webnovel

Halusinasi atau Ingatan?

"Aku tahu yang telah aku lakukan salah. Tidak aku sangka seluruh keluarganya telah tiada.

'Aku merasa, jika ada sesuatu yang ingin menyakitiku, maka tidak akan ada orang yang akan menolongku.'

Kata-katanya itu selalu terngiang di kepalaku. Seharusnya aku tidak melakukan hal itu. Seharusnya aku melindunginya, bukan menakutinya."

Hadyan bergerak dengan gelisah. Ia menunggu pangeran Rangin, orang yang mengusulkan ide gila nan bodoh soal menakuti Tasia.

"Ada apa? Jangan terlalu sering datang ke sini, kutukanmu pada gadis manusia itu bisa pudar lebih cepat jika kau keluar masuk alam goib," Ucap Rangin tanpa basa-basi. Sebuah kekhawatiran terlihat dari raut wajahnya.

"Caramu salah, Kak. Aku salah tentang dirinya. Kini aku tahu mengapa ia selalu ketakutan secara berlebihan. Seharusnya aku tidak mendengarkan saranmu yang bodoh itu!" Cecar Hadyan, tidak peduli pada apa yang dikatakan Rangin.

"Maksudmu?"

"Keluarganya.. Seluruh keluarganya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sejak itu, ia menjadi sangat penakut. Malam itu, aku melakukan apa yang kau anjurkan. Dan hasilnya, ia menangis ketakutan sepanjang malam.

Kita selalu membuat manusia menangis dan ketakutan. Tapi kali ini, manusia itu berbeda. Ia adalah calon pendampingku. Aku mencintinya," Ungkap Hadyan panjang lebar.

"Kau terlihat frustasi, Hadyan. Aku minta maaf jika caraku ternyata malah menyakitinya. Hanya itu cara yang aku tahu: Menakuti manusia atau menculik mereka. Tapi, apakah kau yakin ingin melanjutkan semua ini?" Tanya Rangin.

"Apa?! Aku tidak bisa mundur, Rangin! Aku sudah terlanjur sangat mencintainya. Aku harus mendapatkan Tasia." Kukuh Hadyan.

"Baiklah.. baiklah.. Tapi taukah kau? Dengan kabar bahwa keluarga gadismu itu sudah tiada, sepertinya itu menjadi sebuah keuntungan untukmu." Jelas Rangin.

Hadyan menatapnya penuh tanya. Hingga Rangin menarik napas dan tersenyum sedikit. Pangeran Hadyan yang selalu memenangkan peperangan ternyata bisa berubah menjadi sebegini bodoh saat diserang oleh malaikat cinta.

"Kau bisa membawanya dengan mudah nanti karena ia tidak memiliki siapa pun yang ia tinggalkan di alam manusia." Jelas Rangin.

Perlahan Hadyan tersenyum mengerti. Ia mengangguk-angguk senang pada sebuah keindahan di samping kenyataan pahit. Jahat memang, jangan lupa mereka adalah makhluk apa.

***

"Arkh!" Tasia memekik kaget saat merasakan suatu sensasi panas dan ngilu pada belakang pinggangnya.

'Luka itu! Memar aneh yang kemarin.' Pikirnya.

Tasia segera melangkah menuju kamar mandi yang terdapat kaca besar di sana. Ia mengangkat kaos kuning bergambar tokoh kartunnya hingga ke atas dada. Memar itu masih terlihat jelas dan baru kali ini menyebabkan suatu rasa nyeri padanya.

Warna itu sudah sedikit memudar dibanding hari pertama ia melihatnya. Tapi, memar merah itu malah semakin panjang.

Entah luka apa itu, Tasia tidak ingin merepotkan om dan tantenya hanya untuk sekedar memeriksakan dirinya ke dokter. Karena jika itu luka serius, seharusnya sudah dilaporkan oleh dokter di RS ketika ia diselamatkan di tepi pantai kemarin.

'Memarnya semakin panjang. Bagaimana bisa?' Pikirnya khawatir.

Namun karena sakit itu hanya sesaat, Tasia memilih untuk tidak mempedulikannya. Terlebih dengan warna yang sudah sedikit memudar, Tasia berpikir memar itu akan segera sembuh dan hilang dengan sendirinya.

"Ah.. Mungkin pakai kaos ini saja tidak masalah," Taisa masih menatap cermin sambil menggidik bahu.

Segera ia mengambil ransel dan tas biolanya. Ia memilih untuk menghadiri kelas les hanya mengenakan kaos kuning rumahan dan celana jeans hitam ketat.

"Aku sudah memilihmu. Kau harus tinggal di sini bersamaku. Hidup abadi,"

"Apa?" Tanya Tasia dengan lantang.

"Si.. Siapa? S-siapa yang bicara tadi?" Tutur Tasia dengan memperhatikan sekeliling.

Namun, seperti yang ia tahu, tidak ada seorang pun di kamarnya. Ya, tidak seorangpun, apalagi seorang pria. Bahkan jika ada yang berbicara di balik pintu kamar, suaranya tidak mungkin sejelas itu.

Tiba-tiba lebam di punggungnya mulai memberikan rasa nyeri lagi hingga Tasia memekik kaget.

Nyeri yang tidak seberapa sakit itu anehnya sanggup membuat kepala Tasia linglung dan berputar-putar hingga pengelihatannya mejadi kabur.

Dengan sigap, ia meraih apa pun yang dapat menjadi tumpuan tubuhnya yang kehilangan keseimbangan. Ia bersandar pada lemari pakaiannya yang menjulang tinggi sampai langit-langit kamar.

Jantungnya berdegub keras dan pikirannya mulai menamakan penyakit-penyakit yang mungkin sedang ia derita tanpa sadar. Akhir-akhir ini, tubuhnya menjadi sangat aneh.

Dalam pengelihatan yang masih rabun dan dalam kondisi kebingungan, sebuah gambaran muncul di pandangannya.

Gambaran yang adalah sebuah ingatan. Ingatan dan gambaran yang menyerupai apa yang sering kali muncul pada pikirannya. Memori akan masa kecilnya yang teramat bahagia. Namun kali ini, bukan memori masa kecil itu yang mancul, melainkan sebuah ingatan yang tidak pernah ia alami sebelumnya.

Gambaran buram nan samar, memperlihatkan sebuah aula megah dan Tasia berada di tengahnya. Banyak hal menakutkan yang ada di dalam aula itu, hal-hal yang ia takuti, yaitu hantu atau jin.

Meski samar, Tasia tetap tahu bahwa itu adalah makhluk mistis yang mengelilinginya.

Ia merasakan panas pada matanya dan bulir-bulir air mengalir menuruti ketakutannya.

Itu hanya sebuah ingatan, atau halusinasi, mungkin. Namun, Tasia merasa jiwanya telah berpindah tempat menuju aula megah yang dipenuhi makhluk mengerikan itu. Bahkan, hawa lembab aula itu bisa memembuat kulitnya bergidik.

"Tasia! Tasia!"

Tasia mencari sosok pemilik suara yang terus memanggil namanya itu.

Karena kejadian itu hanya sebuah ingatan, tentu ia tidak dapat menggerakan tubuhnya. Layaknya mimpi, ia bergerak dengan sendirinya sesuai dengan ingatan tersebut. Bagai sedang bermain wahana di taman bermain, ia tidak berdaya selain mengikuti alur.

Tiba-tiba, Tasia merasakan sebuah tangan menariknya dengan kuat. Hal itu membuat pandangannya menjadi gelap, yang ternyata dikarenakan seseorang dengan dada bidang itu sedang memeluknya hingga menutupi wajahnya. Hal itu entah mengapa meredakan ketakutannya dan membuat dirinya merasa aman.

'Siapa?' Tanya Tasia di dalam hati. Ia tidak dapat melihat wajah orang itu.

Belum sempat Tasia menebak-nebak, orang itu sudah melapas pelukannya dan menarik wajah Tasia. Dan perlahan, pengelihatannya kembali jelas.

"Hadyan?!"

Tiba-tiba Tasia berada di tengah lautan gelap dan luas, mengambang dalam sana. Ia mengerjap kaget dan panik, berusaha menahan napas. Namun ternyata ia tetap bisa bernapas dengan normal. Hanya kulitnya saja yang dapat merasakan deru dan suhu digin air laut itu.

Tasia melihat kegelapan di seluruh sisi lautan. Mengerikan.

Tidak ada apa pun selain siluet sesuatu yang panjang berwarna hitam berenang di kejauhan dan perlahan menghilang di kegelapan.

'Apa itu? Ikan? Hiu? Pari? Bukan... Itu terlihat seperti ular raksasa.' Pikir Tasia.

Lalu, ia merasakan sesuatu menarik kakinya ke bawah dengan cepat.

Tasia kembali. Ingatan itu menghilang bagai drama bersambung. Itu terpotong begitu saja tanpa ada kelanjutan, meninggalkannya dengan beribu pertanyaan dan rasa bingung di kepala dan meninggalkan rasa ketakutan dan keterkejutan luar biasa atas apa yang ia lihat dan rasakan di dalam halusinasi itu. Bahkan, untuk memekik terkejut saja ia tidak sanggup

"A.. apa itu? Apa yang terjadi padaku?

Tunggu sebentar.. Hadyan? Bukankah tadi itu adalah wajah Hadyan? Apakah aku sudah mulai gila?" Pikir Tasia.

Ia mengerjap lagi dan lagi. Dalam sekejap, rasa sakit, pusing, dan apa pun itu yang ia rasakan sebelumnya telah sirna tanpa sisa.

Sesuatu yang menurutnya tidak dapat dijelaskan oleh pikiran waras seorang manusia. Mungkin jika ia bertanya ke dokter, ia harap mereka punya jawabannya.

***

'Ini aneh! Sangat aneh! Aku tahu ada sesuatu yang aneh dari anak itu.'

'Dari pertama kali bertemu dengannya, aku sudah curiga padanya. Tapi bagaimana? Bagaimana jika ternyata memang sebenarnya aku yang sudah kehilangan kewarasanku dan Hadyan hanyalah anak baru dan kebetulan menjadi sasaran pikiranku yang mulai menggila? Seperti di film-film yang memiliki plot twist di akhir cerita,'

Tasia berpikir keras dengan gelisah. Ada dua ketakutan di dalam kepalanya. Pertama, ia takut Hadyan benar-benar memiliki sisi gelap lain yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Kedua, ia takut jika ternyata perlahan-lahan ia memang kehilangan kewarasan.

Dan semua itu terjadi secara beruntun setelah ia mengalami kecelakaan banana boat di pantai Slamaran. Mungkin benar bahwa kepalanya sempat terbentur batu karang.

'Setelah dipikirkan, entah mengapa semua terasa masuk akal. Aku selamat setelah menghilang pada kejadian itu, bahkan tidak mengingat apa pun. Itu semua adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Karena itu, semua orang menyebutnya sebagai keajaiban.'

'Dan mungkinkah itu semua bukanlah halusinasi? Melainkan ingatan di saat aku menghilang waktu itu? Lautan.. Ya, lautan. Dan ular juga.. Bsa jadi ular yang aku lihat itu adalah ular yang sama dengan ular yang aku temukan di kamar. Apakah ular itu yang menyebabkan aku menghilang?'

Setelah lama berpikir di atas tempat tidur hingga ia memutuskan untuk ijin tidak jadi hadir di kelas biola, Tasia akhirnya memutuskan untuk menyelidiki hal yang ia anggap sangat janggal itu.

Namun dengan satu catatan: Ia tidak akan menceritakan tentang hal yang sedang mengganggu pikirannya ini kepada teman-temannya.

Mereka kerap membela Hadyan dan mengejek, juga menganggap Tasia gila hanya karena hal-hal kecil yang diucapkannya. Apalagi jika ia menceritakan kejadian ini, bisa-bisa mereka langsung membawa Tasia ke rumah sakit jiwa.

Chapitre suivant