webnovel

Intimidation Eyes

Beberapa jam kemudian, bel sekolah pun berbunyi, yang menandakan jam pelajaran telah usai. Banyak siswa-siswi keluar dari ruang kelasnya untuk menghabis masa luang mereka, ada yang di kantin untuk mencari makanan, dan ada juga di taman untuk menghirup udara segar. Sedangkan di kelasnya Haruki, hanya tersisa beberapa orang siswa saja lagi yang tidak keluar kelas–termasuk Haruki dan Reiha.

Kini terlihat beberapa orang siswi, sedang mendekati tempat duduknya Reiha.

"Tachibana-san, mau ikut kami ke kantin?" tanya salah seorang siswi yang mewakili.

"Eh? Ah, maaf lain kali aja ya, soalnya ada laporan yang harus aku antarkan," tolak Reiha sembari tersenyum.

"Begitu ya? Kalau begitu kami duluan, ya!"

Dengan melambaikan tangannya, beberapa siswi itu pun beranjak pergi dari hadapannya gadis bersurai merah tua yang kelihatan sibuk ini.

Sebelum berangkat memenuhi alasannya, untuk sebentar Reiha menolehkan kembali wajahnya ke arah Haruki yang dari tadi menelungkupkan wajahnya ke atas meja. Setelah melihat sosok lesu tersebut untuk sesaat, gadis ini pun berdiri dari tempat duduknya, kemudian beranjak pergi meninggalkan kelas untuk mengantarkan beberapa laporannya ke kantor.

"Yo! Ichinose-kun!" teriak seorang siswa dengan menepuk bahunya beberapa kali.

Merasa ada yang menepuk bahunya, Haruki yang dari tadi bertelungkup pun perlahan mengangkat wajahnya. Tampak tatapannya yang begitu lesu seolah tidak ingin memulai pembicaraan dengan siswa di depannya itu. Ia malahan berpikir kalau siswa itu mengganggunya untuk tidur.

"Eh? Siapa?"

"Eiyuuzaki Ryouta! Bukankah aku sudah memperkenalkan diriku tadi!"

"Ah, berisik!" siapa pun pasti akan kesal, jika ada yang mengganggu orang lagi tidur, benar, kan? Apalagi orang yang mengganggu itu dari tadi mengeluar nada bicara yang berkesan nyaring, pasti ingin menonjoknya, bukan? Itu pun yang dirasakan oleh Haruki, meski begitu ia tetap berusaha untuk menutupi kekesalannya untuk sekarang, "oh ... Eiyuuzaki, ya? Ada apa?"

"Haha! Jangan formal begitu, Teman! Karena kita akan saling kenal untuk ke depannya, sebaiknya panggil aku Ryouta saja, sebagai gantinya aku akan memanggilmu Haruki, gimana?"

Mendengar permintaan dari siswa yang bernama belakang Ryouta ini, sebenarnya tidak begitu diperdulikan oleh Haruki–kecuali dianggap musuh. Malahan ia ingin membuat orang ini segera mengakhiri percakapannya dengan segala cara termasuk menerima permintaannya. Karena bakal merepotkan jika menolak permintaan orang ini sekarang.

"Oke, oke ... Ryouta. Ada apa?"

"Sejak perkenalanmu tadi ... aku terus memperhatikanmu, tatapanmu itu ... apa kamu pernah mengalami sesuatu yang buruk?" tanyanya penasaran.

"Hah, apa maksudmu?" kening Haruki mengerut.

"Aku ini memiliki keahlian Mata Batin, yang bisa mengetahui sesuatu hanya dari raut wajah seseorang dan juga dapat memprediksi masa depan. Kau tidak bisa mengelabuiku begitu saja ya!" tandas Ryouta sembari memunculkan senyuman yang berkesan sinis untuk sesaat meyakinkan Haruki.

Haruki pun perlahan menghela napas panjang. Tatapannya yang terlihat lesu seperti biasa berubah seketika menjadi sedikit serius dibanding sebelumnya, karena ini menyangkut masalahnya, jadi pemuda yang satu ini tidak akan tinggal diam begitu saja.

"Sebaiknya kau ... jangan mengurusi masalah orang sepertiku," tegas Haruki, "karena jika kau sudah terlibat ke dalamnya, aku yakin kau tidak akan bisa lagi keluar darinya." untuk sementara, tatapannya kini menyorot tajam menatap Ryouta.

Bukannya membuat takut Ryouta, malahan dengan tatapan Haruki yang seperti itu, membuatnya lebih penasaran lagi dengan pemuda yang satu ini.

"Heeeeh ... jika raut wajahmu terus seperti itu! Mana mungkin, rasa penasaranku bisa hilang begitu saja, Teman!" Ryouta tersenyum dengan percaya dirinya.

"Huuh! Sudah kubi—"

"Diberitahukan kepada siswa yang bernama Ichinose Haruki dari kelas 1-F agar segera ke ruangannya Bu Aikawa! Sekali lagi, diberitahukan kepada siswa yang bernama Ichinose Haruki dari kelas 1-F agar segera ke ruangannya Bu Aikawa!"

Bentakkan yang ingin dilontar itu, kini telah dipotong oleh mic pemberitahuan sekolah.

"Sepertinya ada yang memanggilmu, Haruki."

"Tanpa kau katakan pun, aku tau itu."

Tanpa melanjutkan lagi pembicarannya dengan Ryouta. Haruki pun beranjak pergi dari kelasnya menuju ke kantor tepatnya ke ruangan Bu Aikawa. Karena kantor pusat dan bangunan kelas itu terpisah, terpaksa Haruki harus sedikit mengeluarkan tenaga kakinya untuk bisa sampai ke tempat yang ia tuju.

Bu Aikawa Akio adalah walinya Haruki, dialah orang yang mengurusi pembiayaan hidupnya Haruki mulai dari tempat tinggal, pakaian, makanan serta pendaftaran masuk ke akademi ... bisa di bilang dia adalah ibu angkatnya Haruki.

****

Langkah demi langkahnya, terus bergerak di sepanjang jalan yang kini dipenuhi oleh pohon sakura di sekitar kiri, sedangkan kanannya dipenuhi oleh bangunan-bangunan yang biasanya digunakan untuk kegiatan oleh siswa-siswi.

Saat di pertengahan jalan dekat salah satu gang area sekolah, Haruki melihat sesosok gadis bersurai merah tua yang ia tidak lain adalah Reiha. Sambil membawa sebuah kotak berisi laporan-laporan, tampak gadis ini kini sedang digeromboli oleh bebarapa orang siswa tahun angkatan kedua.

"Hei Nona! Gimana kalau kakak bantu?"

Diikuti rasa takut, Reiha memaksakan senyumnya. "Tidak perlu, tidak perlu. Sa-saya bisa sendiri!"

"Tidak perlu malu-malu gitu, Nona! Sini kakak bantu, ya!"

Siswa badan besar itu kini mencoba merebut paksa kotak laporan yang gadis bersurai merah tua ini bawa.

"Hei, jangan! Hentikan!"

"Jangan keras kepala begitu! Nona!"

Reiha termendak setelah gagal merebut kembali kotaknya.

"Hehehe ... kalo begitu kami bawa dulu kotaknya ya, Nona!"

"Tunggu ja-jangan dibawa!"

Tanpa memperdulikan si gadis, siswa-siswa itu pun mulai beranjak pergi darinya.

"Tunggu dulu, kakak pertama!" Salah satu temannya yang botak menghentikan langkah mereka.

"Hah? Apa?!"

"Kalau dilihat-lihat ... gadis ini cantik juga kan, kak?" tatapan tak senonoh itu, kini menyorot tajam ke gadis bersurai merah tua ini, "bagaimana kalau kita ajak aja dia sekalian?"

"Hmmm ... kau benar juga, hei Nona! Gimana kalau kamu ikut kami aja sekalian?"

"Ke-kenapa aku harus ikut kalian?"

Reiha mulai ketakutan.

Salah satu siswa itu pun mendekat dan langsung menarik paksa tangan gadis ini, "Jangan terlalu banyak alasan begitu! Ayo Nona!" serunya.

"Le-lepaskan! Ta-tanganku! Siapa pun tolong!" teriak Reiha mencoba memberontak.

"Oi!!"

Seluruh pandangan mereka kini teralihkan ke asal suara seseorang dari luar gang yang ternyata itu adalah Haruki.

"Ichi-ichinose-kun?" Mata gadis ini kini seakan ingin mengeluarkan air mata lega. Setelah melihat Haruki datang di waktu yang tepat.

"Haaah? Siapa kau, sialan!"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Ada hal yang lebih penting dari itu. Bisakah kalian lepaskan gadis itu?" cetus Haruki.

"Lepaskan katamu? Ahahaha! Apakah kau mau menjadi seorang pahlawan yang ingin menyelamatkan seorang gadis, hah? Jangan mimpi, bocah kelas satu!" ejek salah satu siswa.

"Pahlawan? Heh! Apa kalian pikir wajah ini terlihat seperti pahlawan?" remeh Haruki sambil menunjukkan tangan ke arah wajah lesunya.

Sekejap ia mengeluarkan keahliannya yaitu Intimidation Eyes yang dapat membuat aura-aura di sekitarnya menjadi gelap, kini kedua rona matanya semakin merah menyala.

Keahlian/Bakat itu sendiri, adalah kemampuan sihir yang hanya dimiliki oleh beberapa orang tertentu setelah lahir, biasanya bisa berupa mata yang memiliki kekuatan, seperti Mata Intimidasi milik Haruki dan Mata Batin milik Ryouta.

"A-apa apaan itu! A-apa yang telah kau lakukan?!" teriak yang badan besar.

Wajah siswa-siswa kelas dua itu sekarang begitu berkeringat karena ketakutan, kaki-kaki mereka gemetar, sampai-sampai mereka tidak bisa beranjak pergi dari tempat itu setelah memandangi wajah Haruki yang sedang mengintimidasi mereka.

"Kuulangi sekali lagi ... bisakah kalian lepaskan gadis itu?" bentak Haruki dengan menatap tajam nan dingin mereka.

Mendengar bentakkan tersebut entah kenapa alasan untuk melawan hilang, tangan-tangan mereka pun terlihat semakin gemetaran sampai-sampai kotak laporan yang mereka ambil pun terjatuh Tak lupa, mereka juga akhirnya melepaskan Reiha. Setelah itu, pemuda ini pun menghentikan Intimidasinya.

"Cih! Sial! A-awas kau! A-ayo pergi semuanya!" Ancam salah satu dari mereka.

Mereka pun pergi dengan menyisakan raut wajah yang begitu ketakutan, meninggalkan Haruki dan Reiha di tempat.

Melihat Haruki datang, Reiha merasa sangat terselamatkan. Tampak kedua matanya kini berkaca-kaca membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika saja pemuda yang satu ini tidak datang untuk menyelamatkannya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Haruki sembari mengulurkan tangannya.

Untuk sesaat, pipinya memerah, matanya terbinar memandang pemuda ini. Lalu dengan senang hati ia menyambut uluran tangannya. "I-iya. Aku baik-baik saja."

Senyum tipis itu nampak muncul seiring gadis ini mengusap kedua matanya yang sedari tadi sempat berkaca-kaca. "Te-terima kasih. Lagi-lagi ... aku dapat pertolongan darimu, ya."

"Lagi?" alis Haruki terangkat.

"Itu ingat? Waktu mengambil buku-buku yang terjatuh,"

"Ah itu. Itu bukan apa-apa. Ada baiknya jika kau, tak perlu repot-repot memikirkan hal itu."

Mendengar anggapan pemuda ini, Reiha pun menggelengkan kepalanya, nampak senyuman paksa itu terpapar di wajahnya. "Jika orang lain di waktu itu ... pasti, tidak akan ada yang mau menolongku."

Sudah jelas kalau Reiha sedang murung, ia mencoba menutupi sesuatu dengan senyum paksanya itu, Haruki menyadarinya.

"Biar aku yang membawa kotak ini," pinta Haruki.

Tanpa menunggu persetujuan Reiha, pemuda ini langsung mengangkat kotak yang penuh dengan laporan itu. Sepertinya ja mencoba mengembalikan semangat gadis ini lagi.

"Eh? Ti-tidak perlu repot-repot, Ichinose-kun!"

"Tidak apa-apa, kebetulan aku juga ada perlu di sana. Selain itu ... jika kau sendirian ke sana, pasti mereka akan menggodamu lagi, bukan?" rujuknya.

Mengingat sifat Haruki yang bertolak belakang dengan apa yang ia lakukan sekarang membuatnya terlihat seperti orang asing. Ini baru pertama kalinya bagi pemuda ini dengan mudahnya peduli terhadap orang lain. Mau bagaimana lagi, kini ai sedang belajar menyesuaikan diri.

Karena telah membuat Reiha murung, Haruki merasa bertanggung jawab atas ucapannya. Baginya tanggung jawab lebih penting dari pada ego sendiri. Itulah yang diajarkan seseorang yang ia kenal dulu. Itulah yang membuatnya menolong gadis ini.

****

Di tengah perjalanan terlihat mereka mulai kembali membuka pembicaraan.

"Ichinose-kun. Kamu ... benar-benar hebat ya, bisa mengalahkan siswa kelas dua itu dengan hanya menggertak mereka saja."

Tanpa membalas ucapan dari Reiha, Haruki pun mengganti topik pembicaraan.

"Ada hal yang lebih penting dari itu. Jadi, bagaimana kau bisa seceroboh itu? Ini sudah yang kedua kalinya."

"Eh? Ah, aku hanya mengambil jalan pintas tercepat menuju kantor pusat untuk mengantarkan laporan-laporan ini ... cuman itu saja."

"Laporan?"

"Uhm. Laporan tentang siswa-siswa bermasalah tahun angkatan kedua, aku disuruh untuk menyerahkannya segera ke kantor pusat, mungkin ... karena laporan inilah ... mereka...."

Mungkin berat baginya untuk melanjutkan apa yang ingin ia kata. Karena itulah Haruki pun melanjutkan perkataan gadis ini.

"—Mencoba merebutnya kembali, agar masalah yang mereka lakukan tak ada yang tau, benarkan?"

"I-iya."

Melihat apa yang telah dialami oleh gadis ini, Haruki merasa sedikit jengkel kepadanya. Ia berpikir apa jadinya kalau ia menjadi Reiha yang selalu mendapatkan masalah, pasti bakal merepotkan. Selain itu ia juga sempat terpikir kenapa siswi kelas satu ini, bisa menghantarkan laporan-laporan yang tidak berkatian dengannya?

Sembari menghela napas untuk melepaskan apa yang ia pikirkan, nampak wajah lesu tersebut muncul karena terpapar sinar matahari pagi.

"Kalau dipikir-pikir ... kenapa kau tidak menggunanan kemampuanmu untuk melawan mereka?"

"Eh?" Reiha kaget dibuatnya, "i-itu karena...." sembari memainkan jari jemarinya, rasa ragu untuk menjawab pertanyaan dari Haruki, kini muncul dari raut wajahnya. Seakan gadis ini mencoba menutupi sesuatu yang berkaitan dengan kemampuannya.

Melihat Tachibana yang kembali murung akibat pertanyaannya, pemuda ini pun mencoba mengalihkan topik pembicaraan yang ia mulai sendiri.

"Apa pun itu, yang penting kau sekarang tidak apa-apa."

Mendengar ucapannya, gadis bersurai merah tua ini pun kembali terkejut. Ia bersegera menolehkan wajahnya ke arah Haruki, nampak ronanya begitu berbinar memandangi pemuda lesu yang satu ini. Ia berpikir masih ada saja orang yang peduli kepadanya di masa sekarang ini. Rasa senang kini sudah tak tertahan dari wajah manisnya.

"Rupanya ... kamu orang baik ya. Aku pikir kamu orang yang sangat dingin, lho."

Sesaat Haruki meliriknya, melihat kembali senyum yang penuh harapan itu. Ia tidak ingin mengkhianati kepercayaannya, tapi ia harus segera mengatakan keraguannya. "Aku bukanlah orang yang seperti kau pikirkan, aku ... hanyalah...."

Reiha menggelengkan kepalanya, senyum tulus itu sudah menghiasi wajahnya. "Tidak juga. Kamu orang yang baik ... dan aku percaya itu. Aku sudah melihat ketulusanmu saat menolongku, itu sudah cukup buatku untuk percaya, bahwa kamu benar-benar orang baik."

Hembusan angin sontak menerpa mereka berdua. Di saat itu juga, ada suatu perasaan yang menembus pemikiran Haruki langsung menuju ke hati kecilnya dan membuat bulu kuduknya berdiri. Pemuda ini tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, yang ia tahu sekarang adalah ada suatu perasaan yang baginya asing telah masuk ke pemikirannya langsung menuju hati kecilnya.

Reiha yang sempat sedikit mendahului jalannya pun ikut terhenti melihat Haruki yang terlihat mematung di jalan.

"Ichinose-kun? Ada apa?"

Sembari memiringkan kepalanya, nampak Reiha kebingungan melihat pemuda ini tiba-tiba berhenti.

Haruki yang mendengarnya langsung tersadar.

"A-ah, tidak apa-apa." sahutnya yang kemudian melanjutkan kembali jalannya.

"Beneran ... tidak apa-apa, 'kan?"

Reiha mencoba memastikan sembari meletakkan tangan kanannya di samping dada, pertandakan bahwa ia masih khawatir dengan keadaan Haruki.

"Iya, aku tidak apa-apa."

Meskipun berucap seperti itu, sebenarnya Haruki masih memikirkan apa yang sebenarnya ia rasakan pada dirinya tadi, ia hanya tidak ingin orang lain mengetahuinya.

Chapitre suivant