "Mana ada sih laki-laki yang mengorbankan urusan bisnisnya demi perempuan? Kalau bukan karena cinta karena apa coba?!"

"Benar juga ya," Adi mengangguk-anggukan kepala. "Tapi Dokter Kirana gak kelihatan jatuh cinta sama Tuan Bastian lho, Tuan Besar."

"Ya itu karena mereka belum mengenal lebih jauh, Di," kakek menjelaskan. "Laki-laki dan perempuan gak bisa langsung jatuh cinta begitu aja. Tapi kalau Dokter Kirana ditolong dengan cara yang romantis kayak gitu hatinya pasti leleh. Dia pasti akan jatuh cinta pada Bastian kita."

Adi berpikir sejenak. "Tuan Besar, saya rasa Dokter Kirana gak akan semudah itu jatuh cinta dengan Tuan Bastian."

"Kok kamu sok tahu gitu?"

Adi langsung menunjukkan berita yang tersebar di internet.

BASTIAN DEWANDRA DI TOLAK SEORANG DOKTER

BASTIAN DEWANDRA: SAYA SUDAH DITOLAK DOKTER KIRANA

BASTIAN DEWANDRA TIDAK PACARAN DENGAN DOKTER

Kakek membaca dengan seksama.

"Jadi gara-gara kejadian di restoran, banyak wartawan nyerbu rumah sakit tempat Dokter Kirana kerja. Tuan Bastian sampai bikin konferensi pers untuk meluruskan semua itu," kata Adi. "Tuan Bastian khawatir sama Dokter Kirana."

"Berita-berita ini asli?" kakek heran bukan kepalang.

Ia heran mengapa Bastian harus memberikan konferensi pers kalau ia sudah ditolak Dokter Kirana. Harusnya sewaktu konferensi pers Bastian bilang kalau dirinya memang pacaran. Toh kakek malah senang dan mendukung.

"Anak bodoh itu menaklukan perempuan aja gak bisa," kakek mendecakkan lidah. "Tapi aku yakin kalau Dokter Kirana pasti ada perasaan sedikit lah ke Bastian. Mana mungkin benar-benar ditolak?"

"Tapi, Tuan…"

"Sudah, sudah. Dari pada kita penasaran ya ayo kita datangi Dokter Kirana," kata kakek malas berdebat dengan Adi. "Kita tanya Dokter Kirana apakah dia mulai jatuh cinta sama Bastian atau gak."

Kakek bangkit berdiri dari kursinya.

Kakek masih gak terima kalau cucu kesayangannya tidak bisa menaklukan hati seorang dokter. Ia sangat yakin kalau Dokter Kirana pasti memiliki sedikit perasaan untuk Bastian. Apalagi Bastian sudah berusaha menunjukkan ketertarikannya pada gadis itu.

"Eh tunggu dulu, Tuan Besar," Adi mencegah kakek. "Kalau kita ke rumah sakit dan tanya macam-macam ke Dokter Kirana saya takut kena omel Tuan Bastian. Nanti Tuan Bastian tanya 'kamu sekarang jadi mata-mata kakek? kamu mau jadi pengkhianat, Di?'. Saya takut banget kalau di bentak kayak gitu."

Kakek mengibaskan tangannya. "Tenang. Aku yang nanti membela kamu di depan Bastian. Sekarang kamu jangan banyak bicara. Sana siapkan mobil. Kita harus ke rumah sakit."

…..

Kirana menguap beberapa kali. Hari ini dia mengantuk sekali. Semalaman Kirana tidak bisa tidur nyenyak. Dia bermimpi bertemu Tante Liz, Miranda dan ayahnya. Mimpi itu terjadi berulang-ulang sampai akhirnya dia memutuskan untuk tidak tidur daripada bermimpi buruk.

Hari ini UGD terlihat lebih sepi dari biasanya. Tidak banyak pasien yang datang di hari Minggu. Beberapa pasien korban demo kemarin juga sudah banyak yang pulang ke rumah.

"Dokter Kirana kelihatannya ngantuk? Apa mau istirahat dulu?" tanya salah seorang perawat UGD yang memperhatikan Kirana menguap dari tadi.

"Gak apa-apa kok, Sus," bohongnya.

"Sebentar saya siapkan teh hangat buat Dokter Kirana ya," perawat itu menawarkan.

Kirana hanya mengangguk. Ia senang karena semua perawat dan dokter di Rumah Sakit Amerta baik padanya. Mereka semua sudah Kirana anggap sebagai keluarganya sendiri.

Lalu tiba-tiba seorang kakek masuk. "Selamat siang, Dokter Kirana."

Kirana melonjak kaget. "Selama siang, Bapak?"

Kakeknya Bastian muncul bersama pria bertubuh kurus berkacamata. Ah, itu pasti asisten pribadi Bastian bernama Adi. Adi membungkukkan badan memberi hormat pada Kirana.

Kirana mempersilahkan kakek dan Adi duduk di kursi. "Wah sudah lama tidak bertemu, Bapak. Bagaiman kabarnya, Bapak?"

"Ah, Dokter Kirana terlalu formal. Panggil kakek saja jangan panggil bapak lagi," kata kakek. "Aku baik-baik saja. Dokter Kirana sendiri bagaimana kabarnya?"

"Saya baik-baik saja, Kek," Kirana malu bukan main memanggil kakek Bastian dengan sebutan kakek.

Kakek duduk bersandar. "Dokter Kirana rajin sekali ya hari Minggu begini masih kerja di rumah sakit. Benar-benar dokter yang berdedikasi tinggi."

Kirana tersipu malu. "Ini sudah tugas seorang dokter, Kek."

"Dokter Kirana terlalu merendah," puji kakek.

"Terima kasih untuk pujiannya," jawab Kirana. "Kakek ke sini ada perlu apa? Mau periksa kesehatan?"

"Iya, aku mau periksa kesehatan. Maklum sudah tua, Dok. Kadang punggung sakit kalau bangun tidur, kadang pusing kalau baca dokumen terlalu banyak. Padahal pas muda dulu aku sehat bugar. Yah mau gimana lagi, namanya juga usia," kata kakek.

"Kalau gitu saya periksa dulu gimana? Nanti kalau hasil pemeriksaan kakek ada tubuh yang kurang sehat bisa konsultasi ke dokter spesialis," Kirana menawarkan.

Dan penawaran Kirana disambut hangat oleh kakek.

Kirana memeriksa tekanan darah, kolestrol dan lain-lain. Ia ingin memastikan kondisi kakek Bastian sehat. Kalaupun ada yang sakit, Kirana bisa membuatkan kakek surat rujukan ke dokter spesialis.

"Beberapa hari lalu Dokter Kirana ketemu Bastian di restoran ya? Terus dikejar wartawan juga ya?" tanya kakek sambil senyum-senyum sendiri.

Kirana tersentak kaget. "Iya. Kok kakek tahu?" Kirana penasaran.

"Saya yang cerita, Dok," sahut Adi sambil nyengir.

Kirana hanya manggut-munggut sambil tersenyum kecil.

Mati deh kalau kakek sampai tahu semua kejadian kemarin, batin Kirana.

"Adi cerita katanya semua mata di restoran melihat ke arah kalian berdua ya? Wah Bastian bisa banget romantis kayak gitu," kakek mulai beraksi memuji Bastian.

Kirana tersenyum kecut.

"Sebenarnya bukan adegan romantis juga kok, Kek. Bastian cuman berbuat baik menolong saya," Kirana buru-buru mengklarifikasi.

Sejak awal Kirana sudah tahu kalau kakeknya Bastian ini suka sekali dengan dirinya. Ia juga tahu kakek berusaha menjodoh-jodohkannya dengan cucunya yang tampan itu. Masalahnya Kirana tidak ingin memberi harapan palsu pada seorang kakek tua yang baik hati.

Kirana juga tidak ingin rasa suka kakek pada dirinya membuat Bastian terbebani. Bastian tentu punya kriteria wanita ideal.

Menurutnya Bastian cocok dengan wanita yang pintar, dari keluarga kaya dan terhormat, tinggi dan cantik. Kirana memang seorang dokter yang semasa kuliah dulu mendapat banyak prestasi di kampus tapi ia tidak cantik (seperti model).

Memang dirinya berasal dari keluarga kaya dan terhormat tapi ia tidak ingin mengandalkan kekayaan ayahnya. Jadi ia tentu tidak masuk kriteria ideal untuk Bastian bukan?

"Tapi Tuan Bastian belum pernah membatalkan janji ketemu klien demi menolong perempuan lho, Dok. Plus bikin konferensi pers," Adi ikutan memuji-muji Bastian.

Kakek mengangguk. "Bener kata Adi, Dok. Bastian itu orang pekerja keras dan selalu menepati janji. Eh tiba-tiba lebih memilih menolong Dokter Kirana daripada tetap di restoran menunggu klien."

Mata Kirana terbelalak. "Sebenarnya Bastian di restoran itu sedang menunggu klien untuk meeting?"

Kakek dan Adi mengangguk riang.

Deg!

Kirana merasa malu setengah mati. Ia sudah menyusahkan Bastian kemarin. Harusnya ia menolak tawaran meninggalkan restoran. Harusnya ia menolak ketika digandeng menuju mobil pria itu. Harusnya ia bilang kalau bisa pulang sendiri supaya Bastian tidak perlu repot-repot mengantarnya. Semua ini salahnya.

"Lho, Dokter Kirana jangan sedih begitu," kata kakek buru-buru. "Bastian malah senang lho bisa membantu Dokter Kirana."

"Bener, Dok. Tuan Bastian moodnya juga beberapa hari ini. Dia sama sekali gak menyesal sudah bantuin Dokter," Adi ikut menimpali.

"Begitu ya?" Kirana makin tidak enak hati pada Bastian. Ia harus minta maaf pada pria itu, batinnya.

Kakek dan Adi mengangguk riang lagi.

"Cucu kakek yang satu itu orangnya setia banget lho, Dok," kakek mulai memuji Bastian lagi. Kali ini ada penekanan di kata 'setia.' "Kalau sudah cinta dengan satu perempuan, dia gak akan kemana-mana. Persis kakek pas jaman muda dulu."

Adi mengangguk keras. "Bener banget."

"Dokter Kirana yakin gak ada perasaan suka sama Bastian?" akhirnya kakek tanya blak-blakan. Mata kakek dan Adi tertuju pada Kirana. Mereka melihat Kirana dengan tatapan 'plis sukalah pada Bastian kami'.

Kirana tersenyum kecil ragu.

Sebelum Kirana menjawab, perawat masuk. "Permisi, Dok, ada pasien kecelakaan. Kakinya sobek parah."

"Kek, saya minta maaf kalau sebentar lagi harus menangani pasien lain. Dari hasil pemeriksaan kakek sehat cuman hati-hati dengan darah tinggi kakek ya. Ini saya sudah buatkan resep, nanti bisa ditebus di apotek," kata Kirana terburu-buru.

Ia berpamitan pada kakek dan Adi lalu berlari ke pasien kecelakaan itu.

Gagal sudah rencana kakek dan Adi mengintrogasi perasaan Kirana.

Chapitre suivant