Di puncak gunung, monster berukuran tiga meter dengan kepala berbentuk kendi tua berlumut hanya terdiam mengamati pertarungan tersebut, matanya berwarna merah meruncing sambil menjilati mulutnya.
Para penyihir belum menyadari keberadaan monster kendi dan hanya sibuk melawan para hewan buas yang hampir setara dengan mereka.
"Apakah bantuan dari kota belum juga datang?". Seorang pria paruh baya yang sedang menahan serangan hewan buas menggunakan tameng sihir bertanya dengan cemas kepada rekan di sampingnya.
Di depannya seekor hewan buas seperti babi yang hampir seukuran gajah dengan duri keras berdiri di sepanjang punggung tubuhnya.
"Harusnya mereka sudah sampai, tapi entahlah belum ada laporan dari perbatasan, mungkin mereka terhalang oleh sesuatu hingga belum sampai di sini". Seorang pengguna sabit sihir di dekatnya menjawab dengan suara getir sambil bertarung dengan hewan buas lainnya.
"Sial, kita tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi, cepat atau lambat kita semua akan kehabisan tenaga, sedangkan para hewan buas ini sangat ganas dan menyerang tanpa henti, seolah tidak memiliki batasan tenaga". Pria paruh baya pengguna tameng merasa keadaan mereka benar-benar tidak di untungkan.
"Jero". Teriak pria paruh baya pengguna tameng dengan keras memanggil rekannya yang sedang menjaga Dinding ungu.
"Ada apa Ken?". Jero pun menyahut dengan cepat, Ken adalah ketua di kelompok tersebut jadi ia kan dengan cepat mendengarkannya.
"Kita harus mundur sekarang, perkuat dinding ungu sekarang dan siapkan pintu masuk untuk para penyihir". Teriak Ken kepada Jero dengan keras.
"Asuka keluarkan jurus kabut untuk menghalangi pandangan para hewan buas, kita mundur sekarang, jika tidak, kita semua mungkin akan terluka parah, desa akan berada dalam bahaya". Sambung Ken memberi perintah pada penyihir cantik yang tidak jauh dari tempatnya.
"Semuanya dengarkan aku, kita mundur sekarang, bawa semua yang terluka". Teriak Ken dengan keras kepada semua penyihir yang sedang bertarung dengan para hewan buas, jelas ia tahu sedang berada dalam bahaya.
Semua orang langsung mengangguk, mereka tahu tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi dan akan segera kehabisan tenaga, jika mereka terus memaksakan diri, kemungkinan terburuknya mereka akan berakhir di dalam perut para hewan buas.
"Kabut Hujan Abu".
Asuka pun langsung berteriak dan mengeluarkan jurus kabutnya, semua area di sekitar pertempuran pun langsung ditutupi kabut dingin yang membuat para hewan buas kesulitan untuk bergerak dan melihat sekitarnya.
Di udara beberapa hewan buas yang bisa terbang pun tidak bisa melihat apa pun selain kabut tebal.
"Terbuka, semuanya! Masuk sekarang". Teriak Ken yang sudah menunggu di depan pintu dinding ungu.
"Suaaa ... Suaaa".
Para penyihir langsung masuk dengan cepat, beberapa saat kemudian puluhan bola udara dan api dari langit oleh hewan buas terbang langsung mengarah ke kabut tebal, tapi untungnya para penyihir sudah berada di dalam dinding ungu.
"Bawa semua yang terluka dan segera berikan pengobatan, lalu aku ingin beberapa penyihir yang masih punya banyak tenaga tetap berjaga di sini". Perintah Ken dengan cepat.
"Jero, bagaimana situasinya, berapa lama dinding ungu bisa bertahan?". Tanya Ken kepada rekannya yang terus menyalurkan tenaganya untuk mempertahankan dinding ungu agar tetap aktif.
"Di desa hanya ada 6 orang yang dapat mengendalikan dinding ungu, lalu butuh 4 orang secara bersamaan agar tetap aktif, itu artinya kami memiliki sedikit waktu istirahat.
Jika hanya serangan dari para hewan buas mungkin kami bisa bertahan cukup lama, tapi jika monster itu juga ikut menyerang, kami tidak yakin bisa mempertahankan dinding ungu lebih lama". Jero segera merangkum secara singkat dengan wajah yang getir.
Ken dan beberapa rekan di dekatnya terdiam sesaat, mereka masih ingat bagaimana para penyihir telah di hancurkan oleh monster kendi, bahkan beberapa warga desa pun telah menjadi mangsanya.
"Jika monster kendi itu muncul lagi, dan di tambah oleh semua hewan buas ini, kita tidak akan punya banyak harapan". Gumam Ken.
"Itu artinya kita hanya bisa menunggu sampai bantuan dari kota datang, sial". Potong salah satu penyihir yang terlihat mulai panik.
Ken langsung terduduk bersila sambil menutup matanya, ia tahu situasinya sedang tidak bagus, tapi untuk sekarang tidak ada yang bisa di lakukan selain memperkuat dinding ungu, ia pun mencoba memikirkan jalan keluar.
Ken mulai memperhatikan apa yang sebenarnya telah terjadi, pertama banyak hewan buas datang ke desa dan menyerang secara bersamaan.
Hal yang lebih aneh lagi adalah dari informasi yang di terima tetua desa, kejadian yang sama tidak hanya terjadi di desa hujan tapi juga di desa lainnya di kota Awan, seakan ada yang sedang mengendalikan para hewan buas.
Kejadian tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya, Ken bisa memastikan hal tersebut dan yang membuat keadaan semakin memburuk adalah bantuan dari kota yang belum juga sampai.
Memikirkan itu Ken hanya bisa menghela napas, sambil terus berpikir keras menemukan jalan keluar lainnya.
Sekarang mereka benar-benar seperti burung dalam sangkar, untungnya pasokan makanan masih cukup banyak, tapi sayangnya pasokan obat-obatan sudah hampir habis, di desa hanya ada 2 penyihir yang menggeluti bidang pengobatan.
Namun demikian mereka tetap membutuhkan bahan obat untuk membuat luka luar maupun dalam bisa di sembuhkan dengan sempurna.
"Kekuatan kita bahkan belum bisa mengalahkan para hewan buas, dan jika monster itu datang lagi, semuanya akan berakhir, kita hanya bisa menyelamatkan diri dan beberapa penduduk desa". Ken masih terduduk bersila dengan mata tertutup.
"Ketua kita tidak boleh menyerah begitu saja, desa ini adalah tempat kelahiran kita, bagaimana mungkin kita tidak boleh membiarkannya di hancurkan oleh hewan buas menjijikkan ini". Asuka yang berada di dekatnya berkata dengan kesal.
Ken pun membuka mata perlahan dan memandangnya dengan tajam, "Aku tidak mengatakan kita akan menyerah, kita sudah berjuang sampai sejauh ini, dan beberapa penyihir sudah tumbang, banyak penduduk juga telah kehilangan nyawa, aku hanya sedang berpikir cara untuk keluar dari masalah ini".
Ken berkata dengan tegas, matanya jelas masih menyala penuh semangat bertarung.
Sementara itu, satu hari sebelumnya di tempat lain di dalam hutan sekelompok penyihir berjumlah 10 orang sedang di kepung oleh segerombolan hewan buas bersayap perak, dan di antara hewan buas tersebut salah satunya terlihat cukup berbeda.
Sosok itu memiliki sayap berwarna emas, memiliki bentuk menyerupai manusia normal dengan bulu lebat seperti burung di sekujur tubuhnya, kepalanya seperti burung gagak dengan paruh tajam berwarna emas, cakar panjang melengkung terlihat di jari tangan dan kakinya, matanya meruncing dengan warna merah menyala.
"Itu ... Monster paruh emas".
Teriak salah satu penyihir yang mengenal sosok monster di depannya, mendengar itu semua penyihir menjadi semakin waspada.
"Haha, kalian cukup sampai di sini, ini akan menjadi kuburan kalian". Monster paruh emas tertawa keras dengan aura membunuh, ia sudah tidak sabar untuk memangsa para penyihir yang sedang dalam perjalanan menuju desa hujan.