webnovel

Wrath Backstory

By: AtaraMahadewa

Siang hari yang begitu cerah dimana matahari bersinar cukup terik, tampak seorang gadis tengah berlatih seni pedang miliknya di sebuah hutan yang lebat bersama seorang laki-laki paruh baya. Gadis tersebut tampak sangat terampil dalam menggunakan pedang yang ada di kedua tangannya tersebut.

"Kemampuan berpedangmu semakin hebat saja, Yotsuyu," ucap laki-laki paruh baya tersebut.

"Ini berkat latihan yang Anda berikan kepadaku."

Perkenalan namaku adalah Hasegawa Yotsuyu. Aku adalah anak dari keluarga Hasegawa yang dianggap cukup berpengaruh di kalangan masyarakat wilayah yang berada di pesisir pantai. Diriku ini memiliki kemampuan sihir yang terbilang cukup hebat.

Latihanku bersama laki-laki paruh baya yang merupakan guruku berakhir setelah aku berhasil mengalahkannya meski hanya menyebabkan dirinya terdorong cukup jauh ke belakang sesaat menahan seranganku hingga keluar dari batas area latihan yang kami sepakati sebelumnya.

"Latihan kita sampai disini dulu karena aku rasa kamu sudah berkembang cukup baik."

Aku bersama guruku bergegas kembali ke kota setelah sesi latihan kami hari ini selesai. Kami berdua saling bertukar pikiran soal hal-hal yang tengah terjadi saat ini baik dari berita yang didengar maupun yang terdapat pada media informasi.

"Yotsuyu, dengarkan aku baik-baik. Meski kemampuan berpedangmu sudah semakin berkembang baik, jangan biarkan amarahmu menguasai dirimu dalam menggunakan seni pedang yang telah kamu pelajari saat ini." Guruku berusaha mengingatkan diriku kembali soal tujuan utama aku belajar seni pedang tersebut, yaitu untuk melindungi bukan membunuh karena amarah.

"Baik, aku akan berusaha mengingatnya."

"Baguslah kalau begitu. Kamu memang murid terbaik yang pernah aku latih selama ini."

Ketika kami tengah menyusuri jalanan setapak membentang di atas dinding pembatas sungai, kedua mataku tanpa sengaja tertuju pada sekelompok orang yang tengah melakukan aksi penindasan terhadap seseorang yang tidak berdaya. Melihat hal tersebut membuatku frustrasi dan secara refleks berlari menuju kearah mereka untuk menyelamatkan orang tersebut.

"Apa yang kalian lakukan!? Aku tidak akan membiarkan kalian melanjutkan aksi penindasan yang kalian lakukan saat ini," ucapku dengan nada cukup keras sambil berjalan menghampiri mereka.

"Heh!! Memang kamu siapa sehingga berani memerintahkan kami untuk berhenti melakukan aksi kami?" Seseorang yang merupakan ketua kelompok tersebut.

"Lagipula kamu hanyalah seorang perempuan. Kamu tidak pantas untuk memerintahkan laki-laki seperti kami seenaknya saja."

"APA KATAMU TADI?" Amarahku akhirnya memuncak seketika mendengar ucapan yang terdengar sangat menyakitkan dan begitu meremehkan bagi diriku ini.

"JADI KAMU BERANI MELAWAN KAMI!!" ucap ketua kelompok tersebut yang langsung menatap diriku setelah melepaskan kerah pakaian korbannya, "KITA SELESAIKAN INI DENGAN DUEL TANGAN KOSONG. AKU MELAWAN DIRIMU, GADIS TENGIK."

"SIAPA TAKUT. AKU AKAN MENGHAJAR HABIS DIRIMU TANPA AMPUN," bentakku sambil mengambil kuda-kuda.

"KAMU CARI MATI YA, DASAR GADIS TENGIK."

Dengan cepat aku menghindari pukulan yang meluncur ke arahku yang kemudian aku lanjutkan dengan serangan balik kearah perut laki-laki itu dengan sepenuh tenagaku. Aku dan laki-laki tersebut terus bertukar pukulan demi pukulan kearah tubuh kami hingga menimbulkan luka lebam dimana-mana.

Karena amarahku semakin tidak terkendali, kedua tanganku tanpa sadar meraih gagang kedua pedang milikku yang masih menempel di pinggangku. Ketika pukulan berikutnya dari ketua kelompok tersebut tengah meluncur, diriku sudah siap mengeluarkan kedua pedangku dari wadahnya setelah menariknya sedikit.

"RASAKAN INI, GADIS TENGIK"

Aku bergegas menghindari pukulan tersebut dan langsung menarik keluar kedua pedangku, "HYAA!!!" teriakku sambil menebas tubuh ketua kelompok itu hingga menciptakan luka yang cukup dalam lalu menendangnya sekuat tenaga.

"UGHHH.."

"SIALAN KAU, BERANI-BERANINYA KAMU MELUKAI KETUA KAMI," teriak salah satu anak buah ketua tersebut setelah diriku berhasil melukai sosok pemimpin mereka.

"SEBAIKNYA KALIAN JANGAN MACAM-MACAM DENGANKU KARENA AKU TIDAK AKAN SEGAN MENGHABISI KALIAN BERDUA." Aku mengacungkan salah satu pedang milikku kearah mereka dimana sihirku sudah melapisi bilah pedang tersebut.

"Sudah hentikan amarahmu, Yotsuyu. Biarkan aku yang mengurusnya," ucap guruku untuk menahan diriku agar tidak melanjutkan apa yang aku lakukan tadi, "Sebaiknya kalian hentikan aksi kalian dan pergi dari sini sebelum aku melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib."

Mendengar ucapan guruku tersebut, mereka bertiga bergegas pergi meninggalkan lokasi karena tidak ingin berurusan dengan pihak berwajib atas tindakan penindasan yang dilakukan tadi. Dengan cepat aku memasukkan kembali kedua pedangku ke dalam wadahnya setelah berhasil meredam amarahku.

"Yotsuyu, aku akan mengantarkan kembali orang ini ke rumahnya agar dia bisa tenang. Sebaiknya kamu segera lanjutkan kembali perjalanan pulangmu sendirian."

"Baik, guru. Maafkan diriku atas tindakan yang aku lakukan tadi."

"Kamu sudah melakukan hal yang benar. Hanya saja, dirimu hampir kehilangan kendali akibat amarahmu dan hampir melupakan apa yang aku katakan tadi."

Guruku langsung membawa korban penindasan tadi kembali ke rumah orang tersebut. Aku pun bergegas melanjutkan kembali perjalanan pulangku yang sempat terhambat tadi. Di dalam hatiku masih terdapat api amarah yang terus membara karena tidak bisa memaafkan tindakan yang aku lihat tadi dan tidak ada seorang pun yang menghentikannya sebelum diriku dan guruku yang bertindak.

Setibanya di area kota, aku melihat beberapa orang memakai jubah hitam dan tudung dari jubah itu menutupi wajah mereka. Di depan mereka terdapat dua sosok yang tidak asing bagiku yang tidak lain adalah sang penguasa wilayah dan sahabatku yang bernama Miyuri.

"Dia adalah orang yang kalian cari. Segera tangkap dan bawa dia bersama kalian."

Seketika itu, dua sosok berjubah hitam langsung melesat begitu cepat dan menangkapku tanpa memberikan celah untuk diriku melakukan perlawanan maupun lari. Diriku begitu kesal hingga amarahku mulai tersulut kembali ketika melihat sosok penguasa wilayah tersebut tampak begitu senang karena mendapatkan imbalan atas penangkapanku.

"Apa-apaan ini? Miyuri, katakan padaku apa yang terjadi?"

"Dia tidak akan mau mengatakan apapun kepadamu. Bahkan setelah aku memaksanya untuk memberitahukan soal dirimu yang miliki bakat sihir yang begitu baik. Berkat dirinya, aku mendapatkan imbalan yang begitu besar untuk menyerahkan dirimu kepada mereka."

"Miyuri, katakan kalau itu bohong? Bukankah kamu sudah berjanji untuk merahasiakan hal ini kepada yang lain."

"Maafkan aku, Yotsuyu. Aku terpaksa melakukannya karena dia sudah mengancam untuk membumi hanguskan tempat ini jika aku tidak memberitahukannya," ucap Miyuri sambil meneteskan air mata karena rasa bersalahnya.

Mendengar perkataan Miyuri tersebut, amarahku semakin menjadi-jadi karena mengetahui sosok penguasa wilayah yang selama ini keluargaku dan beberapa keluarga lain layani berbalik mengkhianati kepercayaan mereka demi harta yang melimpah.

"TIDAK AKAN AKU MAAFKAN. SOSOK YANG HANYA MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI DAN HARTA KEKAYAANNYA TIDAK PANTAS UNTUK TETAP HIDUP. AKU AKAN MEMBUNUHMU SUATU SAAT NANTI."

"Heh~, kita lihat saja nanti. Bawa dia pergi sekarang juga."

Sebelum mereka membawaku pergi, salah satu dari mereka langsung memukul bagian belakang kepalaku dengan cukup keras hingga membuatku tidak sadarkan diri. Sewaktu kesadaranku kembali, kedua mataku mendapati sebuah ruangan layaknya sel penjara dimana kedua tanganku terikat oleh rantai yang menempel di dinding ruangan tersebut. Didalam pikiranku hanya ada kata 'Amarah' yang terus menghantui diriku sehingga membuatku meronta-ronta layaknya sedang dirasuki oleh iblis haus darah yang ingin membunuh siapa pun yang dianggapnya pantas untuk mati.

Setelah waktu berjalan cukup lama, akhirnya aku dibebaskan dan mendapatkan tawaran untuk menjadi salah satu bagian dari mereka. Jika aku menerima tawaran itu, maka keinginanku untuk membunuh penguasa yang telah mengkhianati kepercayaan diriku dan yang lain akan dapat terpenuhi. Dengan kebebasan tersebut, aku bisa membunuh siapa saja yang menurutku pantas untuk mati.

Ketika aku tengah membulatkan keputusanku untuk menerima tawaran tersebut, seseorang datang sambil mengembalikan kedua pedang milikku yang selama ini masih tersimpan baik dan dirawat olehnya.

Orang tersebut langsung berjongkok di hadapanku dan meletakan kedua pedang milikku di dekat diriku, "Katakan siapa namamu?"

"Yotsuyu... Hasegawa Yotsuyu," ucapku dengan nada cukup lirih karena kehabisan suaraku.

Chapitre suivant