webnovel

Mencair

".....Bisa kasih waktu buat Kay bi?dia pasti selesain satu-satu." Kenan membuat Arbi terdiam sejenak. Dia kini berpikir. Dia tak mau mengambil langkah yang salah dengan memberi kesempatan pada Kay.

"Kalo bukan karena saya tahu bapaknya, kakeknya saya ga akan pernah ngasih kesempatan buat anak itu." Jawaban Arbi membuat Kenan lega ya meskipun kedengarannya masih ada nada kesal.

"Kalau Kay ada salah tolong tegur bi, anaknya kalo ditegur juga bukan tipe ngelawan. Kalo emang masih susah tolong Arbi kasih tahu saya. Biar saya yang tegur anaknya."

"Iya nanti biar saya tegur anaknya."

"Jadi saya boleh bawa Ran bentar? cuman makan-makan aja."

"Iya silahkan aja.." Arbi sudah tak setegang tadi. Mereka berdua pun kembali kedepan sebelum hari semakin larut. Kiran sudah ada disana menunggu Kenan siap untuk pergi.

"Ya udah kita pergi dulu, nanti Ran kita anterin lagi."

"Iya hati-hati Ken."

"Om, Tante, Kay pamit." Kay mulai menyalami kedua orang tua Kiran namun ada yang berbeda kali ini saat Kay menyalami Arbi. Dia sudah tak lagi cuek bahkan kali ini Arbi memeluk Kay sebentar.

"Hati-hati, jaga Kiran." Bisik Arbi ditelinga Kay.

"Iya om. Makasih om..." Kay dengan senyumannya. Adegan itu jelas membuat Kiran yakin ketegangan antara Arbi dan Kay sudah mulai mencair. Sebelum pergi Kiran memeluk ayahnya.

"Makasih ayah..." Kiran mengecup pipi ayahnya sebentar sebagai penghargaan atas sikapnya tadi. Mulai malam ini Kay dan Kiran bisa bersenang-senang dengan perasaan lega. Sepanjang perjalanan mereka pergi pun Kay tak henti mengumbar senyumannya. Akhirnya badai berlalu dan matahari kembali menyinari kehidupan Kay. Dia sudah kapok sekarang untuk melakukan hal-hal nista yang dilarang agama atau bahkan bisa membuat ayahnya murka lagi. Dia tak mau ayahnya bersikap dingin lagi padanya. Cukup sekali saja dan ini adalah yang pertama dan terakhir. Dia tak mau membuat kekacauan lagi. Kay bertekad menjadi suami siaga sekarang dan menjadi calon ayah yang baik bagi kedua anaknya.

"Kenapa ya sama ayah?tumben dia peluk kamu."

"Ya tanya dong sama kamu."

"Engga ah aku males debat. Kay...apa kamu berantem sama Daddy?"

"Engga sayang...aku ga berantem."

"Bener?"

"Kalo bohong ga mungkin sekarang kita makan bareng. Kamu berantem sama ayah?"

"Kadang-kadang aja."

"Maaf... gara-gara aku."

"Engga, emang ayah keras kepala tapi tadi dia udah senyum-senyum sama om Kenan."

"Daddy emang pinter kalo naklukin hati orang.."

"Sama kaya anaknya.." Ucapan Kiran membuat Kay senyum lagi. Tangan Kay kini meraih satu tangan Kiran yang tergeletak bebas di pahanya."

"Kita udah lewatin ini. Makasih sayang udah sabar..."

"Kamu yang lebih sabar, Makasih bapak negara..." Kiran mengusap pelan punggung tangan Kay dengan tangannya yang lain.

"Pas kita sampe disana boleh aku minta sesuatu?"

"Apa?"

"Nanti jangan bahas-bahas soal hamil ya, ada kakak disana. Kalo kakak nanya ya jawab aja tapi kalau engga mending kita bahas yang lain." Kay membuat Kiran mengangguk. Dia juga tahu soal Ara. Selama berpacaran dengan Kay, kekasihnya itu pernah menceritakan mengenai Ara dan Dariel.

"Tapi kayanya kak Ara pasti ada pemikiran sendiri kalo liat aku hamil apalagi ini pertama kalinya dia liat aku lagi sejak aku hamil."

"Aku yakin kak Dariel pasti bisa handle itu..."

"Aku bener-bener jadi ga enak.."

"Tenang aja, ada orang tua aku."

"Kay aku sayang kamu..." Kiran dengan manis mengangkat tangan Kay yang masih digenggamnya dan mengecupnya.

"Kalo aku sayang kamu sama sikembar.." Kay lagi-lagi mengumbar senyumannya.

***

Perasaan bahagia rupanya hanya milik Kay dan Kiran. Ara yang juga sedang dalam perjalanan terlihat melamun sambil melihat kearah jalanan yang tampak ramai dengan hiasan lampu-lampu yang berdiri sepanjang jalan. Satu tangannya dia gunakan untuk menompang dagunya sendiri. Mendengar Kiran hamil membuatnya jelas teringat lagi mengenai anak. Siapa sih yang tak langsung kepikiran lagi jika lihat wanita hamil ada di depan mata. Ara tak pernah menyalahkan Kiran dan Kay toh juga mereka tak tahu bahwa perbuatan mereka akan diganjar dengan kehamilan Kiran. Belum lagi Ara mendengar dari sang ibu jika Kiran tengah mengandung anak kembar. Duh.... beruntungnya dia. Menurut beberapa artikel jika seorang pria kembar itu punya kemungkinan mempunyai keturunan kembar lebih besar dibanding jika sang wanita yang kembar.

"Kok ngelamun?" Tanya Dariel yang melihat wajah sendu terlukis diwajah istrinya.

"Kiran seberuntung itu, bisa langsung hamil anak kembar. Ngelakuin itu aja mereka sembarangan tapi dengan mudahnya Ran hamil." Ucap Ara tanpa melihat wajah sang suami. Dia benar-benar iri tapi itu adiknya. Ketimbang iri perasaan senang jauh lebih banyak.

"Kamu juga bakal hamil, tenang aja."

"Aku kayanya udah cape nunggu."

"Sabar dong sayang. Kamu tahu?bapak sama ibu dapet Rena aja diusia tua. Mereka sabar-sabar aja."

"Terus maksud abang kita harus nunggu sampe tua?"

"Ya engga juga, kalo bisa cepet ya kenapa engga."

"Abang masih sabar?"

"Pasti sabar. Abang pernah bilang kalo pun kita harus hidup berdua abang ga keberatan. Abang seneng." Ucapan Dariel hanya di diamkan begitu saja. Dia kembali melihat kearah jalanan lagi. Kini satu tangan Dariel meraih tangan Ara.

"Sayang...Kay itu adik kamu begitupun Ran. Masa iya mereka mau bahagia kita malah sedih. Berdoa aja sayang, siapa tahu hamilnya Ran bisa nular sama kamu." Dariel mencoba menyemangati Ara.

"Ya sayang?pulang dari sini kita usaha lagi." Dariel membuat Ara tersenyum kali ini. Dia mengangguk.

"Kayanya Abang muncratnya kurang dalem."

"Apaan sih muncrat-muncrat..." Ara geli dengan ucapan Dariel tadi.

"Ya itunya, pas lagi keluarnya."

"Awas ya lagi ngobrol-ngobrol gini malah tegang..."

"Ya jangan dibikin tegang dong, mau ketemu Daddy masa tegang." Dariel senyum-senyum sambil sesekali melihat Ara.

"Duh males ketemu Daddy."

"Eh jangan gitu, kali aja Daddy udah melunak."

"Cape banget liat Kay sama Daddy."

"Nanti Abang pijitin.."

"Pijitnya plus plus plus plus, pokoknya banyak plusnya."

"Iya kan kepala plus tangan plus kaki sama plus lainnya."

"Bisa aja ngelesnya." Ara sambil tertawa kecil.

"Bulan depan kita liburan bareng mau?"

"Kemana?"

"Kita tengokin rumah kamu di Bali yuk."

"Ya udah nanti aku suruh Chandra atur ulang jadwal aku."

"Kamunya juga jangan cape-cape terus dong. Kurangin dikit gitu kerjaannya."

"Aku udah kurangin kok, sekarang-sekarang malah aku jarang keluar kotakan?"

"Iya tapi tetep aja isi otak kamu masih soal kerjaan."

"Kata siapa?kaya udah pernah bedah aja?isinya tuh Abang tahu..." Canda Ara.

"Ya udah yuk, udah sampe nih."

"Bang....jangan duduk deket-deket Daddy ya.."

"Ish ..ga boleh gitu ah.." Tegur Dariel lalu bersiap-siap turun dari mobilnya.

****To be continue

Chapitre suivant