webnovel

Rindu rumah

Tristan keluar dari kamar Haruna dan menutup pintu.

"Dia tidak sedang sakit, kan? Kenapa sikapnya sejak datang dari kantor hari ini begitu perhatian?" gumam Haruna. Haruna tidak habis pikir, apa yang sedang terjadi dengan Tristan. Hari ini bukan hanya Haruna yang merasa Tristan itu aneh. Tristan sendiri pun tidak mengerti dengan dirinya sendiri.

Bruum!

Haruna segera berlari mendekati jendela kamar saat mendengar suara deru mesin mobil. Ia melihat mobil Tristan keluar dari gerbang rumah dengan kecepatan tinggi.

"Mau kemana dia malam-malam begini? Ah, aku lupa. Dia tidak bisa tidur tanpa meniduri perempuan. Heh, dia pasti pergi mencari wanita malam," cibir Haruna.

Haruna membuka jendela dan menatap langit yang amat gelap di malam ini. Tidak ada cahaya rembulan dan bintang yang menghiasi langit. Haruna hanya merasakan semilir angin malam yang menembus kulitnya. Ia menatap jalanan komplek perumahan elit itu dengan pandangan nanar. 

"Aku sangat merindukan mama, papa, Vivi, Kia. Hiks … hiks." Haruna terisak pilu, ia sangat ingin pulang ke rumahnya. Namun, apa daya, tubuh Haruna terkekang di dalam cengkeraman Tristan. 

Mendengar suara tangisan Haruna, kedua orang pengawal yang berjaga di bawah jendela kamar Haruna pun segera waspada. Mereka khawatir Haruna akan melompat dari jendela. Namun, sampai beberapa saat berlalu, mereka akhirnya bernapas lega karena Haruna hanya duduk dan menangis di balkon.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!" Haruna mengusap air matanya. Ia tahu, itu pasti bukan Tristan karena sejak tadi Haruna belum melihat mobil Tristan kembali.

"Non, belum tidur? Ini, Ibu bawakan susu coklat hangat. Menurut teman Ibu, susu coklat hangat bisa membantu memperbaiki mood yang jelek. Minumlah selagi hangat!" Kepala pelayan memberikan segelas susu coklat hangat dan menunggu sampai Haruna menghabiskan susunya.

Haruna meminumnya sampai habis, setelah habis, Haruna memberikan gelas kosongnya pada kepala pelayan.

"Terima kasih, Bu. Em, boleh saya tahu siapa nama Ibu?" tanya Haruna sambil mencoba berdiri, tapi kaki Haruna kebas dan hampir saja terjatuh. Untung saja kepala pelayan memegangnya, jadi Haruna tidak sampai terjatuh.

"Di sini, mereka biasanya memanggil Ibu dengan senior Sin. Non juga bisa panggil Ibu Sin kalau mau," jawab Sinta. Ia memapah Haruna ke ranjang dan membantu menyelimutinya.

"Ibu Sin, pelukan Ibu sama seperti pelukan mama. Terima kasih, Ibu mau memperhatikan saya." Haruna menarik napas berat sebelum melanjutkan ucapannya. Entah mengapa, dadanya terasa sesak seperti ingin menangis. "Saya jadi merasa tenang saat … Ibu memeluk saya." Suara Haruna tercekat di tenggorokan, dengan sekuat hati, Haruna menahan tangisnya. Matanya berkaca-kaca menatap wajah teduh Ibu Sin. Hanya memandang wajahnya saja, Haruna merasa sangat dekat dengannya.

"Ibu senang kalau Non merasa seperti itu. Non, apa Non tahu? Tuan Tristan sangat peduli pada Non Haruna. Sebelumnya, tidak pernah ada wanita yang Tuan Tristan pedulikan selain Non Stevi, orang yang tadi siang menyiram Non," ucap Sinta bercerita.

"Bu, saya lelah. Bisakah Ibu tinggalkan saya," ucap Haruna memotong pembicaraan Sinta. Ia tidak mau tahu dengan kisah Tristan dan Stevi. Terlebih jika masalah itu adalah tentang Tristan, Haruna lebih tidak ingin lagi untuk mengetahuinya. Ia memerintahkan Sinta untuk meninggalkannya dengan suara lembut. Ia takut kalau Ibu Sin akan tersinggung dengan ucapannya. Haruna juga memang sangat mengantuk dan ingin beristirahat.

"Ya sudah, Non tidur dan beristirahat. Kalau Non merasa jenuh di kamar seharian, Non bisa cari Ibu di dapur. Ibu permisi dulu, selamat malam."

"Selamat malam, Bu," jawab Haruna.

Sinta pergi meninggalkan kamar Haruna dan masuk ke kamarnya di paviliun samping. Semua pelayan tinggal dan beristirahat di sana. Paviliun itu memiliki sepuluh kamar tidur yang ditempati dua orang pelayan di setiap kamar. Sinta sekamar dengan Kiki, mojang Bandung yang merantau ke Jakarta dan bekerja di rumah Tristan. Kiki sudah bekerja selama setahun, sementara Sinta sudah bekerja di keluarga Izham sejak puluhan tahun yang lalu. Dulu, Sinta bekerja untuk Edi, kakeknya Tristan. Sejak lima tahun lalu, Tristan keluar dari rumah kakeknya dan tinggal di rumah yang saat ini ditempati. Sinta diutus oleh Edi untuk ikut pindah bersama Tristan.

***

Dini hari, Tristan kembali ke rumah. Tempat pertama yang ia tuju adalah kamar Haruna. Sejak malam saat Haruna mencoba bunuh diri, Tristan melepas kunci kamar Haruna. Kamar Haruna kini tidak bisa dikunci dan hanya bisa ditutup. Tristan juga melepas kunci slot yang menempel di bagian dalam pintu kamar agar Haruna tidak mengunci pintu kamarnya. Tristan takut kalau-kalau Haruna mengunci diri di kamar dan berbuat macam-macam.

Tristan melangkah perlahan. Selangkah demi selangkah dengan perasaan yang berkecamuk, Tristan menghampiri ranjang dan berdiri di dekat kaki ranjang. Ia menatap wajah Haruna yang masih terlihat pucat. Tristan lalu duduk di tepi ranjang, ia menyingkirkan anak rambut yang menutupi mata Haruna.

"Benarkah aku sudah jatuh cinta padamu, Haruna. Apa mungkin kamu adalah obat luka hatiku," gumam Tristan dengan mata merah dan mulut berbau alkohol. Tristan pergi ke klub malam dan menelepon Levi. Levi bukan hanya asisten, tetapi juga sahabatnya. Tristan mengecup kening Haruna tipis dan lembut. Ia kembali ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. Ia mengingat kembali pembicaraannya dengan Levi di klub malam tadi.

"Ada apa? Kau mengganggu waktu istirahatku,"  ejek Levi. Ia duduk di samping Tristan yang sudah meminum dua gelas anggur merah.

"Kata-katamu sangat pedas jika di luar jam kerja. Aku ingin bertanya sesuatu padamu," ucap Tristan dengan wajah yang sangat kacau. Rambutnya berantakan akibat diremas dengan frustasi. Dasinya juga sudah tidak terpasang dengan rapi. Ia sangat stres hari ini. 

"Katakanlah! Ada apa?" tanya Levi sambil menyesap minuman ringan yang dipesannya. Levi tidak pernah minum alkohol, ia harus tetap siaga mengantar Tristan yang mungkin akan mabuk saat keluar dari klub malam.

"Stevi, dia … datang ke rumah dan menemui Haruna. Mereka bertengkar dan Stevi mencekik Haruna. Seharusnya aku senang, bukan? Tapi, kenapa aku malah merasa marah, sakit, dan kasihan pada Haruna. Aku tidak tahu perasaan macam apa ini," ucap Tristan. Ia kembali menenggak segelas anggur merah itu dalam sekali tegukan.

"Aku rasa, kau mungkin jatuh cinta padanya," jawab Levi dengan tenang. 

"Hah? Kau bercanda. Aku mengurung Haruna di rumahku karena ingin membalas dendam dan menyiksanya. Mustahil kalau aku jatuh cinta," sangkal Tristan dengan yakin. 

"Yah, aku hanya mengungkapkan pendapatku. Kalau kau merasa tidak seperti itu, abaikan saja pendapatku!" ucap Levi kembali sambil melirik wajah Tristan. Tergambar jelas dari wajah Tristan, kalau sebenarnya ia juga tidak yakin dengan jawabannya. Levi tersenyum tipis lalu menyesap kembali minumannya.    

Chapitre suivant